Bab 36: Hitam vs. Hitam

--  Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 20:00 WIB

"Cerberus, kami akan terbang ke Kepulauan Seribu. Sementara koneksi akan terputus. Aku akan kabarin kamu lagi kalau kami sudah sampai," bisik Tiara ke earpiece-nya.

"Cronus, bukan Cerberus," ralat Phillip dari tempat duduknya.

"Iya, iya, Cronus," gerutu Tiara sambil mematikan earpiece-nya.

Pak Alfred masuk ke kokpit helikopter dan menyalakan mesinnya. Tiara mengambil tempat duduk di hadapan Kapolda dan kedua anak buahnya. Meskipun mereka berpakaian orang sipil, Tiara mengamati bahwa terdapat selongsong berisi revolver di pinggang Kapolda dan kedua anak buahnya.

"Pak Kapolda, kenapa Bapak memutuskan untuk mempercayai saya?" tanya Tiara. "Saya tahu identitas Bapak, tetapi Bapak tidak mengetahui identitas saya. Bukankah itu berbahaya?"

"Saya tidak ada pilihan lain. Sejak lama saya ingin menjatuhkan wakil saya. Ini kesempatan saya untuk melakukannya," ujar Kapolda.

"Apa yang terjadi?"

"Urusan internal."

Tiara mengangguk. Toh, kalau dia butuh tahu, dia bisa menguak informasi itu dari Bagus atau Lita.

Tak lama kemudian, helikopter mendarat di pulau tak berhuni di Kepulauan Seribu. Pak Alfred mempersilakan mereka turun. Kedua anak buah Kapolda meningkatkan kesiagaan mereka dan menggenggam pistol yang diselipkan di pinggang mereka erat. Kapolda tetap terlihat tenang, namun matanya menyapu seluruh pemandangan pulau dengan thermal goggles-nya.

"Jangan terlalu naif, Nona Senja. Kalau kamu berpikir saya tidak tahu identitasmu, kamu meremehkan kepolisian," bisik Sang Kapolda ketika ia melewati Tiara.

Sang vigilante sedikit melebarkan matanya, namun ia tetap menjaga ketenangannya. "Tidak masalah, Pak. Yang penting kegiatan saya tidak dicegat."

"Tenang saja. Untuk sementara akan saya biarkan," ujar Kapolda.

Beberapa meter dari landasan helikopter, mereka tiba di reruntuhan bangunan tua di tengah pulau. Pak Alfred membawa mereka ke pintu besi yang menjadi anomali di antara keprimitifan tempat ini. Dengan sidik jari dan iris matanya, ia membuka pintu tersebut.

"Tempat apa ini?" tanya Kapolda.

"Bekas benteng zaman Belanda, properti salah satu pengusaha di Jakarta," jawab Pak Alfred.

Kapolda mengangguk. Tidak heran, untuk beroperasi sebagai vigilante pastilah membutuhkan dana yang besar. Jika tidak disokong oleh pengusaha, siapa yang sanggup bertahan?

Kedua polisi yang menemani Kapolda terlihat was-was. Mereka tercengang melihat interior bangunan yang terlihat canggih dengan berbagai teknologi yang bahkan tak lazim ditemui di Jakarta.

"Pak, tempat apa ini?" bisik salah satu polisi.

"Gimana kalau ini jebakan, Pak?" timpal polisi lainnya.

Kapolda mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan diam. Ia mengikuti Tiara dan Pak Alfred ke dalam lift untuk turun ke penjara bawah tanah.

Di dalam dua ruang tahanan, Sujatmo Laksono dan Doni Laksono dipisahkan oleh dinding besi. Mereka tidak dapat berkomunikasi kecuali saat jendela kecil di dekat pintu dibuka untuk mengirimkan makanan. Meskipun baru ditahan beberapa minggu, perubahan terlihat pada fisik mereka. Wajah Sujatmo bertambah kerutan dan tubuhnya terlihat lebih kurus dan lemah. Sedangkan binar congkak yang biasa terlihat di sorot mata Doni berganti dengan api amarah.

Kapolda menatap mereka dengan mata elangnya. Begitu Pak Alfred membuka pintu ruang tahanan, ia segera memerintahkan kedua anak buahnya untuk memborgol keduanya. Tanpa banyak bicara, anak buah Kapolda menggiring mereka ke luar ruang tahanan menuju lift untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.

"Gimana, enak dipenjara? Penjara di sini jauh lebih bagus dan nyaman, loh, dibandingkan rutan. Dibandingkan kejahatan yang kalian lakukan, aku masih terlalu baik," ujar Tiara.

"Wanita iblis! Polisi, tahukah dia siapa? Dia juga melanggar hukum!" seru Doni Laksono. "Dia itu Tia..."

"Sudah, sudah, nanti aku makin ngetop," kata Tiara sambil membungkam mulut Doni dengan plester. "Kamu nggak diizinkan bicara. Diam saja sana."

Tanpa banyak kesulitan, mereka berhasil menggiring Sujatmo dan Doni ke landasan helikopter. Pak Alfred kembali masuk ke kokpit untuk menyalakan mesinnya.

Tiba-tiba kilatan petir menyilaukan mata sejenak.

Tiara menengadahkan kepalanya. Aneh, langit terlihat cerah tanpa awan. Mengapa bisa ada petir?

"Pak, apakah ada masalah?" tanya Tiara melihat Pak Alfred masih belum menyalakan mesin helikopter.

"Granat!" teriak salah satu polisi.

Pak Alfred melompat dari pintu helikopter untuk menaungi Tiara.

DUAR!

Ledakan kecil menggulingkan helikopter. Untunglah tidak menimpa siapapun. Namun mereka kehilangan kendaraan pulang.

"Cronus, kamu mendengarku?" tanya Tiara. "Cronus!"

"Hesper, aku bisa mendengarmu. Aku melihat beberapa titik panas selain kalian di pulau itu. Hati-hati. Aku akan mengirim helikopter lain untuk menjemput kalian," sahut Phillip dari markas Tiara.

Tiara sedikit terkejut, Phillip ternyata sangat profesional. Namun tak ada waktu untuk memikirkannya.

"Berapa orang?" tanya Tiara.

"Sekitar dua puluh orang," jawab Phillip. "Mereka membawa senjata api."

"Semuanya?"

"Ya."

Tiara berpikir sejenak. Ia pernah mengalahkan dua puluh anggota Macan Hitam. Tapi itu dulu, saat masih ada Bagus dan Danar. Sekarang ada Kapolda, dua anak buahnya, dan Pak Alfred. Namhn ia tak tahu seberapa kemampuan mereka.

"Pak, kita dikepung," ujarnya tenang kepada Kapolda.

Baru saja Tiara menutup mulutnya, segerombolan preman berpakaian serba hitam mengelilingi mereka dalam formasi lingkaran. Tiara mengeluarkan senjata kejutnya, namun ia tak dapat menyalakannya.

Ternyata petir yang dilihatnya tadi adalah senjata EMP besar untuk merusak sirkuit listrik senjata elektronik mereka.

Tiara mengeluarkan revolver tradisionalnya. Begitu pula dengan Kapolda dan dua anak buahnya.

"Jangan sampai tahanan lepas," instruksi Kapolda.

Seorang lelaki keluar dari formasi lingkaran dan menghadap Kapolda.

"Pak Rahardjo, saya nggak percaya Bapak sampai mau bekerja sama dengan pelanggar hukum seperti dia," ujarnya sambil menunjuk Tiara.

"Apapun demi lepas dari kepentinganmu, Pak Arifin," sahut Kapolda sambil mengarahkan revolvernya ke kepala Brigjen Pol. Arifin. "Kalian menyerang kami, kami tak bertanggung jawab dengan keselamatan Sujatmo dan Doni. Itu, kan, yang kalian mau?"

Brigjen Pol. Arifin tertawa. "Mereka? Bukan, bukan mereka. Tapi dia," ujarnya sambil mengarahkan revolvernya ke kepala Tiara. "Tanpa rekan-rekannya, ini kesempatan yang tepat untuk menjatuhkan Sang Vigilante. Dan tentu saja, kami membawa sandera."

Seorang preman maju mengikuti arahan Brigjen Pol. Arifin. Ia menyeret seorang perempuan yang tampak ketakutan. Tiara mengenali perempuan itu. Istri Kapolda.

Kapolda menahan napas.

"Inilah kenapa kamu selalu kalah langkah dariku, Raharjo," ujar Arifin. "Kamu nggak berani main kotor. Dan kamu, Tiara Suryajati. Kamu pikir kamu pintar, bisa ikut campur di dunia kami. Kamu sama naifnya, tidak, bahkan lebih naif daripada pacarmu itu."

Tiara tertawa. "Jangan bermonolog terus, Pak. Bosen aku. Lagian dia belum, eh, bukan pacarku."

Tiba-tiba Arifin merasakan sesuatu menancap di lehernya. "Bagaimana bisa?"

Tiara tersenyum. "Dalam bukunya The Art of War, Sun Tzu pernah bilang, ada dua hal yang perlu dipersiapkan sebelum maju perang. Pertama, kenali dirimu. Kedua, kenali lawanmu. Aku tambahkan, kenali arena pertempuranmu."

Ia melirik ke Pak Alfred yang menggenggam selongsong panah bius dan menganggukkan kepalanya.

"Dan ini," lanjut Tiara, "adalah arena pertempuranku."

Arifin terjatuh. Istri Kapolda masih membeku ketakutan di tempatnya. Sang Kapolda ingin meraih istrinya, namun dua puluh anggota Macan Hitam di bawah komando Ruslan mengepung mereka dan mengarahkan pistol mereka ke arah Tiara, Kapolda, dan dua anak buahnya.

Landasan tempat mereka berdiri bergetar turun setengah meter dari permukaan tanah. Para anggota Macan Hitam kehilangan keseimbangan. Dengan gesit, Tiara berlari ke arah istri Kapolda. Pada saat yang bersamaan, Ruslan menembakkan pistolnya ke arah Tiara. Sang vigilante berguling.

Tiara menggapai tangan istri Kapolda dan mendorongnya ke luar arena pertempuran. Pak Alfred segera meraih perempuan itu dan mengamankannya ke dalam gedung.

Melihat istrinya sudah diselamatkan, Kapolda tanpa ragu lagi terjun ke dalam pertempuran.

"Pastikan Sujatmo dan Doni tidak lepas," perintahnya kepada anak buahnya.

"Uranus, bawa Sujatmo dan Doni ke dalam gedung supaya mereka nggak kabur," bisik Tiara ke earpiece-nya.

"Pesan diterima," ujar Pak Alfred sambil berlari ke arah Sujatmo dan Doni.

Kapolda bertarung tidak seluwes kedua anak buahnya karena ia sudah lama tidak terjun lapangan. Namun taktik dan strateginya paling matang. Ia tak segan menggunakan revolvernya untuk melumpuhkan para anggota preman. Ketika ada yang menghalangi tangan kanannya, ia menggunakan tangan kirinya untuk meraih pistol satunya dan menembak lawannya.

Karena senjata kejutnya tak berfungsi, Tiara terpaksa berkelahi dengan tangan. Sarung tangannya telah dilengkapi pelindung besi di ruas jarinya, dan ia berkali-kali menancapkan panah bius ke leher lawannya untuk mengurangi waktu pertarungan. Beberapa lawannya, yang sudah mengetahui taktik Tiara, ikut menggunakan senjata bius untuk melumpuhkan Tiara. Namun sang vigilante mengenakan pakaian tertutup sampai ke leher sehingga tak ada celah yang bisa ditembus panah bius.

Tak disangka, Pak Alfred mampu bertarung dengan cerdik. Berbekal senjata yang ia simpan di dalam gedung dan tak dirusak serangan EMP, ia berhasil melumpuhkan beberapa anggota Macan Hitam. Benar kata Tiara, arena pertempuran ini milik mereka.

Tiara berhadapan dengan Ruslan. Lelaki bertubuh kekar itu melemparkan granat ke arah gedung untuk membuka paksa pintunya. Dinding rapuh itu pun runtuh, membuat celah yang cukup besar. Namun ia tetap tak bisa masuk ke dalam karena besi pelapisnya masih utuh. Ia berniat melempar bahan peledak yang lebih besar.

DOR!

Tiara menembak bahu kiri Ruslan. Lelaki kekar itu terhentak sejenak, namun tak ambruk.

Baju anti peluru, pikir Tiara. Ia bisa saja membunuhnya dengan menembak kepalanya, namun ia teringat sesuatu.

"Jangan membunuh. Kalau kamu membunuh, kamu bersalah."

Sial! gerutu Tiara dalam hati.

Di antara keraguan Tiara, Ruslan berbalik dan melemparkan peledak ke arahnya.

PIP! PIP! PIP!

DUAR!!!

Tiara merasakan hilang sensasi pada anggota tubuhnya.

Lalu semuanya menjadi gelap.

.

.

.

-- Rumah sakit di Kuningan, Jakarta Selatan, 22:00 WIB

Tiara membuka matanya. Ia mendapati dirinya berbaring di atas tempat tidur di rumah sakit. Kostum vigilantenya sudah berganti menjadi pakaian rumah sakit. Ia melepas alat bantu pernapasannya dan melihat ke sekitarnya. Butuh beberapa waktu sebelum matanya berhasil fokus. 

Pak Alfred dan Phillip ada di sana. Mereka menghampiri Tiara begitu ia menggerakkan lengannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Tiara. "Aku ingat ada yang melempar granat padaku."

"Itu granat asap. Mengeluarkan gas methoxyflurane yang biasa digunakan sebagai anestesi. Dosisnya cukup untuk membuat tubuhmu mati rasa," jelas Pak Alfred.

Tiara melihat lengannya. Pantas saja tidak ada luka di tubuhnya. Namun sendi-sendinya terasa lemas dan tubuhnya sulit digerakkan. Namun mengapa Ruslan menyerangnya dengan gas asap? Tidak sekalian membunuhnya saja?

"Gimana dengan Sujatmo dan Doni?" tanyanya.

"Kapolda berhasil membawa mereka ke Polda Metro untuk diproses lebih lanjut," jawab Pak Alfred.

Tiara menghembuskan napas lega. "Untunglah. Gimana dengan Wakapolda?"

"Dibawa ke Polda Metro juga. Kapolda nggak beritahu apa yang akan dilakukannya. Katanya itu urusan internal kepolisian," jawab Pak Alfred lagi.

Tiara mengangguk. Kemudian ia menoleh ke Phillip. "Phil! Lu gimana bisa ngirim helikopter ke sana?"

Phillip hanya menyengir. "Gue, kan, anaknya Pak Alfred."

Tiara mengernyitkan dahinya. 

"Bokap lu punya banyak helikopter, Ti. Gue tinggal suruh aja salah satu pilot helikopter jemput kalian di sana."

Tiara membuka mulutnya. "Lalu identitas gue ketahuan, dong?"

"Tenang, Ti. Bokap gue udah ngurusin semuanya."

"Makasih, Pak. Makasih, Phil," ujar Tiara. 

Pak Alfred mengangguk, sementara Phillip masih menyengir. 

Tiba-tiba Tiara mendengar sesuatu di telinganya. Sepertinya earpiece-nya masih menempel. 

"Tiara, apa yang terjadi?  Aku dengar kamu di rumah sakit?" Itu suara Bagus. 

Sudut bibir kiri Tiara tertarik ke atas. "Kamu nge-stalk aku lagi, Gus?"

"Kapan kamu berpikir positif tentangku? Aku mendengarnya lewat earpiece-ku. Sepertinya Lita lupa mematikannya.

"Aku berpikir positif tentangmu, kok. Kamu ganteng."

Terdengar suara tawa Bagus dari seberang earpiece-nya. "Oke, kamu nggak parah." 

"Tadi aku cuma terkena gas asap. Jangan khawatirkan aku, oke? Fokuslah pada misimu." 

"Mana mungkin aku nggak khawatir? Aku nggak ada, Danar juga nggak ada. Bahkan Lita nggak ada. Kamu sama siapa?"

"Ada Pak Alfred dan Phillip."

"Siapa Phillip?"

Tiara melirik ke arah kakak Lita sambil tersenyum iseng. "Phillip itu cowok ganteng koleksi terbaruku. Karena kamu dan Danar pergi, aku butuh yang baru buat cuci mata, dong."

Phillip melongo. 

"Apa?" Suara Bagus naik setengah nada.

Tiara tertawa terbahak-bahak. "Cemburu, nih, Mas."

"Kamu teganya mempermainkan aku, Ti."

"Phillip itu kakak Lita, oke? Udah, nanti kamu ketahuan penyamarannya. Nanti kuminta Phillip untuk mematikan koneksi earpiece-mu. Masih aja dibawa-bawa."

"Hehe. Aku masih bareng rekan-rekanku ini," ujar Bagus dari seberang sana. "Oke, deh, kalau kamu baik-baik aja, aku bisa tenang sekarang. Selamat malam. Jaga dirimu, ya."

"Malam," balas Tiara. 

"Jadi gue ganteng, nih?" goda Phillip begitu Tiara melepaskan earpiece dari telinganya.

"Jangan ngarep, ya, Phil. Gue cuma seneng godain dia." 

"Cie, 'dia'," ujar Phillip sambil mengedip-ngedipkan matanya. 

"Idih, jijik," gerutu Tiara sambil mengerutkan hidungnya. 

.

.

.

-- Jatinegara, Jakarta Timur, 08:00 WIB

Pagi berikutnya. Bagus duduk di bangku kayu panjang di sebuah warteg sambil membaca surat kabar. Tiga orang rekannya, yaitu AKP Rizki Budiman, Ipda Fariz Suryana, dan Briptu Restu Burhanuddin, duduk di sebelahnya. 

Bagus tersenyum melihat tajuk berita di halaman utama surat kabar tersebut: "Anggota DPR Sujatmo Laksono Terlibat Kasus Suap Proyek MRT." Anak judul menuliskan, "Putranya, Doni Laksono, dijerat pasal berlapis." 

Satu kena, sisa tiga, pikirnya. 

Artikel itu tidak menyebutkan sang vigilante sebagai pemeran utama dalam keberhasilan penangkapan kedua orang tersebut. Mungkin Tiara memang sengaja tak ingin dimunculkan. Sujatmo dan Doni disebut telah ditemukan di Kepulauan Seribu. Namun bagian kedua dari artikel tersebut membuat Bagus menghembuskan napasnya dalam-dalam. Surya Jati disebut terlibat dalam kasus suap Proyek MRT.

Surya Jati bukan orang yang menyuap Sujatmo dan Doni.

Ia tahu, Surya Jati tidaklah bersih. Namun mengatribusikan suatu kejahatan dengan orang yang bukan pelakunya juga tidak benar. Nama Krisanto Purnomo sama sekali tidak dicantumkan dalam artikel ini. 

Bagus jadi bertanya-tanya, apakah Tiara sudi membawa ayahnya ke pengadilan? Ah, bukan saatnya memikirkan hal-hal yang terlalu jauh. Pikirkan saja yang di depan mata. 

Sejak kemarin sore, ia kembali bergabung dengan AKP Rizki Budiman dan anak buah lainnya untuk menyelidiki Macan Hitam. Rizki memberitahunya bahwa sejauh ini mereka masih mengamati dari jarak jauh. Belum ada yang berani menyusup ke dalam Geng Macan Hitam seperti yang dilakukan Iptu Adhan dua tahun lalu. Selama setahun terakhir, Rizki dan anak buahnya membentuk sebuah geng preman yang bernama Tornado.

"Pelan-pelan dulu, Gus. Kamu, kan, udah lama nggak turun lapangan. Gerak-gerikmu masih harus disesuaikan supaya mirip preman," nasihat Rizki sambil menghisap rokoknya. "Soal penampilan, nggak perlu berlebihan seperti itu sebenarnya. Sampai pake luka palsu segala."

"Kalau terlalu bersih, nggak bakal ada yang percaya dia preman, Mas," timpal Fariz. "Muka-muka kaya begitu, terlalu lugu. Adanya malah dikira mas-mas nyasar di kumpulan preman."

Rizki dan polisi-polisi lainnya tertawa.

"Nasib jadi orang ganteng, ya, Gus," ledek Burhan.

Bagus hanya mengangkat bahunya. "Pokoknya aku berniat melanjutkan kerjaan Mas Adhan dan mengakhiri dominasi geng ini," ujarnya. "Apapun akan kujalani demi mencapai tujuan tersebut."

"Semangatmu bagus. Tapi jangan gegabah," peringat Rizki lagi.

Bagus mengangguk.

Rizki menjelaskan bahwa Geng Tornado berada di bawah naungan Geng Skorpion. Setiap geng preman memiliki wilayah masing-masing. Saat Geng Tornado baru terbentuk, geng preman lain yang berada di wilayah Jagakarsa tak suka dengan kehadirannya. Pertarungan jalanan pun sering tak terelakkan. Namun entah bagaimana caranya, Rizki berhasil mengambil hati ketua Geng Skorpion.

Mata Bagus melebar mendengar nama tersebut. "Geng Skorpion?" Ia teringat bahwa Geng Skorpion adalah kelompok penjahat yang memperkosa Angela hingga meninggal. 

"Kenapa? Kamu pernah dengar?" tanya Rizki.

"Ya. Geng itu bekerja sama dengan Macan Hitam."

Rizki tertawa. "Kamu pikir kenapa kami memilih Jatinegara? Itu karena kami tahu ada wilayah kekuasaan Geng Skorpion di sana."

"Aku baru tahu Geng Skorpion bekerja untuk Macan Hitam bulan lalu," ujar Bagus. Itu pun tahu dari Tiara, pikirnya.

"Nak, masih banyak hal yang perlu kamu pelajari," ujar Rizki. "Kamu keluar dari Operasi Singa Putih dua tahun lalu, pasti banyak ketinggalan. Meskipun penyelidikan kami lambat, tetap saja ada sedikit kemajuan."

Malam itu juga, ia mengurung diri di kamarnya yang hanya sepetak, mempelajari dokumen-dokumen yang dikumpulkan Rizki mengenai Operasi Singa Putih, khususnya yang terkait dengan Macan Hitam. Tidak begitu banyak, hanya ada lima lembar. Namun Bagus berkali-kali membacanya sampai hafal luar kepala. 

Rizki bercerita, sebenarnya ia ingin menyelidiki lebih jauh dengan cara mendekati Macan Hitam lagi, namun dicegat oleh Kombes Pol. Naryo dengan alasan berbahaya. Bagus tentu saja tahu alasan sebenarnya. Tiba-tiba ia merasa muak dan pusing dengan semuanya. Begitu banyak kebohongan dan kepalsuan. Ia merasa seperti ingin berlari, namun kakinya dirantai dengan bola besi sehingga tenaganya habis tanpa dapat bergerak. Namun ia harus bertahan. Demi kebenaran dan keadilan. 

Pagi berikutnya, mendengar berita tentang penangkapan Sujatmo sedikit menghibur dirinya. Beban di hatinya sedikit terangkat. Semoga inilah akhir dari perjuangan mereka menangkap Sujatmo dan Doni. Semoga mereka diproses secara hukum dengan adil. 

"Berarti target selanjutnya Surya Jati," ujar Burhan. 

"Berita itu salah," kata Bagus. "Surya Jati nggak menyuap Sujatmo Laksono."

Rizki, Fariz, dan Burhan menatap Bagus dengan heran. 

"Kamu tahu dari mana?" tanya Rizki. 

"Bagus, kan, ehem, dekat sama anaknya Surya Jati," ujar Fariz.

"Masa, sih?" tanya Rizki.

"Udah rahasia umum itu, Mas," timpal Burhan. "Dia yang menginterogasi Tiara Suryajati saat bersaksi mengenai kasus penyanderaan yang menimpanya beberapa bulan lalu."

Rizki mengangguk-angguk. Mulutnya membuat huruf O.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku nggak bias, terpengaruh karena kedekatanku dengan Tiara. Surya Jati nggak bersih, tapi dia nggak menyuap Sujatmo. Yang menyuap Sujatmo adalah Krisanto Purnomo," jelas Bagus. 

"Sebaiknya kamu bisa membuktikan ucapanmu," ujar Rizki. 

"Aku kemari untuk membuktikannya," sahut Bagus dengan tenang sambil menatap mata Rizki. 

.

.

.

-- Suryajati Tower, Sudirman, Jakarta Selatan, 10:00 WIB

Surya Jati menatap layar laptopnya dengan mata elangnya. Terlihat video Tiara sedang bersiap-siap pulang dari rumah sakit, ditemani oleh Phillip. Ia menautkan jari-jarinya sambil menarik napas. Kemudian matanya terpejam seakan-akan ia sedikit menyesal, namun ia terpaksa melakukannya. 

Di kerah sang direktur utama PT. Jati Nusantara terdapat sebuah pin emas. Namun sebenarnya itu adalah mikrofon yang disamarkan. Di telinganya terpasang earpiece yang terlihat seperti alat bantu pendengaran. 

"Pak, maaf mengganggu pagi-pagi. Pak Adi ingin bertemu," ujar seorang bawahannya melalui earpiece tersebut. 

"Baiklah, saya akan ke sana," sahut Surya Jati ke pin emasnya. 

Surya Jati masuk ke ruangan rahasianya di balik lemari bukunya. Di antara loker-loker yang berjajar menutupi dinding, ada beberapa buah loker palsu. Ketika Surya Jati membukanya, tampak sebuah lift rahasia yang menuju langsung ke sebuah ruangan di tempat parkir bawah tanah. Dari luar, ruangan tersebut terlihat seperti gudang dengan keypad elektronik. 

Pak Adi, kepala preman Surya Jati, yang pernah bertemu dengan Tiara beberapa kali untuk menjalankan balas dendam perempuan itu, telah menunggu di ruang tersebut.

"Mereka bisa dipercaya?" tanya Surya Jati.

"Ya, Pak. Bapak sudah lihat bahwa Non Tiara nggak sungguhan dicelakai. Hanya dilempar granat asap untuk melumpuhkannya. Macan Hitam masih bisa diandalkan."

Surya Jati mengangguk. "Tiara sudah terlalu dalam terlibat dalam urusan ini. Saya tidak mau dia ikut campur terlalu banyak. Dia harus dihentikan." 

"Gas itu mencegahnya mengeluarkan kemampuan maksimalnya selama beberapa hari," ujar Pak Adi. "Namun melihat sifat Non Tiara, saya kira dia akan tetap nekat menjalankan misinya."

"Kamu benar. Saya harus menghalanginya sebagai ayah. Saya sengaja menyibukkan dia dengan urusan perjodohan dengan Leo, urusan bisnis dengan CyberTech, namun dia terlalu fokus pada misinya."

"Apapun yang Bapak ingin saya lakukan, sebutkan saja."

Surya Jati menggeleng. "Saya akan melakukannya sendiri. Kamu awasi saja supaya Macan Hitam nggak benar-benar mencelakai putriku. Kalau mereka melanggar perjanjian, tak perlu segan lagi. Habiskan mereka."

"Baik, Pak," sahut Pak Adi. 

.

.

.

Bersambung.

(5 November 2017)

#29 Action

Catatan penulis: Surya Jati ngapain, ya? Ada yang bisa nebak? 🤔🙄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top