-36⚡-
"Lo yakin nggak mau makan dulu, Kai?" tanya George pelan sembari menydorokan botol air kemasan baru pada Kaira yang tengah memerhatikan wajah terlelap Jeny.
Kaira menggeleng sebagai jawaban lantas menerima pemberian George. "Thanks."
Jarum jam menunjuk pada angka sebelas. Dan George merasa tidak enak karena Kaira belum mengisi perutnya sejak tadi. Sementara Jeny belum bisa dipindahkan dari IGD karena ruangan lain yang penuh. Kata perawat yang tadi ikut memeriksa, mereka akan kembali ketika Jeny menghabiskan sebotol air infus yang sudah dipasang, kemudian memberitahukan apa sudah ada ruangan yang bisa ditempati atau tidak.
Kalau pun sampai besok pagi ruang rawat inap masih penuh, dengan persetujuan dari keluarga, pasien bisa dirujuk ke rumah sakit lain agar mendapatkan perawatan yang lebih baik.
Karena kursi yang disediakan hanya satu, George terpaksa berdiri dan bersandar pada tembok. Setelah ia rasa kakinya kesemutan, baru ia meminta izin Kaira untuk keluar.
Untuk yang kesekian kalinya Kaira meneguk air yang diberikan George. Merasa sebagian tubuhnya pegal dan rasa kantuk semakin sulit untuk dihindari. Dan karena sebelumnya ia sudah mengirim pesan kepada orang rumah bahwa akan menginap di rumah sakit, Kaira akhirnya memilih untuk menutup mata sebentar.
🌍
"Kai," tegur George hati-hati. "Kaira?"
Kaira bergerak dari posisi nyamannya dengan mata yang mengerjap. Tangan kiri ia gunakan untuk menutup matanya sebentar lantas bergerak menyisir rambutnya. Mata Kaira yang sudah terbuka lebar mengamati sekitar yang dimulai dari arah Jeny terbaring, memastikan wanita itu masih sama seperti terakhir kali dilihatnya sebelum terlelap. Lantas matanya beralih pada George, tetapi orang lain yang yang sekarang tengah memperhatikan kondisi Jeny dari samping ranjang rumah sakit cukup banyak menarik atensinya. Walaupun Kaira berusaha sekuat mungkin untuk bersikap biasa saja.
"Kenapa?" tanya Kaira pada George.
"Pulang sekarang, yuk. Jiro udah dateng. Besok lo sekolah, kan?"
"Oh, ok." Kaira tidak terlalu memperhatikan perkataan George. Ia memakai tas juga akan sweater-nya.
Kaira menghampiri Jeny yang masih tertidur. Sedikit mendongak untuk melihat air infus yang sisa seperempat. Kaira memegang tangan Jeny dan berpamitan. "Pulang dulu, ya, Tante."
"Kai-"
Suaranya terlalu besar untuk tidak didengarkan Kaira, setidaknya itu yang bisa ia Jairo pikirkan. Badan gadis itu yang berbalik dan kalimat yang mengajak George untuk pulang tanpa mempedulikannya membuat Jairo membuang napas tertahan. Wajahnya mengeras, merasa cukup marah tapi tidak tahu kepada siapa. Ia hanya bisa memaksakan senyum juga mengucapkan terima kasih pada George yang berpamitan pulang.
Air muka Jairo berubah ketika menatap punggung Kaira yang menghilang di balik tirai dan menyadari kalau perempuan itu kini semakin jauh dari dirinya.
Jairo mengalihkan pandangan pada Jeny. Tiba-tiba mengingat segala pikiran yang akhir-akhir ini sedang ia resahkan. Dan entab kenapa merasa semua perasaannya menyatu dan melebur ketika melihat wajah wanita yang telah melahirkannya ini.
"Aku gak tahu apa yang udah aku lakuin, Ma."
Sementara sebelum keluar dari gedung IGD, Kaira mencegat salah satu perawat yang tadi ikut memeriksa Jeny.
"Mbak, tolong nanti dijelasin ulang soal keadaan pasien yang tadi sama temen saya, ya. Dia anaknya pasien, sekarang lagi di dalam."
"Atas nama siapa, Mbak?"
"Jeny Hildiana."
Perawat itu mengangguk dengan senyum mengerti.
"Makasih, Mbak."
Kaira sekali lagi melihat tirai yang di baliknya ada Jeny dan anaknya. Menarik napas sejenak dan menghampiri yang selangkah di depanny
"Mampir beli makan dulu, ya, Ji."
"Gue kira beneran nggak lapar," cibir George dan langsung mendapat pukulan pelan di lengannya.
🌍
"Loh, Papa belum tidur?" Pertanyaan itu Kaira lontarkan begitu memasuki rumah dan mendapati ayahnya masih menonton di ruang tengah.
"Gimana Mamanya Jiro?"
"Besok kalo ada kamar kosong, bisa langsung di pindahin. Kalau nggak ada dan keluarga setuju, bisa dirujuk ke rumah sakit lain."
"Malam, Om."
"Iya, malam."
"Bentar, ya, Oji." Kaira mengambil dua set alat makan. Lalu membuka bungkusan nasi goreng yang tadi sempat ia dan George beli. "Papa mau makan lagi, nggak?"
Hanya mendapat gelengan sebagai jawaban, akhirnya Kaira mengajak George untuk ke ruang tamu.
"Makan, Om," tegur George lagi yang mendapat balasan senyum sebelum lelaki itu mengikuti Kaira.
"Btw, Kai. Lo sama Jiro lagi marahan, ya?" tanya George. Sedetik kemudian barulah ia menyadari pertanyaan bodohnya itu.
"Gue suka sama Jiro," ucap Kaira sebelum menyuapkan sesendok penuh nasi goreng.
Terhitung tiga kali Kaira mengucapkan perasaannya ini pada orang lain. Dan ternyata tidak semengerikan yang sebelumnya ia pikirkan. Malah Kaira sedikit lebih santai daripada saat ia mengungkapkannya pada Julia. Selain itu, George temannya. Ia tahu lelaki itu juga tidak akan memberitahukan hal ini pada siapa pun.
George menarik napas dan membuat Kaira menoleh. "Gue no comment, sih. Ya, tapi, gue tahu gimana rasanya menyukai dalam diam. Fighting!" katanya sembari mengepalkan kedua tangan di akhir kalimat.
Kaira tersenyum simpul. Tetapi ikut menarik napas setelah menyadari betapa rumit situasinya. "Mau gimana lagi."
"Tapi, Kai," George memanggil Kaira dan mereka berdua saling menatap. Tanpa bicara, pandangan George seolah mengatakan bahwa ada orang juga hubungan lain di antara Kaira dan Jairo. Pun Kaira mengerti itu sehingga ia hanya bisa memaksakan senyum dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
George mengangkat tangannya. Menepuk pelan pundak teman sedari SMP-nya itu. "Apa pun itu, gue doain lo bisa hadapin semuanya."
Kaira mengangguk dan kembali menyantap makanannya. Dalam hati, mengamini yang dikatakan George. Tetapi ada rasa tidak yakin serta ketakutan untuk apa yang akan datang kepadanya nanti.
🌍
met malming gengs!
jan lupa vomment🤗
luv, zypherdust💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top