Kirana dan Dewi
Sebentar lagi perayaan tujuh belas agustus akan diadakan. Kirana selalu semangat menyambut kemeriahan perayaan kemerdekaan Indonesia, karena akan ada banyak sekali lomba yang bisa ia ikuti, terutama lomba menghias dan balap sepeda. Bahkan sekarang Kirana tengah disibukkan dengan mengecat sepedanya bersama dengan Inu dan Dewi. Kirana mengecatnya dengan hati-hati, menuruti perkataan Ayah tadi.
BUK!!
Terdengar bunyi gedebuk dari halam rumah Ibu Fatimah. Kami berlari ke depan untuk melihat, ternyata ada setangkai buah mangga yang jatuh, tak lama ada seorang anak yang ikut turun. Ternyata itu Dewi, ia berlari sambil membawa mangga yang jatuh tadi.
“Hei!! dasar anak nakal!! mau lari kemana kamu!!” Bu Fatimah berlari keluar sambil menjinjing sandal jepit siap melemparkannya pada Dewi.
“Ibu, maafkan Kak Dewi ya, nanti aku ganti buah mangga yang diambil oleh Kak Dewi.” Kirana berdiri takut di hadapan Ibu Fatimah, sambil menggenggam tangannya karena gelisah.
“Tidak usah Kirana, bukan kamu yang mengambilnya lain kali Ibu akan menegur Dewi.”
Ibu Fatimah mengusak kepala Kirana dengan lembut.“Terimakasih bu, tapi jangan marahi Kak Dewi ya bu.”
Bu Fatimah hanya tersenyum sambil berlalu memasuki rumahnya, ternyata Dewi memperhatikan kejadian tersebut dari balik gang. “Dasar, lagi-lagi Candra Kirana yang dibaiki, awas saja nanti.”
…
Tujuh belas agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita
Terdengar alunan lagu tujuh belas agustus dari arah panggung, menambah kemeriahan perayaan tujuh belasan. Selepas upacara penaikan bendera sederhana di lapangan, para warga berkumpul menonton berbagai macam perlombaan. Mulai dari balap karung, tarik tambang, hingga panjat pinang. Semuanya terlihat gembira, anak-anak juga berlari dengan riang sambil membawa bendera merah putih.
“Dalam hitungan ketiga, perlombaan balap sepeda akan dimulai, adik-adik ikuti arahan panah yang ditempel di sepanjang jalan ya.”
“Siap pak RT!!” jawab serentak seluruh peserta, aku sangat senang bisa ikut serta dalam lomba balap sepeda. Kirana menghias sepedanya dengan cat berwarna keemasan dan kerlap kerlip dari cangkang keong, lalu ia memasang kertas yang menyerupai sebuah selendang, terlihat seperti seorang putri.
Peserta yang lain juga tak kalah kreatif, Inu menghias sepedanya layaknya kuda kerajaan, lalu Dewi dengan warna ungu gelap dan sayap yang sama seperti milik Kirana. Ada juga yang membuatnya seperti seekor paus. Kirana terlihat sedikit gugup melihat keunikan sepeda milik teman-temannya.
Hitung mundur mulai dikumandangkan, Ayah dan Ibu ikut bersorak pada kami. “Ya, tiga!! dua!! satu!!” Anak-anak melajukan sepedanya dengan cepat, saling mendahului tak mau kalah.
Kirana juga melajukan sepedanya dengan cepat, walaupun perempuan ternyata Kirana sangat jago mengayuh sepeda, ia berada di depan sebagi temannya. Kirana berada tepat di belakang Inu, lalu Dewi menyusulnya di belakang.
Tak lama Kak Dewi ikut beriringan menyusul, “Wah, kakak cepat sekali, Kak Dewi keren!!” Kirana berucap riang pada Dewi, namun Dewi tak menggubris ucapan Kirana dan berlalu ke melewatinya.
“Aku tidak boleh kalah sama Kak Dewi,” ucapnya dengan semangat.
Setengah perjalanan telah berlalu, Dewi dan Inu sudah berada jauh di depan. Sepertinya Kirana sudah mulai kelelahan, ia mengayuh sepedanya dengan pelan. “Lelah sekali, aku ingin menang tapi kata Ayah kalau lelah tidak boleh dipaksakan, nanti aku sakit,” rutuk Kirana.
‘Selanjutnya ke kanan’, ucapnya dalam hati.
Tanpa Kirana sadari, Dewi keluar dari semak-semak. Dewi mengatur arah panahnya kembali seperti semula. “Rasain kamu Kirana, biar nyasar di hutan terus dimakan nenek sihir.” Dewi tersenyum sinis, sambil melajukan kembali sepedanya.
…
Garis akhir sudah terlihat di depan mata, Dewi muncul berada di garis depan mendahului Inu yang berada di belakangnya. Dengan senyum lebar Dewi akhirnya memenangkan perlombaan balap sepeda. Dewi bersorak gembira, Ayah dan Ibu menghampiri Dewi dan memeluknya dengan bangga. “Ayah, Ibu!! Dewi menang!!”
“Iya Dewi, selamat yaa!!”
Inu tidak ikut mengucapkan selamat pada Dewi, ia terlihat khawatir karena Kirana belum juga muncul.
Sampai seluruh peserta sampai di garis akhir, Kirana belum juga terlihat. Ayah dan Ibu mulai cemas, “Kirana kemana ya? Dewi lihat Kirana tadi?” tanya Ibu yang tengah mondar mandir di garis akhir, gelisah.
“Tidak tau bu, aku tak lihat sama sekali,” jawab Kirana dengan acuh.
Ayah meminta untuk menunda acara pemberian hadiah, karena Kirana belum juga muncul.
“Dewi, kamu kan yang membuat Kirana tersesat?” Inu berbisik pada Dewi, ia terlihat menggeram karena kesal pada ulah Dewi.
“Tidak Inu, kamu jangan asal tuduh seperti itu aku sungguhan tidak tahu.” Dewi memelas sambil memegang lengan Inu.
“Aku lihat sendiri, kamu kan yang mengubah tanda panahnya!!” tanpa sadar Inu berteriak, membuat atensi para warga tertuju padanya, begitupun dengan Ayah.
“Dewi, apa itu benar yang diucapkan oleh Inu?” Dewi bungkam dan takut untuk menatap Ayah.
Ayah menghela napas dengan diamnya Dewi, ia meraih sepeda Dewi dan membawanya memasuki hutan, diikuti oleh Inu di belakangnya
“Ayah Kirana, maaf seharusnya aku mengejar Kirana saat tahu kalau dia mengikuti arah yang salah.”
“Kamu tidak salah Inu, lebih baik kita cari keberadaan Kirana sekarang.”
“Kirana!!” kami berteriak bergantian, namun hutan terasa sangat sepi dan sunyi.
Ayah dan Inu melihat sebuah asap di langit, mereka memutuskan untuk menuju arah asap tersebut. Sesampainya di sana terlihat sebuah gubuk tua dengan kondisi yang bersih dan terawatt. Sampai akhirnya sosok Kirana keluar dari gubuk tersebut.
“Kirana!!” Ayah berlari meninggalkan sepedanya, memeluk Kirana dengan erat. “Ayah kira kamu hilang nak, kamu tidak apa-apa kan?” Ayah mengecek seluruh tubuh Kirana dengan teliti, memastikan bahwa anaknya dalam keadaan baik-baik saja.
“Kirana diselamatkan oleh nenek ini Ayah, nenek tinggal sendirian di hutan dan aku tidak tega melihat keadaan rumahnya sangat kotor dipenuhi oleh sampah,” terang Kirana pada Ayah dan Inu.
Karena kebaikan hatinya, Nenek yang ditolong oleh Kirana memberikan sekeranjang penuh buah-buah hasil panen mereka tadi. Kirana sangat senang dan berterima kasih pada Nenek.
Dewi meminta maaf dengan tulus saat Kirana datang bersama Ayah dan Inu. Dewi menjelaskan pada semuanya bahwa ia menyesal atas perilakunya, ia cemburu pada Kirana yang selalu diperlakukan baik oleh orang lain.
Ayah dan Ibu yang mendengar perkataan Dewi langsung memeluk Dewi dengan erat, “Dewi, kami minta maaf nak, maaf karena tidak bisa berlaku adil pada Dewi.”
Kirana juga ikut memeluk Dewi dengan erat, pada akhirnya keluarga mereka hidup lebih baik dari sebelumnya.
Sekarang Kirana, Inu dan Dewi juga bermain dengan akur, Dewi tidak lagi berbuat nakal seperti sebelumnya.
“Tahun depan kita ikut lomba balap sepeda lagi ya?!” ucap Kirana dengan semangat, Inu dan Dewi pun mengangguk semangat menyetujui ajakan Kirana.
.
.
.
.
.
.
.
*Cerpen ini merupakan saduran dari cerita rakyat Keong Mas, dalam rangka merayakan Dirgahayu Republik Indonesia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top