[JL] DAERAH DI INDONESIA: KOTA SEMARANG DARI SEGI AKULTURASI BUDAYA
Kalau berbicara mengenai Semarang, saya sebagai penghuni lokal yang lahir dan besar di sini selama 19 tahun hanya selalu ingat dengan satu lirik lagu. Begini bunyinya,"Semarang kaline banjir, kok yo ora dipikir" artinya Semarang sungainya banjir kok tidak dipikirkan.
Yah, bukan tanpa alasan sih kalau saya selalu terkenang dengan lagu itu karena selama 9 tahun masa pendidikan (SD sampai SMP), rumah saya selalu kebanjiran. Maklum saja saya tinggal di daerah pinggiran.
Namun, menginjak SMA, Kota Semarang mulai berbenah. Terdapat pembangunan alat sedot banjir di daerah Kali Berok dan beberapa tempat lain. Hasilnya, rumah saya sudah tidak kebanjiran lagi.
Bahkan, tempat-tempat wisata seperti Kota Lama juga mulai dibenahi. Kamu bisa lihat gambar di bawah ini mengenai keadaan Kota Lama yang sekarang dan dahulu. Yah, jaraknya sekitar 5 tahunan kalau tidak salah.
[sebelum direvitalisasi]
[sesudah revitalisasi]
*Angle yang difoto memang berbeda, tapi kamu bisa lihat pilar-pilar pembatas jalan dan lampu barunya terasa sangat kolonial.*
Selain terkenal akan wisata sejarahnya, kota ini juga terkenal akan makanannya. Makanya dikenal dengan Kota Lumpia. (Sudah saya jelaskan ya di Bab Makanan Tradisional Semarang)
Setelah ini, kita mundur ke belakang dengan cerita asal mula nama Semarang.
Alkisah, (eaaa berasa lagi dongeng saya) Ki Ageng Pandanaran I datang ke sebuah pulau bernama Pulau Tirang yang letaknya dekat dengan pelabuhan Bergota (sekarang sudah jadi Tempat Pemakaman Umum) dan melihat pohon asam yang jarang-jarang tumbuh berdekatan.
Beliau kemudian menamakan daerah tersebut Asemarang yang terdiri dari 2 kata, "asem" dan "arang". Memiliki arti pohon asem yang tumbuh jarang-jarang.
Kemudian pada masa kolonial namanya berubah menjadi "Samarang" dan seiring berjalannya waktu berubah menjadi "Semarang".
Ternyata pada saat masa kolonial Hindia - Belanda, Semarang merupakan salah satu dari tiga pelabuhan utama di Pulau Jawa (Jakarta dan Surabaya) sebagai pemasok hasil bumi dari wilayah pedalaman Jawa.
Yah, nggak heran sih kalau situs peninggalan kolonial banyak sekali di sini.
Selain itu, Semarang memiliki 3 perpaduan etnis, yaitu Cina, Jawa, dan Arab. Kamu bisa melihatnya dari karya budaya berupa Warak Ngendog yang memiliki 3 bagian, yaitu kepala naga, badan buraq, dan kaki kambing.
[patung warak ngendog di Taman Pandanaran]
Ada juga perpanduan budaya lainnya, yaitu Manten Kaji atau kalau dalam Bahasa Indonesia berarti Pengantin Haji.
Sama seperti Jakarta yang memiliki adat Palang Pintu, adat pernikahan di Semarang bernama Manten Kaji (perpaduan budaya Arab, Cina, Jawa, Melayu, dan Eropa)
[foto Manten Kaji]
Kamu bisa melihat dari pakaian laki-laki yang kearab-araban dengan memakai sorban dan kopiah alfiah seperti orang baru pulang dari ibadah haji. Juga, memakai baju berlengan panjang yang tertutup sampai ke leher (Kraag Shanghai).
Untuk riasannya mengambil model cengge (pengaruh Cina) dengan bedak tebal, walau sdah diperbarui sih sekarang. Untuk selop dan bentuk sanggulnya masih memakai budaya Surakarta dan Yogyakarta, dengan menggunakan hiasan melati endog remek dan tusuk konde. (sedikit tambahan dari guru saya, tedapat uang koin di sanggulnya yang mencirikhaskan budaya Arab).
Untuk pade-pade (hiasan pelaminan) terlihat lebih sederhana yang sesuai dengan jiwa pedagang warga Semarang. Pemakaian mahkota pada mempelai wanita, pedang pada mempelai laki-laki, dan penggunaan sarung tangan mencirikhaskan kebudayaan Eropa.
Kebuadayaan Cina juga bisa kamu lihat di model kebaya encim berbahan beludru dengan berpayet emas pada mempelai perempuan. Selain itu, warna merah dan emas juga tampak di bawahan yang mereka kenakan.
Prosesi pernikahan pada Manten Kaji juga lebih sederhana dibandingkan pernikahan adat Jawa yang terlampau megah. Urutannya seperti ini:
1. Upacara Meminang (Melamar)
2. Perarakan menuju tempat pelaksanaan upacara ijab kabul
3. Upacara Temon (Karena memakai adat Islam yang ijab kabul hanya dilakukan mempelai pria)
4. Upacara Sungkeman
5. Walimatul Ursy atau Pesta Pengantin
Dalam prosesinya, tidak ada acara injak telur atau lempar sirih, tapi ada ring-iringan rebana berjumlah minimal 20 orang yang menyertai kedatangan pengantin pria. Setelah bertemu, kedua mempelai didudukkan di pelaminan dan setelah 10 menit mempelai pria boleh meninggalkan pelaminan sementara mempelai wanita terus duduk sampai acara berakhir.
Lalu, untuk kebudayaan Jawa-nya masih terlihat pada pemasangan daun tebu yang berarti antebing kalbu (kemantapan hati), daun kluwih sebagai doa untuk rezeki linuwih (rezeki banyak), dan daun opo opo agar kedua mempelai tidak mengalami bahaya.
Namun, sayangnya, budaya Manten Kaji ini sudah tidak ada lagi. Bisa dibilang sudah punah padahal kebudayaan ini termasuk dalam aset kota yang patut untuk dipertahankan.
Yah, musnahnya budaya ini juga tidak lepas dari semakin banyaknya para perantauan dari pedalaman Jawa yang masih menganut adat penikahan Surakarta atau Yogyakarta sehingga bentuk upacara pernikahan pun lebih banyak mengadopsi kedua budaya tersebut.
Namun, kalau dari saya sendiri berpendapat pernikahan model Manten Kaji terasa lebih murah daripada Surakarta maupun Yogyakarta karena terasa lebih ringkas. (Yah, meski saya tidak tahu karena sangat-sangat langka yang memakainya)
Sekian dulu dari saya pembahasan mengenai Kota Semarang dari segi akulturasi budaya, sampai jumpa di artikel selanjutnya. Salam Matahari!
sumber (sudah termasuk gambar):
budayajawa.id/ritual-manten-kaji/
id.m.wikipedia.org/wiki/Kota_Semarang
Makalah Karya Ilmiah Remaja SMA Negeri 5 Semarang tahun 2011 oleh Marsya Lovinia dan Ancilla Alfionita Intan Candrasari yang dilombakan untuk kompetisi OPSI 2011. (kakak kelas, tapi saya nggak kenal, mereka udah lulus duluan T_T)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top