Bab 12: Kembali

--------------------------------------

You are reading Jakarta Vigilante by valloria on Wattpad.

www.wattpad.com/user/valloria

If you are reading this on other site than Wattpad, you are probably on a mirror web. Please stop reading and report to me immediately.

--------------------------------------

Jakarta.

Kota yang ditinggalkan Tiara selama tiga bulan.

Kota yang ia cintai sekaligus benci.

Kota dengan langit berasap dan hutan beton.

Kota di mana yang kaya bertambah kaya, dan yang miskin bertambah miskin.

Akhirnya ia kembali.

Tiara menatap ke luar jendela pesawatnya. Terik matahari dan landasan pacu pesawat menyambut pandangannya. Bodi pesawat menukik turun lantaran siap mendarat. Beberapa menit kemudian, roda pesawat telah menyentuh aspal landasan. Namun pesawat belum berhenti karena masih menurunkan kecepatan. Ia merasakan seseorang menggenggam tangannya. Tiara menoleh untuk melihat wajah Stevan yang tersenyum di sisinya. 

Sejak kejadian malam itu di hotel Jati Village, Tiara berterus terang pada Stevan bahwa ia belum ingin berkomitmen menjalani hubungan dengannya, namun ia tak menolak jika mereka sesekali berkencan. Stevan sangat pengertian terhadapnya. Ia tak keberatan sama sekali dengan keinginan Tiara. Malahan, ia mengaku sedang mempersiapkan diri karena sebentar lagi ayahnya akan menunjuknya sebagai CEO perusahaannya. 

"Tapi kita masih bisa sering bertemu, kan?" tanya Stevan.

"Tentu saja. Telepon atau chat aja kalau mau ketemu. Kalau aku nggak sibuk, aku pasti akan meluangkan waktu untukmu," jawab Tiara sambil tersenyum. 

Akhirnya pintu pesawat pun terbuka. Sebagai penumpang kelas bisnis, Tiara diberikan kesempatan untuk turun terlebih dahulu. Stevan membantunya menurunkan koper dari atas kabin pesawat. 

"Jakarta. Aku pulang," gumam Tiara.

.

.

.

-- Penthouse Tiara, Kuningan, Jakarta, 11:00 WIB

"Apa? Kamu pulang hari ini?" Lita berbicara ke ponselnya. "I-iya... aku akan minta pelayan untuk membersihkan apartemenmu. Iya, kalau kamu sudah pulang, pasti semuanya sudah beres, kok."

Tiara memutuskan sambungan dari seberang telepon. Lita menghembuskan napas lewat mulutnya. Ia memandang ke sekitarnya. Apartemen Tiara sudah berubah menjadi sarang programmer. Mangkok styrofoam bekas mi instan seduh bertebaran di kitchen island. Meja makan dipenuhi layar LCD, ponsel untuk uji coba aplikasi, dan kertas-kertas coretan. Sebuah kantong cemilan yang sudah habis tergeletak di sudut meja.

Tiara memang meminta Lita membuat aplikasinya di apartemennya, sekalian tinggal di sana. Ia sengaja tak mau muncul sebagai pencetus ide pembuat aplikasi keamanan ini agar tidak dicurigai bahwa ia telah berubah.

Lita merekrut beberapa mahasiswa untuk bekerja paruh waktu dalam timnya. Dalam tiga bulan mereka sudah menyelesaikan pembuatan aplikasi tersebut. Mereka juga sudah menguji coba dengan teman-teman dan keluarga mereka. Yang tersisa hanya merilisnya dan mengusulkannya ke pihak kepolisian.

Dasar berantakan! gerutu Lita dalam hati. 

Yah, ia turut andil dalam mengacak-acak apartemen Tiara, sih. Namun, saat ini para mahasiswa itu sedang kuliah dan ia harus membereskan semuanya sendiri. Meskipun pelayan-pelayan Tiara akan datang membantunya, ia harus memilah dulu mana yang akan disimpan dan mana yang akan dibuang.

Tiga puluh menit kemudian.

"Akhirnya beres!" ujarnya.

***

Bel berbunyi. Lita berlari ke pintu dan membukanya. Tiara berdiri di ambang pintu, tangan kanannya menarik pegangan koper kecilnya yang berwarna coklat muda. Di belakangnya, Danar membawakan koper yang lebih besar. 

"Welcome home!" seru Lita sambil memeluk Tiara erat-erat. 

"Ampun, deh, Lit!" protes Tiara, namun sinar di wajahnya tak mampu menunjukkan kebahagiaannya bertemu kembali dengan sahabatnya. 

Pak Alfred dan tiga orang lain yang tak dikenal Tiara menyusul di belakang Lita. Sepasang suami istri dan seorang anak lelaki kecil. Sang suami duduk di atas kursi roda yang didorong oleh istrinya. Sang anak berlari menghambur ke pelukan Danar. 

"Om Danar!" 

"Chandra, jagoan Om!" balas Danar. Ia menggendong anak itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Mas, Mbak, kenapa kalian bisa ada di sini? Dan Mas udah duduk di kursi roda!" Kemudian ia menoleh pada Tiara, namun gadis itu sedang asyik mengobrol dengan Lita. 

Pak Alfred mendatangi Danar. "Nak Danar, Non Tiara menyuruh saya mengurus perawatan kakak Anda. Kakak Anda sudah mengikuti terapi selama tiga bulan. Tak dipungkiri, dia akan dapat berjalan lagi."

Tiara mengamati Danar dari jauh. Wajah lelaki itu yang biasanya datar kini tersentuh dengan emosi. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Makasih, Pak Alfred,"  ujarnya sambil memeluk Pak Alfred.

"Nak Danar juga sebaiknya berterima kasih pada Non Tiara."

Danar mendatangi Tiara dan menjabat tangannya erat. "Makasih, Tiara. Aku terlalu banyak berhutang padamu."

Tiara tersenyum. "Nggak apa-apa, nanti aku tagih satu-satu. Sekarang kalian istirahat dulu. Aku sudah menyiapkan satu unit apartemen untuk kalian supaya gampang kalau aku mau panggil kamu. Pak Alfred, tolong antarkan mereka, ya?"

Kakak Danar dan istrinya berterima kasih kepada Tiara sebelum mereka berpamitan. 

"Ah, Tiara, gue seneng banget ngelihat lu bantuin keluarganya Mas Danar," ujar Lita. 

"Gue nggak sembarangan bantuin orang. Membantu itu semacam investasi. Bantulah orang yang bakal nguntungin lu."

"Tiara!!!" protes Lita kesal. 

Tiara hanya tergelak. Ia memang tak ingin dipuji. "App pesenan gue gimana, Lit?"

"Udah jadi, kok. Udah diuji coba juga. Tinggal disodorin ke polisi," jawab Lita. "Mungkin lu sebaiknya istirahat dulu, Ti, sebelum kita berdiskusi lagi."

"Oke. Nanti malam kemari lagi, ya, Lit. Ada urusan penting yang perlu gue kasih tahu ke lu dan Danar."

***

Malam itu, Lita dan Danar telah berkumpul kembali di penthouse Tiara. Ia mengajakmereka masuk ke lift pribadinya. Lift yang hanya dapat diakses dari penthouse tersebut. Pintu lift terbuka. Mereka masuk ke dalam lift. Tiara menekan tombol lantai basement.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di lantai basement. Pintu lift kembali terbuka. Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan tembok putih. Aroma cat yang menyengat menandakan bahwa ruangan itu baru dibangun. Beberapa lemari dan rak kayu berderet di depan tembok, namun tak ada barang di dalamnya. Lantainya tak berubin, hanya di-coating berwarna abu-abu. Ada beberapa kardus dan peti yang belum dibuka. Di dalam ruangan tersebut sudah ada orang. Pria tua berkepala botak yang sangat mereka kenali.

"Ayah?" tanya Lita tak percaya. 

"Selamat datang ke ruang latihan, anak-anak," ujar Pak Alfred.

Ternyata, selama Tiara berada di Manado, ia telah menginstruksikan kepada Pak Alfred untuk membangun ruang bawah tanah yang hanya dapat diakses melalui lift khusus dari penthouse Tiara. Ia juga sudah memesan bermacam-macam peralatan untuk menunjang kehidupan vigilante-nya, seperti komputer dan server, alat-alat olahraga, dan berbagai senjata.

"Wow!" pekik Lita saat membuka salah satu peti. Berbagai macam senjata, mulai dari tongkat besi, pedang, pisau, pistol, hingga senapan berada di dalamnya. "Astaga, Tiara, dari mana kamu dapat ini semua?"

"Tentu saja gelap-gelapan," kata Tiara. "Tapi aku harus berjaga-jaga. Kalau lawanku punya senjata, aku juga harus punya. Mungkin aku nggak akan bawa semuanya setiap saat, tergantung misiku."

"Kamu... kamu ingin menjadi seorang vigilante?" tanya Danar. "Itukah rencanamu?"

"Rencanaku, aku akan berpura-pura menghentikan pengusutan ini. Pura-pura menuruti mereka. Tapi aku akan tetap mengusut mereka secara anonim. Bukan cuma mengusut. Aku juga akan memberantas mereka."

"Tiara, kamu jangan bercanda. Kamu pikir, seperti di film-film superhero? Kamu bukan orang sembarangan. Kamu putri orang kaya, yang kalau diculik dapat dijadikan tebusan bernilai tinggi," tegur Danar. "Lalu bagaimana denganku? Aku akan menjadi seorang bodyguard gagal."

"Danar, kalau kekhawatiranmu adalah soal uang atau reputasimu, itu bukan masalah untukku. Kalau kamu mengkhawatirkan diriku... hm... terima kasih banyak, tapi aku nggak butuh itu. Aku nggak butuh keberatan ataupun kekhawatiran kalian. Yang kubutuhkan adalah dukungan kalian," ujarnya. "Lita, siapkan proposal dan presentasi mengenai aplikasi yang kamu buat. Aku akan menghubungi Bagus untuk meminta pertemuan dengan pihak kepolisian. Kalian yang akan mempresentasikannya. Danar, kamu hanya perlu menurutiku dan aku jamin nggak akan ada masalah." 

"Tapi kalau kamu ketahuan, kamu bisa ditangkap, Tiara!" kata Danar. 

"Kalau nyalimu ciut, nggak perlu bantu aku," kata Tiara. "Kamu cukup menjadi bodyguard biasa. Asal jangan bocorkan identitasku, atau keluargamu akan mendapat masalah."

"Tiara! Ternyata kamu sangat kejam."

"Aku tahu apa yang terjadi pada mereka. Kamu juga haus keadilan, kan? Jangan munafik."

Danar terperanjat. "Tunggu. Dari mana kamu tahu?"

"Aku punya sumber informasiku."

"Baiklah, aku akan membantumu. Tetapi kamu harus bertindak sangat hati-hati, oke?"

Tiara tertawa. "Tanpa dibilang pun, itu sudah keharusan. Ngomong-ngomong, kamu tahu arti vigilante, nggak? Itu artinya 'warga biasa yang beroperasi menegakkan keadilan di luar hukum'. Saat hukum resmi kurang tajam untuk menegakkan keadilan, di situlah aku masuk."

"Sudah, kalian jangan bertengkar," kata Pak Alfred. "Ayo kita mulai menata markas ini. Lita, kamu bisa membuka kardus yang itu. Isinya komputer dan server."

"Oh, ya, ingat, ini rahasia. Kalian dilarang memberitahu siapapun mengenai tempat ini. Bahkan kepada istrimu, Pak Alfred."

"Iya, saya mengerti, Non Tiara," ujar Pak Alfred.

"Dan kakakmu, Lita," tambah Tiara, menatap tajam pada Lita.

"Percaya sama gue, Ti," sahut Lita bersemangat.

Lita dan Danar baru memperhatikan bahwa salah satu lemari yang bersandar di dinding ternyata sebuah pintu. Mereka membuka pintunya dan melihat ruangan lain. Suatu arena yang sangat luas. Di sisi dinding yang paling jauh dari pintu, terdapat gambar sasaran tembak.

"Wuoohhh!!!" seru Lita.

Danar hanya melongo. Wanita itu benar-benar serius mengenai tekadnya menjadi vigilante, pikirnya. 

.

.

.

--------------------------------------

You are reading Jakarta Vigilante by valloria on Wattpad.

www.wattpad.com/user/valloria

If you are reading this on other site than Wattpad, you are probably on a mirror web. Please stop reading and report to me immediately.

--------------------------------------

-- Direktorat Reskrimum, Polda Metro Jaya, Sudirman, 20:00 WIB

Bagus lembur. Ia menggantikan rekannya yang berhalangan karena ada urusan keluarga. Buatnya tidak masalah karena biasanya malam hari juga ia tak melakukan apa-apa, paling hanya nonton televisi atau main gitar. 

Layar ponselnya menyala. Notifikasi pesan masuk dari Tiara Suryajati. 

Bagus meraih ponselnya dengan penasaran. Sudah tiga bulan ia tidak mendengar kabar dari Tiara. 

Tiara Suryajati: Aku butuh ketemu kamu. Urgent.

Bagus: Lagi lembur. Datang ke Polda, bisa?

Tiara Suryajati: Bisa. Kira2 30 menit. Cari tempat privat ya. 

Bagus: Kangen aku?

Tiara Suryajati: Stop flirting. Ini penting.

Mau apa lagi Tiara kali ini? pikirnya. Namun ia juga tahu bahwa Tiara bukanlah orang yang suka bermain-main. Jika ia mengatakan 'urgent', berarti ada hal penting yang ingin disampaikannya. 

Lebih dari tiga puluh menit kemudian, Tiara baru tiba di Polda Metro Jaya. Setelah memarkirkan mobilnya, ia bergegas ke Direktorat Reserse Kriminal Umum. Ia sudah familiar dengan tempat itu karena pernah datang beberapa kali untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Ia mengirim pesan lagi bahwa ia sudah tiba di sana. 

"Tiara!" panggil sebuah suara bariton yang dikenalnya. 

Tiara membalikkan badannya. Lelaki itu masih mengenakan seragam polisi. Wajahnya terlihat lelah, namun ia tetap menunjukkan senyum ramah. 

"Hai, Bagus," balas Tiara. "Sorry telat. Macet tadi."

"Biasalah Jakarta," ujar Bagus maklum. "Gimana kabarmu?"

"Lumayan. Kamu?"

"Baik, seperti biasanya. Ayo, ikut aku ke dalam. Katanya mau cari tempat privat?"

Tiara mengangguk. Lalu mengikuti Bagus ke dalam ruang kerja para polisi. Sang inspektur membawanya ke salah satu ruang pertemuan yang kosong. Ia menyalakan lampu dan menutup pintunya. 

"Hal apa yang mau kamu sampaikan?" tanya Bagus.

"Ada seseorang yang mengancammu."

"Apa?"

Tiara menceritakan ulang tentang penyerangannya di Manado. 

"Kenapa kamu nggak lapor polisi?"

"Ya, sekarang aku lapor polisi."

"Maksudku sebelumnya."

"Nggak ada bukti. Lagian pasti lama diurusnya. Kejadiannya juga di Manado, bukan di Jakarta. Makanya aku mau minta bantuan darimu."

"Apa yang dia katakan?"

"Dia tahu aku masih mau mengusut kasus pembunuhan Angela. Dia mengancam akan celakain kamu, Lita, dan Danar kalau aku meneruskan pengusutan ini."

Bagus memejamkan matanya dan mengurut keningnya. Lalu menghembuskan napas dengan m mulutnya. Kalau orang lain, mungkin sudah mengumpat. Namun Bagus tak mau mengeluarkan sumpah serapah dari mulutnya seperti Tiara sehingga ia tak mengatakan apapun. 

"Baiklah, terima kasih untuk informasinya. Aku akan lebih berhati-hati. Gimana denganmu, mau kubantu dalam melanjutkan pengusutan ini?"

"Justru itu, aku mau supaya kelihatannya pengusutan ini berhenti untuk sementara. Pokoknya low profile, jangan sampai ketahuan mereka."

Bagus mengangguk. "Kalau kamu mau menyelidiki lagi, jangan lakukan itu sendiri. Serahkan padaku."

Tiara pura-pura setuju. 

"Ada yang bisa kubantu lagi?" tanya Bagus. 

"Aku mau mempresentasikan aplikasi yang dibuat Lita ke pihak kepolisian. Aku minta tolong kamu untuk membuat appointment dengan petinggi kepolisian. Bisa nggak?"

"Hm, sebelum mempresentasikannya ke atasanku, kenapa nggak lebih dulu mempresentasikan ke aku saja? Supaya bisa diperbaiki dan peluang diterimanya lebih besar."

"Ide bagus."

"Itu memang ideku," kata Bagus.

Tiara hanya tertawa. "Kapan kamu kosong?"

"Kapanpun kalau kamu panggil, aku kosong."

"Kalau begitu, jam duabelas malam ini, bisa?"

"Aku bercanda," kata Bagus. "Rabu malam paling cepat aku kosong. Jam lima sore biasanya shift-ku udah selesai."

"Oke, Rabu malam jam tujuh, datang ke apartemenku, ya. Nanti kujamu makan malam juga."

"Aku ajak temanku, boleh?"

"Silakan."

.

.

.

Bersambung.

1900++ kata

(Diedit 25 Juni 2017, 16 Oktober 2018)

--------------------------------------

You are reading Jakarta Vigilante by valloria on Wattpad.

www.wattpad.com/user/valloria

If you are reading this on other site than Wattpad, you are probably on a mirror web. Please stop reading and report to me immediately.

--------------------------------------

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top