-34⚡-

"Jam lima, ya? Oke, jam empat aku udah sampe sana. Iya, iya. Oke."

Jairo menarik ponsel dari telinganya dan menaruh kembali benda elektronik itu di atas meja.

"Siapa, Kak?" Natsuo yang tengah beristirahat di tengah ruangan latihan mereka melontarkan pertanyaan tanpa melihat lawan bicaranya.

"Clara. Mamanya mau operasi hari ini."

Natsuo membulatkan mulut, mengatakan 'oh' dengan tidak mengeluarkan suara. Ia bangkit dan ikut menaruh handphone-nya ke atas meja, karena melihat Jairo sudah bersiap-siap memulai latihan mereka kembali.

Sebelum bergabung bersama Jairo, Natsuo menekan tombol play dan detik selanjutnya lagu yang akan dipakai mereka untuk cover terdengar di seluruh ruangan.

🌍

"Halo Tante. Eng, iya udah nggak sakit lagi, udah bisa jalan juga, kok. Kenapa, ya, Tan? Jalan berdua? Sama Tante Jeny? Eh, nggak lagi ngapa-ngapain kok, Tan. Iya, beneran. Yaudah, kalo gitu Kai siap-siap dulu. Oke, Tante."

Kaira meregangkan tangannya setelah menerima telepon dari Tante Jeny a.k.a Ibu dari sahabatnya, Jairo. Bukannya ia malas menerima ajakan dari wanita itu tetapi Kaira memang baru saja bangun dari tidur siangnya. Gadis itu lantas melangkah ke kamar mandi, sedikit merasa senang karena kakinya sudah tidak lagi sakit dan sudah bisa pergi ke sekolah. Untung dia mendengar nasihat Vania waktu itu, kalau tidak Kaira yakin ia bahkan belum sepenuhnya sembuh seperti sekarang.

Ngomong-ngomong, sudah lama juga ia tidak bertemu dengan Jeny. Paling mereka berpapasan di jalan saat Kaira hendak ke warung. Terakhir kali mereka jalan bersama pun adalah setahun yang lalu. Dan barusan wanita itu mengajaknya keluar. Kaira sudah pasti akan mengiyakannya sebab selain karena sebagai bentuk sopan santun, ia juga kangen dengan perempuan yang berbeda tiga tahun dengan Ibunya itu.

Tiga puluh menit kemudian Kaira sudah siap dengan pakaiannya dan mendengar suara Dinda dari luar kamar. Pasti Ibu Jairo sudah datang, pikirnya. Ia lantas keluar.

"Pinjem anak kamu bentar ya, Din," ucap Jeny sambil bangkit dari duduknya begitu Kaira sudah berdiri di depan mereka.

"Hati-hati, ya," kata Dinda, mengantar anak juga tetangganya sampai ke pintu depan.

"Kita mau ke mana, Tan?" tanya Kaira setelah mobil Jeny sudah keluar dari kompleks perumahan mereka.

"Dua bulan lagi 'kan ulang tahun pernikahan Tante sama Om Jovan. Jadi rencananya mau buat baju seragam bertiga. Jairo sama Papanya nggak tahu."

"Oh, biar surprise, ya? Eh, tapi, kan masih lama, Tan."

"Kamu kayak nggak tahu tempatnya Bunda Oji seramai apa aja." Jeny tersenyum semangat. Sementara Kaira menunjukkan ekspresi kalau ia baru mengingat butik Bunda salah satu teman dekat mereka, George, di mana harus memesan jauh-jauh hari jika ingin dibuatkan pakaian.

Lagi, Jeny kembali berbicara. "Kamu kan anak muda, jadi bantu Tante nyari kain yang kekinian, ya. Biar Jairo mau pake bajunya. Kebiasaan anak itu, nggak mau banget kalo disuruh pake baju seragam yang udah dibeli. Kata dia motifnya kayak orang tua, padahal 'kan menurut Tante bagus."

"Jiro emang gitu. Selera fashion-nya emang tinggi banget. Aku juga ragu bisa milih kain yang cocok buat dia, sih, Tan."

Jeny mengibaskan tangan sebelahnya. "Paling kalo Tante bilang kamu yang milih kainnya, dia pasti mau pake. Nanti kamu juga yang nentuin model bajunya Jairo, ya, Sayang."

Jika biasanya Kaira tidak terlalu memikirkan perkataan sejenis kalimat Jeny barusan, kali ini gadis itu malah harus memalingkan wajah ke arah jendela karena tidak bisa menahan senyuman dan rasa senangnya.

Kaira dan Jeny harus memasuki beberapa toko terlebih dahulu sampai akhirnya mereka berhasil mendapatkan barang yang diinginkan. Kain polos dengan bahan licin berwarna krem serta kain brokat tille 3d berwarna sama.

Kaira tidak perlu mencari ide pakaian pria di internet, sebab begitu memasuki butik Bunda George, berbagai model dan jenis pakaian lelaki sudah berjejer di depannya. Wanita paruh baya yang masih kelihatan trendi itu juga memberikan beberapa buku pada tamunya untuk dijadikan acuan dalam menentukan model pakaian.

"Btw, Tante Jeny, Ukuran badannya Jiro sama Om Jovan gimana?" Kaira menyadari hal penting tersebut ketika Camilla mulai mengukur bagian-bagian tertentu  pada tubuh Jeny.

"Data mereka yang dari bulan lalu masih ada, kan?" tanya Jeny pada Camilla.

"Masih. Tadi aku cek lagi pas kamu nelpon mau ke sini," jawab Camilla.

Kaira jadi ingat pernikahan sepupu Jairo yang waktu itu ia hadiri juga. "Oh, yang buat nikahannya ponakan Tante, si Vanesa itu, ya?"

Jeny mengangguk. "Kalo badan Papa Jairo makin gendut, nanti Tante kurangin diam-diam makannya."

Terlihat seperti candaan sehingga Kaira dan Camilla langsung tertawa kecil. Tetapi Kaira yakin, Jeny tidak main-main dengan perkataannya barusan.

"Kai, gantian," ucap Jeny tiba-tiba setelah Camilla selesai mengukur badannya.

"Gimana, Tan?"

"Gih, ngukur," perintah Jeny.

"Loh, aku juga?" heran Kaira, menyentuh dadanya sendiri.

"Iya, dong. Kamu kan anak ceweknya Tante." Jeny menyempatkan mengedipkan sebelah matanya sebelum mengedikkan  dagu pada Camilla, mengisyaratkan agar Kaira tidak membuat wanita itu menunggu lebih lama.

🌍

"Nggak pake seatbelt, Tan?" tanya Kaira ketika ia selesai memasang seatbelt miliknya sendiri, dan Jenny hendak mengeluarkan mobil dari parkiran depan butik Camilla.

Jeny menunjukkan isyarat melalui wajahnya bahwa ia tidak perlu. Awalnya Kaira merasa aneh karena biasanya wanita itu yang selalu lebih dulu mengingatkannya dan ia juga hafal kalau Jeny tidak akan mengemudikan mobilnya sebelum memasang seatbelt. Tetapi ia berpikiran, mungkin saja sekali-sekali Jeny memang sedang tidak ingin memakainya.

"Kita makan dulu, ya," ucap Jeny.

"Iya, Tan."

"Tante lega banget urusan pakaian ini akhirnya selesai. Udah takut kalau harus ke tempat lain. Untung aja ya tender-nya Bunda Oji masih bisalah diatur, jadi pakaian kita bisa diambil sebelum hari H."

Kaira mengangguk dua kali. "Berarti nanti acara, ya, Tan?"

"He'em. Sebenarnya juga udah liat-liat menu cathering, sih." Jeny terkikik. "Soalnya Papa Jairo nggak tahu kalau Tante mau buatin acara, makanya nggak sabar banget nunggu reaksinya. Tapi juga nggak yang besar-besar amat kaya selebritas."

Kaira yang melihat pancaran kebahagiaan di wajah Jeny ikut tersenyum. Ia tiba-tiba jadi berinisiatif melihat konsep acara sederhana di internet. Sehingga akhirnya
mereka tidak lagi berbicara karena Kaira sibuk dengan handphone-nya dan Jeny fokus menyetir. Walaupun begitu suasana di mobil tidak sepi karena suara pemutar musik juga senandung dari wanita di samping Kaira.

"Tan, coba liat deh," Kaira menunjukkan layar ponselnya.

Jeny yang mengemudikan dengan kecepatan sedang dan sudah memastikan jarak mobil di depan dengan milik mereka lumayan jauh, menolehkan kepalanya. Memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan. Kaira menggulir layar ponselnya, tetapi selain melihatnya Jeny juga  beberapa kali menyempatkan untuk melirik ke arah jalanan di depan.

Sedetik kemudian atensi Jeny lebih banyak teralih pada benda di tangan Kaira sebab menunjukkan konsep acara dengan tema dan warna yang kebetulan menjadi favoritnya.

"Ini bagus nih," ucap Jeny, matanya masih meneliti beberapa gambar tadi.

"Iya, simple tapi kesannya kayak mewah gitu," sambung Kaira.

Begitu ia menoleh ke depan, tampak sebuah truk dari arah berlawanan yang bergerak sangat cepat, secepat detakkan jantung Kaira. "Tante awas!"

Jeny sontak menoleh ke depan, matanya membulat karena truk tersebut semakin dekat. Refleks langsung membelokkan stir ke arah kiri dan dengan cepat menginjak rem agar tidak menabrak pembatas jalan. Tetapi ganjarannya adalah tubuh bagian depan Jeny yang tidak tertahan tali seatbelt harus membentur stir mobil dengan keras.

"Tante nggak papa?" Kaira sontak memegang pundak Jeny yang menoleh tetapi tangannya langsung menyentuh dada dengan wajah yang tidak nyaman. "Tante kenapa?"

"Sesak." Jeny berucap dengan kesusahan.

Keringat mulai bercucuran dari pelipis Kaira walaupun pendingin di mobil sedang menyala. Ia tidak tahu harus bagaimana. Seketika merasa menyesal menolak ajakan Ayahnya yang ingin mengajarinya mengemudikan mobil.

Kaira mengambil botol air mineralnya dan diberikan pada Jeny. "Minum dulu, Tan."

Tangan Kaira mulai bergetar kala Jeny selesai meminum air tetapi wajahnya malah semakin terlihat tidak enak.

Di saat itu, ponsel Kaira yang sedang dipangkunya berbunyi. Menampilkan nama George sebagai si pemanggil.

"Oji, gue ..." Kaira rasanya ingin menangis saja begitu mendengar suara George yang menanyakan keberadaannya.

🌍

hola!
update, lagi.
maap bat lama banget rentang waktunya dari update terakhir kali :(
hope u like this part, gengs!
eh, iya, happy birthday our sunoo❤️
kukasih fotonya sebagai bonus
hehe, luv, zyperdust

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top