Tanda Merah

“Telah ditemukan mayat di halaman parkir Geffrye Museum, dikabarkan identitas dari jenazah merupakan salah satu pegawai museum tersebut.”

“Sial!! kenapa kita harus kecolongan lagi dengan media, gara-gara mereka psikopat ini malah menjadi-jadi,” ucapku sambil melempar remote tv.

“Tenanglah Peter, kita harus berpikir dingin untuk sekarang.”

“Benar kata Rose,” tambah Donald.

“Bagaimana aku bisa tenang, sedangkan di luar sana sudah terjadi tiga pembunuhan sadis, dari semua bukti yang ditemukan sudah jelas ini merupakan pembunuhan berantai!!”

Suasana tegang kembali menguar pada ruangan tersebut, Jimi sedang mengecek letak koordinat dari pembunuhan tadi. Aku sebagai ketua tim tentu saja sangat geram dengan kejadian ini, psikopat yang tengah kita bicarakan ini sudah membunuh tiga wanita dan semuanya berusia dua puluh lima tahun, dan dengan lancangnya si pelaku selalu meninggalkan setangkai bunga mawar.

Jika aku tau menjadi ketua tim akan semenyulitkan ini, aku akan menolak kenaikan jabatanku lebih awal. Sial sekali hidupmu Peter, lebih baik aku menjadi sipir di sel dan duduk-duduk bermain catur dengan petugas yang lain.

“Tepat sekali!!” Jimi berseru setelah akhirnya menemukan sesuatu.

“Apa yang kau temukan Jim?” Kami bertiga beringsut menuju meja kerja Jimi, menatap layar komputer yang menampilkan peta kota London.

“Lihatlah, coba kau tarik garik lurus ke arah barat dari Gefrrye museum.”
Donald menunjuk peta tersebut dan garis tepat jatuh di kebun binatang London, tempat ditemukan mayat kedua pekan lalu.

“Aku paham, pola ini juga sama persis dengan pembunuhan pertama di Kensington Garden.”

“Gila pembunuh ini, dia berani membunuh korban di tempat yang penuh dengan keramaian.” Rose menggebrak meja saking kesalnya, kesal karena dia harus gagal menangkap pelaku padahal ia berkeliaran dengan bebas di tempat ramai.

Aku menatap peta tersebut dengan serius, jika pembunuhan ini akan terus terjadi maka kemungkinan pembunuhan selanjutnya akan terjadi di sekitar London Bridge, tepat seminggu kemudian seperti kasus sebelumnya.

“Kirimkan polisi untuk berpatroli di sekitar London Bridge sampai tanggal 5 Januari nanti, tepat seminggu dari hari ini.” Aku harus menangkapmu kali ini.

Peter John , tepat memasuki tahun ketujuh aku berada di kepolisian. Telah banyak kasus besar yang berhasil aku selesaikan, semuanya berhasil seratus persen tidak ada kegagalan sedikitpun. Mungkin itu yang membuat kepala kepolisian melantik ku lebih cepat untuk menjadi ketua tim investigasi.

Sangat lengkap memang, sudah menjadi ketua tim di usia ke dua puluh lima. Ditambah tubuhku yang atletis dengan wajah yang kecil dan rupawan, bukan bermaksud untuk narsis tapi aku juga sering mendengar dari perwira wanita jika bibirku sangat menarik.

Mungkin dengan jabatan dan tampangku aku bisa saja berkencan dengan siapa pun, tapi hatiku sudah berlabuh pada rekan kerjaku, Rose. Ia terlihat sedikit tomboy dengan kulit yang eksotis dan rambut yang sedikit berantakan. Unik memang, tapi aku menyukainya.

Sudah hampir tiga bulan kami akhirnya berkencan, setelah mengumpulkan seluruh keberanianku akhirnya aku mengajaknya untuk berkencan. Tepat saat perayaan ulang tahunnya, aku berlutut padanya di depan kantor kepolisian, dengan petugas lainnya yang ikut bersorak girang menonton kami.

Lalu kata iya yang Rose ucapkan, membuat rasa bahagia dalam diriku menjadi lengkap, semuanya lengkap.
Semua yang berjalan lancar, tiba-tiba berubah menjadi rumit tiga minggu lalu. Setelah mayat pertama ditemukan dengan organ tubuh tak lengkap di depan Kensington Garden, lalu pembunuhan berikutnya terus terjadi.

Tak ada satupun jejak yang membantu, hanya setangkai mawar merah yang bersih dari sidik jari.

“Pete, Peter!!”

Aku terkejut dari lamunanku. “Peter kau harus makan ingat, apa kau akan terus mengaduk makananmu?”

Wanita di hadapanku menatap diriku khawatir, “Entahlah, aku tidak nafsu makan Rose.”

“Pete, apa kau ingat kapan terakhir kali kau makan?” Aku mengendikkan bahu dengan acuh.

“Kau harus makan apapun yang terjadi, kau sudah tidak tidur dan sekarang kau tidak mau makan juga?”

“Aku tidak bisa makan Rose, sedangkan wanita-wanita di luar sana tengah berjalan dengan gelisah karena pembunuhan yang terjadi.”

“Sial!! jika bukan karena wartawan itu, semuanya mungkin akan berjalan lebih mudah, mereka mengacaukan penyelidikan.”

“Aku tau mungkin ini bukan waktu yang tepat, besok selasa kita harus kencan di dekat London Bridge, anggap saja kita sekalian patroli, bagaimana?”

“Entahlah Rose,” Rose membungkam mulutku dengan bibirnya sebelum aku berhasil menyelesaikan ucapanku. “Selasa jam 8 di London Bridge,” Rose pergi meninggalkan Peter yang masih menatapnya terkejut, mendapatkan ciuman dengan tiba-tiba tentu saja cukup membuatnya terkejut.

Tak lama setelah Rose pergi, kulihat pria dengan mantel cokelat di seberang ikut berlalu meninggalkan tempatnya. Aku tau ada yang aneh dengan pria ini, sejak awal aku dan Rose duduk, ia memang terlihat berkali-kali mencuri pandang kearah kami.

“Aku harus mengikutinya.” Pria tersebut berlari dengan cepat, sepertinya ia sadar tengah diikuti. Lalu para pegawai keluar bergerombol dari salah satu gedung, membuat jarak pandangku menjadi kabur. Aku kehilangan pria tersebut.

Tak kusangka natal tahun ini benar-benar bebas dari salju, walaupun begitu udara di sini tetap sangat dingin. Aku merapatkan mantelku dengan erat, kami saling menggenggam tangan berjalan menuju restoran dekat London Bridge.

Setibanya di restoran kami melepaskan mantel dan memberikannya pada resepsionis, pandanganku langsung tertuju pada Rose. Malam ini dia terlihat sangat menawan, dengan dress selutut berwarna merah muda ditambah kalung berbandul mutiara yang kuberikan saat ulang tahunnya tiga bulan lalu. Sempurna, gumamku.

Tak kusangka Rose bisa tampil sangat feminism seperti ini, Rose yang biasa aku lihat selalu memakai celana panjang dengan atasan kemeja woll berwarna gelap, rambutnya pun selalu diikat.

“Kau sangat cantik malam ini.”

Suasana di restoran terasa sangat hangat, kami terlarut dengan iringan musik jazz dari pianis dengan jas birunya, tak banyak yang hadir membuat suasana malam ini terasa sangat intim.

“Aku senang kita bisa menikmati makan malam yang lezat.” Aku mengelus punggung tangan Rose dengan lembut, sampai suara dering ponsel berbunyi dengan keras.

“Peter cepat pergi ke tengah London Bridge!!”

Aku langsung menutup sambungan tersebut dan berlari menuju London Bridge, sial aku kecolongan lagi.
Lima menit berlari akhirnya kami sampai di sana, telah banyak wartawan dan petugas kepolisian berkerumun di atas London Bridge.

“Minggir semuanya, kami dari tim investigasi.” Mereka membuka jalan, dan memperlihatkan sosok wanita dengan kepala yang hampir terlepas.

“Sial!!” Aku menggeram menatap korban, kali ini pelaku membunuhnya lebih sadis. Jika aku lihat pembunuhan kali ini terlihat dilakukan dengan tergesa-gesa. Dilihat dari lengan korban yang berwarna biru tanda jika ia ditahan dengan paksa.

Tidak seperti tiga kasus sebelumnya, tidak ada sedikitpun luka lebam. Hanya ada sayatan dan darah yang mengalir.

“Pak, kami menemukan setangkai bunga mawar dan kertas ini di sampingnya,” ucap salah satu petugas kepolisian tersebut.

Dengan gugup aku membuka lembar tersebut.

Mawar merah, kau sangat cantik dengan dress merah jambu,
tapi aku tidak suka melihatnya.

ps. sepertinya pertandingan di the oval menarik, mungkin sedikit ledakan akan menyenangkan

Tidak!! Donald!!

“Jim, kerahkan seluruh rim untuk mengevakuasi stadion The Oval secepatnya, ada bom yang harus kita jinakkan, dan kau cari di mana keberadaan Donald.” Aku menutup sambungan tersebut, sekarang sudah jelas siapa dalang dibalik pembunuhan berantai ini.

“Rose, kau harus kembali ke kantor dan bantu Jimi.”

“Baiklah, kau harus berhati-hati Peter.”

Selepas kepergian Rose, aku beranjak tergesa menuju mobilku dengan pikiran yang kalut aku teringat ketika korban pertama ditemukan. Saat itu Donald datang terlambat dengan pakaian yang basah dengan keringat. Donald bilang ia habis berolahraga, dan aku percaya begitu saja dengan alibinya.

Lalu kemarin, aku tahu pria dengan mantel cokelat itu adalah Donald. Tapi kenapa aku membiarkannya. Aku memukul stir dengan geram, kesal dengan diriku yang tak becus.

Stadion The Oval telah kacau dengan pengunjung yang berdesakan untuk keluar, aku beringsek masuk ke dalam untuk ikut menemukan letak bom tersebut. Beberapa petugas dengan anjing pelacaknya ikut berlarian keluar.

“Keluar pak, waktunya tak sempat!!” Aku mendengar teriakan petugas yang berlari melewatiku, lalu sepersekian detik berikutnya bunyi ledakan menggaung memenuhi stadion, diikuti ledakan berikutnya mengitari stadion The Oval.

Tak sempat keluar lebih cepat, palang besi jatuh menyenggol lenganku membuat tubuhku terpental kelaur stadion. Asap mengepul menutupi langit gelap kota London. Dengan kobaran api yang ikut membara. Dari balik asap tersebut muncul sebuah balon besar berwarna merah, balon tersebut terus berubah semakin besar sampai akhirnya meledak dan mengeluarkan lembaran kertas.

Aku menutup telingaku ngilu karena bunyi denging akibat ledakan tersebut, kulihat selembar kertas tersebut, terpampang peta kota London dengan gambar segitiga di atasnya.

“Oh tidak!! kita harus bergegas.”

Pelataran London Eye dipenuhi oleh pengunjung yang telah siap menantikan detik-detik menuju tahun baru 2020. Semuanya orang riuh saling bercengkrama dengan bunyi-bunyian terompet yang juga saling bersahutan. Puluhan kamera milik stasiun tv juga sudah terasang rapih mengarah pada salah satu ikon teramai kota London saat tahun baru, yaitu London eye.

Tak ada satupun yang tahu jika tragedi besar mungkin saja akan terjadi.

“Rose, kumohon angkatlah.”

Aku mencoba untuk menghubungi Rose, namun sepertinya keberuntungan tidah berpihak padaku. Telponnya mati total, aku mencoba untuk menghubungi Jim, namun Jimi menghubungiku lebih dulu.

“Jim!! apa Rose bersamamu?”

“Hah, bukannya ia sedang denganmu?” Sial, di mana dia sebetulnya.

“Tunggu, jangan tutup telponnya, aku ingin memberitahukan bahwa Donald mengarah menuju London Eye.”

“Iya, aku tahu Jim, ada bom di sana, kau cari letak keberadaan bom tersebut dan jinakkan. Jangan sampai membuat keributan seperti di stadion tadi.”

Setelah sampai di pelataran taman London Eye, aku menatap gelisah menyisir setiap sudut mencari keberadaan Rose dan Donald. Bunyi sirine polisi pun ikut membuat suasana semakin riuh, diikuti dengan mobil pemadam kebakaran dan ambulan.

Tunggu, aku tidak bisa panik seperti ini. Aku tidak bisa kehilangan korban lagi, aku berhenti berlari dan menatap ke langit. Bunyi baling-baling helikopter terdengar nyaring di atas. Lampu sorot pun mengarah pada helikopter tersebut.

“Peter John, senang rasanya berhasil mengelabui ketua tim investigasi sepertimu.” Terdengar bunyi pengeras suara dari sana, dengan angkuh Donald menatapna dari ujung pintu helicopter, ia terkekeh mencemooh diriku yang berhasil ia kelabui.

“Senang ya bermain-main dengan hidup orang dasar kepolisian biadab!! Aku hanya perlu menekan tombol ini dan London dibawahku akan berubah menjadi lautan api.”

Para pengunjung dibawah sana, sudah mulai bergerak gelisah, bunyi sautan yang awalnya terdengar riang kini terdengar sangat mencekam, sepertinya nyawa telah diujung kerongkongan.

“Tak perlu kabur, tidak ada jalan keluar dari kota ini, semuanya sudah kupasangi bom, salahkan polisi bodoh disekitar kalian, karena tidak becus menjaga warganya.”

Aku mengambil pengeras suara dari dalam mobil polisi, “Donald hentikan semua kegilaanmu,”

“Lalu apa? menyerahkan diri pada polisi dan dikurung seumur hidup? lalu melihatmu hidup bahagia dengan jabatan tinggi bersama Rose?”

“Aku akan membiarkan kalian semua tahu, ketika dua puluh tahun lalu ada sebuah keluarga dengan dua anaknya hidup rukun, lalu suatu malam datang komplotan berbaju hitam membunuh kedua orang tua tersebut beserta adiknya dengan keji, tepat dihadapan anak sulungnya. Ia ketakutan setengah mati, melihat mata ibunya berubah menjadi merah dengan kulit leher yang membiru sampai rasanya ia juga akan mati melihat ibunya disiksa.”

“Lalu, setelah malam yang sangat panjang para petugas polisi baru datang, mereka mengangkat ketiga jasad tersebut seperti menyeret sampah dan meniadakan kasus tersbeut.”

“Bahkan sampai dua puluh tahun berlalu, kasus itu tetap terkubur selamanya. Terimakasih untuk Kepolisian di bawah sana, hahaha.”

“Oh iya, aku lupa siapa anak sulung itu, anak sulung itu aku sendiri hahaha.”

“Donald, kau salah, kasus itu.. kasus itu tidak berhenti diselidiki, semuanya sudah terungkap Donald. Hanya saja kepolisian tidak dapat mengungkap semuanya, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menutuk kasusnya.”

“Kau kira aku akan percaya dengan mudah?” Donald terlihat masuk ke dalam helikopter, ia menarik seorang wanita yang tangan dan mulutnya diikat dengan lakban, itu Rose.

“Lalu, bagaimana dengan ini? wanita jalang ini? padahal ia tahu dengan jelas aku menyukainya tapi ia tak sediktpun membalas ucapanku dan malah pergi denganmu bajingan.”

Tubuh Rose bergetar dengan hebat, “Aku sudah muak dengan semuanya, akan kuledakkan semuanya.”

DOR!!!

Tembakan berhasil dikeluarkan, tubuh Donald dan Rose terjatuh ke atas matras besar. Beruntung petugas pemadam berhasil membentangkan matras tersebut tepat waktu.
Terimakasih Jim, terimakasih semuanya.

Aku berlari menghampiri Rose, membuka ikatan lakban pada lengan dan mulutnya. Ia menangis, terlihat sangat lemah  dengan tubuh yang bergetar.

“Tenang Rose, semuanya sudah aman.” Aku mengecup kelopak matanya, mengusap wajahnya dengan perlahan sambil memeluknya dalam.

Donald Roger Murff berhasil diamankan dan ditetapkan sebagai pelaku tunggal dalam kasus pembunuhan berantai dan percobaan pembunuhan masal.

Jimi telah berhasil menjinakkan semua bom yang tersebar di beberapa titik kota London, petugas lainnya juga telah mengangkat bom non aktif tersebut dan mensterilkan seluruh kota.

“Rose, maafkan aku karena tidak bisa menjagamu dengan baik.”

“Tidak Peter, aku selamat dan itu sudah cukup.”

Aku memeluk tubuh Rose dengan erat, terimakasih Tuhan karena kau sudah memberikanku wanita yang kuat.

“Sebenarnya makan malam tadi, aku ingin memberikanmu ini.” Aku mengeluarkan sebuah kotak berwarna ungu, lalu memberikannya pada Rose. Ia membuka kotak tersebut, dan mengeluarkan isinya, sebuah cincin dengan khiasan berbentuk mawar berwarna ungu.

“Entah kenapa, setelah segala kejadian ini aku semakin yakin untuk melamarmu, aku merasa kalau kau adalah wanita yang tepat untuk diriku, kau selalu di sisiku ketika aku sendiri tidak bisa menjaga diriku.”

“Rose, apakah kau mau menikah denganku?”

Ia tersenyum lebar, diikuti dengan air mata yang mengalir, lalu suara riuh pengunjung kembali terdengar. Kembang api yang seharusnya dinyalakan tiga jam lalu, akhirnya menyala menutupi duka di kota London.

“Peter, kenapa bunga mawarnya berwarna ungu?”

“Kurasa setelah kejadian ini, aku tidak akan lagi menggunakan bunga mawar yang biasa, lalu warna ungu, karena warna ungu memiliki arti cinta dan kepercayaan yang bertahan lama. Aku ingin seperti warna ungu dan mencintaimu dalam waktu yang lama.”

Aku kembali memeluk erat tubuh Rose, dengan semua afeksi aku tujukan hanya padanya sampai akhirnya segala tragedi yang terjadi akan terlupakan dengan kenangan yang bahagia.

Aku akan terus bahagia bersama denganmu, Rose.


.
.
.
.
.
.
.
Selesai

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top