jalan kota papa
Terakhir kali kita berkendara adalah saat papa sedang menjemput adik perempuanku ke bandara. Sudah genap delapan bulan ia tidak pulang dari rantaunya. Kami semua merindukan dirinya. "Weh, bos!" begitu papa memanggil adik perempuan keduaku sambil memeluknya. Kami bukan keluarga yang sering menunjukkan rasa sayang dan cinta. Terutama aku si pemalu. Bagiku, hal baru adalah sesuatu yang sulit kuadaptasi. Sama halnya seperti menunjukkan kasih sayang. Orangtuaku jarang sekali mengelus kepala, mengusap pundak apalagi memeluk dan mencium kening. Mereka selalu mengungkapkan semuanya lewat verbal. Bagiku, itu sudah cukup. Lewat ucapan, kami cukup memahami bentuk kasih sayang itu.
Namun, siapa tahu kalau ternyata bentuk seperti itu tidak lebih dari cukup?
Aku merasakannya ketika papaku berpulang pada hari Senin tanggal sebelas bulan sembilan jam 23.37 malam. Tangis yang membakar belakang mataku tumpah ruah, raungan parau membelah dinding kamar IGD dan seluruh kejutan pahit itu meluncur bagai pasir yang remuk dari batu.
Sesuatu itu tidak akan pernah kembali lagi.
Pertama kali aku merasakan kehilangan itu, dunia terasa berhenti, jarum jam bergetar di satu angka yang sama dan aku merasa malam terasa lebih kosong daripada kegelapan. Tak ada penghuni apapun di dunia ini selain bayang-bayang wajah papa yang mengembuskan napas terakhirnya di bawah selang napas dan denyut monitor jantung yang berhenti nyaring seperti petir yang menggelegar.
Di telingaku, di depan mataku.
Aku menyaksikan dinding pembatas yang biasa menghalangi kasih sayangku dalam bertindak runtuh dan aku memegang tangan papaku erat-erat.
Masih kuingat jelas.
Amat jelas.
Tangannya yang kaku tanpa kembali membalasku.
Apa yang lebih sakit daripada luka rindu yang tidak pernah dibalas?
Kematian seseorang.
Karena setelah aku sadar, pada pukul dua dini hari, ketika semua kerabat ayahku membantunya membawa ke rumah duka, aku duduk di kursi. Ditemani suara kipas dan derik jangkrik malam. Meratapi tubuh kosong papa dalam balutan kain kafan, berbaring di ranjang jenazah sebelum ia dimandikan. Rasanya amat sepi dan kosong. Malam bukan seperti malam dan tak ada rasa apapun di sekelilingku selain kehilangan yang tak disangka-sangka.
Aku dan mama tidak bisa membeli peralatan, semua toko sudah tutup. Semuanya sudah tidur. Papa mungkin menyuruhku tidur juga. Tapi percuma. Keheningan yang merangsek naik ke kakiku, menancapkan kuku-kukunya yang pahit ke dalam kerongkongan. Membuatku sulit bernapas dan akhirnya menangis.
Malam itu, adalah malam di mana aku merasa begitu tersiksa kehilangan dirinya.
Begitu banyak memori, tumpah ruah bagai air rebus yang melalap api di bawah tungkunya. Meraung-raung minta dimatikan tapi sayangnya, tak ada satupun yang berani melakukannya karena sang didih sudah meluap, membasahi penyesalan yang kian berdatangan.
Kupikir, rasa itu bisa berhenti.
Tapi itu tidak pernah.
Sampai hari ini.
Setelah sepuluh hari papa tiada, aku pelan-pelan memberanikan diri menegarkan hati. Walau kukira tidak sanggup, ternyata waktu berhasil mengikiskan ketidakrelaanku menjadi sebuah ikhlas. Aku bersyukur berhasil melewati tiga hari tiga malam penuh siksa tidak ada papa di rumah.
Rasa kosong melalap bagai tsunami. Tapi syukurlah, waktu bisa menyembuhkan. Walau tidak total, tapi setidaknya, apa yang bisa kusesali lagi selain mendapati ini semua?
Kemudian, aku melihat kota itu di depan mataku.
Lagi, teringat papa yang menyetir di balik kemudi, melewati jalan tol dalam kota keluar pintu Cempaka Putih. Kota yang dulu selalu kita kunjungi untuk sekedar merayakan imlek bersama keluarga. Masih ingat jelas, ketika papa menyetir dengan lembut dan kendali yang menyenangkan. Tidak pernah membuat kami sekeluarga mual dan selalu bertanggung jawab.
Sekarang, tidak ada papa, siapa yang bisa memberi kenangan di kota itu lagi?
Ada banyak kota tempat papa duduk di balik kemudi, bersenandung lagu manis dari Katon Bagaswara berjudul Negeri di Atas Awan yang hingga sekarang menjadi lagu kesukaanku. Tapi Jakarta adalah satu-satunya.
Lewat mimpi yang kecil, papa memberiku banyak jendela baru mengenai dunia. Lewat atap-atap bangunan kantor yang megah di tengah arus kesibukan ibukota, papa memberiku sebuah harapan.
Jakarta adalah jalanan dan memori di mana semua itu merekammu, papa. Bukti kau pernah ada dan tidak pernah terlupa. Tempat aku bisa selamanya tinggal karena semua di awali olehmu. Tawa, canda, duka, tangis, dengan indah kau tutup lewat kata di tengah malam.
Hari ini mungkin papa tidak tahu. Tapi lewat tulisan ini, aku, anakmu, selalu bangga pernah menjadi bagian dari segala ceritamu.
Bahagia selalu, pa.
Rest in peace.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top