Bab 10: Peringatan
--------------------------------------
You are reading Jakarta Vigilante by valloria on Wattpad.
www.wattpad.com/user/valloria
If you are reading this on other site than Wattpad, you are probably on a mirror web. Please stop reading and report to me immediately.
--------------------------------------
"Hei! Apa yang Anda lakukan?" tanya Danar tajam. Dengan posisi tertelungkupnya ia berusaha melepaskan diri, namun polisi itu sengaja menekan di titik cederanya sehingga Danar sulit bergerak.
Ujung pistol menempel di pelipis Tiara. Wanita yang jatuh telentang di atas matras itu mengernyitkan keningnya dan memelototi sang inspektur.
Lita buru-buru menghampiri mereka di arena pertarungan, mencoba melerai mereka. Namun sebelum ia mencapai mereka, Bagus telah melepaskan Tiara dan Danar.
"Tenang saja, saya nggak akan menembak beneran, kok," ujar polisi itu santai.
"Jadi nembak secara figuratif?" tanya Lita dengan tampang sok polos.
"Saya memang terlalu mempesona," ujar Tiara sambil mengedipkan sebelah mata dan menyibakkan kuncir ekor kudanya.
Bagus tampak sedikit tersipu dan salah tingkah. "Bukan begitu. Saya cuma menunjukkan kalau pertarungan sungguhan itu sangat berbahaya. Lengah sedikit saja, nyawa bisa melayang."
Tiba-tiba Tiara menerjang polisi yang baru saja selesai berbicara tersebut hingga bergantian ia jatuh di atas matras. Degan tangkas Tiara merebut pistol dari tangan Bagus dan menempelkan ujungnya di leher lelaki tersebut.
"Kamu benar, Mas Bagus," ujarnya. "Lengah sedikit saja, nyawa bisa melayang." Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga sang inspektur dan berbisik, "Kalau mau nyatain perasaan ke saya, boleh, kok. Pasti saya terima."
Bagus hanya membuka mulut tanpa dapat berkata apa-apa.
"Tetapi belum tentu kubalas," lanjut Tiara.
Bagus masih kehilangan suaranya saking terkejutnya. Apa-apaan ini? Apa maksudnya?
Tiga puluh detik kemudian, gadis itu melepaskan sang polisi dan membiarkannya bangkit berdiri.
Bagus mengangguk-angguk puas. "Mbak cepat belajar," komentarnya sambil menarik salah satu ujung bibirnya. Lalu menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya. Tak ada peluru yang keluar dari selongsongnya. "Lihat, ini kosong."
Tiara mencebik. "Mana kutahu. Lagian, caramu payah. Kalau memang punya pistol, kenapa nggak pakai dari awal? Kan street fighting."
"Kalau dari awal pakai pistol, ya, nggak seru, toh?" kata Bagus.
"Ngomong-ngomong," kata Danar, "dari mana Inspektur tahu titik cedera saya?"
"Terlihat dari cara Anda bertarung, Anda nggak mau bertumpu pada kaki kiri. Gerakan-gerakan Anda juga cenderung nggak menggunakan kaki kiri. Saya menyimpulkan Anda cedera di bagian pergelangan kaki."
"Sebenarnya sudah hampir sembuh, namun saya nggak mau ambil risiko."
"Semoga saya nggak bikin kambuh lagi."
Danar menggerakkan pergelangan kaki kirinya. "Kurasa nggak lebih parah daripada biasanya."
"Yah... secara keseluruhan, kemampuan kalian sudah lumayan. Hanya saja, untuk bertarung dengan tongkat, masih perlu banyak berlatih."
Tiara menyengir. "Orang-orang di jalanan juga nggak sehebat kamu. Jadi peluang menangku masih ada."
"Mbak Tiara benar. Tapi kamu nggak pernah tahu. Jangan pernah berasumsi mengenai lawanmu. Bisa saja dia sangat hebat. Atau dia memiliki senjata."
"Aku nggak punya senjata. Boleh minta pistolmu?" canda Tiara.
"Maaf, orang sipil nggak boleh punya pistol."
"Tapi penjahat punya."
"Itu ilegal."
Tiara menghembuskan napas melalui mulut. "Taat aturan itu memang lebih menyulitkan."
"Begini saja, kalau ada masalah, lapor polisi saja," kata Bagus.
"Yakin polisi bisa datang cepat?" sindir Tiara.
Bagus menggelengkan kepalanya. "Kamu benar."
"Supaya penduduk bisa aman, populasi penjahat harus ditekan. Supaya penjahat dapat berkurang, anak-anak harus dididik dari kecil. Kemiskinan juga ada andilnya dalam membentuk penjahat. Jadi masalah ini nggak cuma menyangkut polisi, tetapi juga pemerintah," Lita berteori.
"Gitu aja terus sampai dijadiin buku cetak tebal, tapi kalau nggak ada yang turun tangan, tetap aja begini terus," kata Tiara frustrasi.
"Jangan kehilangan harapan. Aku yakin masih banyak yang ingin membangun Indonesia," kata Bagus. "Aku mengerjakan bagianku di kepolisian, dan kalian mengerjakan bagian kalian sebagai rakyat yang turut menjaga ketertiban umum. Kalau semua seperti kita, lama-lama Indonesia juga aman, kan?"
"Yang penting diriku aman. Itu saja," kata Tiara.
"Kamu, kan, punya bodyguard," kata Bagus.
"Bener, nggak menyesal?"
Bagus menatap Tiara tidak percaya. Kemudian ia berpaling ke Danar dan Lita. "Temanmu ini nggak percaya saya beneran nolak tawarannya menjadi bodyguard-nya."
Lita tertawa. "Kurasa, dia hanya menggodamu saja, Mas Bagus."
.
.
.
-- Hotel Jati Village, pukul 20:00 WITA
Tiara yang tak lagi tinggal di rumah omanya pindah ke hotel ayahnya. Kepada omanya, ia terpaksa berbohong ada pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga ia lebih baik pindah ke hotel. Sekarang Lita juga menginap di hotel tersebut. Tiara menyuruhnya datang dari Jakarta ke Manado selama seminggu untuk mendiskusikan aplikasi yang akan ia buat.
"Oke. Sekarang lu klien gue dan gue software engineer. Gue akan ngumpulin requirement sesuai ucapan lu, lalu diubah menjadi software design. Gue bakal pake agile development aja."
"Do I need to know that? Gue nggak ngerti jargon techie lu, Lita," ujar Tiara. "Pokoknya gue nyatain apa yang gue mau, dan lu wujudkan itu."
Lita memutar bola matanya lalu tertawa. "Tipikal klien. Oke, gue siap. Apa yang harus gue tulis? Berapa lama waktu yang lu kasih buat gue?"
"Tiga bulan cukup?"
"Hm, mungkin cukup, kalau kamu nggak minta yang aneh-aneh lagi, misalnya app-nya bisa jadi senjata melawan penjahat."
"Tuh, kan, kebanyakan nonton."
Lita meringis. "Hehe, emang suka ngayal."
"Oke, kita mulai. Berikut requirement dariku."
Lita mengeluarkan komputernya dan mulai mengetik. Aplikasi yang akan mereka buat sangat sederhana. Penggunanya ada dua macam, yaitu polisi individu dan orang sipil.
Fitur untuk orang sipil ada dua, yaitu lapor posisi dan bunyikan alarm. Lapor posisi untuk memberitahu lokasinya saat ia sedang berjalan sendirian di tempat yang berbahaya. Fitur ini seperti fitur tracking GPS pada Google Maps. Saat pengguna bergerak, lokasinya akan terus diperbaharui. Apabila pengguna tersebut merasa terancam ia dapat menekan tombol alarm melalui shortcut di ponsel sehingga tak perlu menelepon. Alarm ini akan mengirim pesan kepada orang terdekat dan juga polisi di seluruh wilayah Jakarta. Nantinya polisi yang lokasinya terdekat dengan kejadian akan diberitahu dari aplikasi tersebut bahwa ada bahaya di dekatnya.
Fitur untuk polisi dapat dibuka melalui ponsel maupun browser. Ada suatu peta yang menampilkan setiap pengguna sipil yang melaporkan posisi mereka, seperti tracking pengguna. Jika ada pengguna yang dalam bahaya, tracker itu akan memancarkan sinyal merah yang berpendar-pendar. Polisi dapat merespon dengan mendatangi lokasi berbahaya. Mirip seperti aplikasi kendaraan online, hanya saja request tidak akan berhenti meskipun polisi sudah merespon. Sinyal baru berhenti apabila pengguna menyatakan sudah aman.
"Ini bagus, Tiara! Bisa di-monetize juga, dipasang iklan aja," kata Lita.
"Hei, ini aplikasi untuk CSR*! Masa di-monetize (dipasang iklan)?" protes Tiara.
(*CSR = corporate social responsibility)
"Hehe, lu yang businesswoman aja malah nggak mikirin duit."
"Lita, fokus, dong. Ini aplikasi untuk menolong orang. Masa kita mengambil keuntungan?"
"Iya, gue cuma kebiasaan kalau iseng bikin app, maunya di-monetize."
"Gue punya ide lain, sih. Kadang-kadang, orang yang sedang terancam nggak sempat buka ponsel. Gue mau buat device yang memiliki tombol darurat. Kalau tombol itu dipencet, reaksinya mirip seperti aplikasi itu. Cuma yang ini mungkin nggak kukasih tenggat waktu. Buat saja prototype-nya."
"Tiara, gue ini software engineer, bukan hardware engineer."
"Siapa yang suruh lu bikin langsung. Boleh kerja sama dengan perusahaan yang membuat hardware. Atau rekrut hardware engineer sana."
"Hm, oke."
***
Bagus hanya sempat melatih Tiara tiga kali lagi, yakni pada hari Sabtu dan Minggu saja, karena pada hari biasa ia tak dapat keluar dari barak polisi sesukanya. Namun mereka sering berdiskusi melalui chat pada malam hari. Ternyata di balik sikap cuek dan angkuhnya, Tiara masih memiliki idealisme yang sama dengan Bagus. Mereka sama-sama menginginkan Jakarta menjadi kota yang aman dan nyaman bagi para penduduknya. Bagus mengatakan bahwa Tiara dapat berperan dari sisi pebisnis, meskipun menurut Tiara akan sulit selama ayahnya masih berkuasa.
Sekitar tiga minggu setelah Tiara menjejakkan kakinya di Manado (dua minggu setelah kejadian latihan bersama), Bagus pun kembali ke Jakarta. Sehari sebelum ia berangkat ke bandara, ia sempat berpamitan pada Tiara di pantai.
"Ini akan menjadi latihan terakhir kita," kata Bagus. "Jangan terlalu kangen sama aku, ya, Tiara. Nanti kita juga bertemu lagi di Jakarta."
"Idih, ngarep banget," ujar Tiara. "Siapa yang bakal kangen sama kamu. Danar, kamu bakal kangen sama polisi kegeeran ini, nggak?"
"Kok, saya?" protes Danar.
"Entahlah, sepertinya dia punya delusi kalau aku ini selalu ingin ketemu dia," kata Tiara.
"Yang setiap minggu SMS-in aku terus siapa?" kata Bagus.
Tiara meremas rambutnya kesal. "Ya, deh, kalau aku kangen sama kamu, kamu juga nggak bisa kemari, kan? Hatiku yang malang hanya bisa menahan rindu, Mas."
Bagus hanya tertawa. "Semoga misi menyelamatkan Jakarta-mu berhasil. Aku akan selalu mendukungmu."
"Kamu juga, Gus, semoga karirmu lancar dan tetap bersih. Awas kalau sampai jadi polisi korup dan ketangkap KPK."
"Aku akan berjuang."
"Oke," ujar Tiara, mengulurkan tangannya. "Makasih untuk bantuanmu selama ini. Sampai ketemu."
Bagus menjabat tangan Tiara erat. "Sampai ketemu. Kamu juga, Mas Danar."
"Sampai ketemu, Mas."
.
.
.
-- Tiga bulan kemudian
Tiara dan Danar sedang berjalan pulang dari klub bela diri ke mobil Tiara yang diparkir di pinggir jalan tak jauh dari klub tersebut. Klub tersebut milik teman Danar yang juga merupakan sesama mantan atlet nasional. Danar sering mengajaknya ke beberapa klub bela diri, tak hanya klub taekwondo, agar Tiara dapat berlatih berbagai jenis bela diri. Kepada anggota klub, Tiara mengaku bahwa ia adalah seorang stuntwoman yang sedang mempersiapkan diri untuk adegan berkelahi di suatu film laga.
Tiara tak hanya berlatih taekwondo. Ia juga berlatih bermacam-macam keahlian lainnya, seperti melempar pisau, berkelahi dengan tongkat, dan bahkan menembak. Untuk keahlian yang terakhir itu, ia menggunakan senapan angin milik opanya. Tiara selalu berlatih di pulau yang tak dihuni itu sehingga tak ada yang mendengar bunyi tembakan ketika ia sedang berlatih menembak. Ia menyiapkan sendiri sasaran tembaknya karena tidak ingin menembak hewan.
Kemampuan Tiara semakin meningkat. Kini ia dapat mengimbangi Danar dalam berlatih, meskipun belum dapat mengalahkannya dengan taekwondo.
"Maklum, aku berlatih lebih dari dua puluh tahun. Sedangkan kamu, kan, nggak menekuninya terus-menerus," kata Danar. "Tapi menurutku, kamu lebih baik dariku dalam menggunakan tongkat."
"Aku lebih suka menggunakan senjata daripada berkelahi dengan tangan kosong, karena aku nggak bersentuhan langsung dengan lawanku. Jadi menghindari cedera," sahut Tiara.
Jalanan sudah sepi karena hari sudah sore menjelang malam. Mereka melewati gang kecil yang remang-remang. Tiba-tiba, seseorang berlari menabrak Tiara.
"Hei! Kalau jalan lihat-lihat, dong!" protes Tiara.
Kemudian ia menyadari sesuatu. Dompetnya hilang.
"Pencopet!" serunya, mulai berlari mengejar pencuri tersebut.
"Biar aku saja," kata Danar. "Kamu segeralah ke mobil. Aku merasa tempat ini nggak aman."
Lelaki berkaki panjang itu mengejar sang pencuri. Tiara kali ini menurut saja, karena ia juga sudah lelah sehabis berlatih dengan anggota klub. Tinggal beberapa meter lagi ia mencapai mobilnya ketika tiba-tiba seorang pria bertopeng hitam mencegatnya.
"Tiara Suryajati. Kita bertemu lagi."
Tiara menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. Diam-diam ia mengeluarkan pisau yang diselipkan di bagian atas celananya. "Mau apa lagi kamu? Minggir, atau kamu akan menyesal."
"Aku cuma ingin memberikan peringatan, sayang. Aku tahu apa yang kamu lakukan. Kamu sedang mempersiapkan diri untuk balas dendam. Hentikanlah. Kamu nggak akan menang."
"Hah! Kata orang yang bersembunyi di balik topeng. Kalau berani, tunjukkan identitasmu."
"Identitasku nggak penting. Yang penting, kalau kamu meneruskan rencanamu ini, orang-orang yang kamu sayangi akan celaka."
Tiara tertawa sinis. "Kamu meremehkan keluargaku. Mereka bisa menghancurkanmu dan siapapun gengmu itu dengan mudah."
"Bukan keluargamu. Tetapi bodyguard-mu, teman programmer-mu, dan polisi kesayanganmu itu. Ini peringatan terakhir, sayang. Hentikan pencarianmu, atau mereka semua akan celaka."
Tiara melempar pisau kecilnya ke arah orang tersebut. Namun orang itu berhasil menghindar. Ia menebarkan peledak asap sehingga Tiara tak dapat melihat apapun. Ketika ia menerjang asap tersebut, ia menemukan dirinya hanya sendirian di tepi jalanan.
Pria tersebut telah menghilang.
.
.
.
Bersambung.
1800++ kata
(Diedit 23 Juni 2017, 16 Oktober 2018)
--------------------------------------
You are reading Jakarta Vigilante by valloria on Wattpad.
www.wattpad.com/user/valloria
If you are reading this on other site than Wattpad, you are probably on a mirror web. Please stop reading and report to me immediately.
--------------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top