Part 4 Kereta Berhantu
Sementara Fitri berbincang dengan Burhan. Richo dan teman-temannya segera menolong Nessa. Nessa kaget melihat teman-temannya sudah ada di sana.
"Sa, kamu nggak papa kan?" ucap Richo seraya memeluk wanita yang disukainya itu.
"Iya aku nggak papa kok, terima kasih karena sudah datang menyelamatkanku," sahut Nessa membalas pelukan itu.
"Udah kangen-kangenannya ntar aja, kita mesti cepet pergi dari sini," ucap Radit mengingatkan temannya yang asyik berpelukan itu.
"Iya ayo cepat!" timpal Wati.
Mereka berempat segera keluar dari kamar itu tapi sudah di sambut oleh Burhan dan anak buahnya." Mau kalian bawa ke mana pengantinku itu!" bentaknya.
"Langkahi dulu mayatku jika ingin wanita ini menjadi pengantinmu," sahut Richo dengan lantang.
"Idih, mayat hidup minta nikah, sono ama mumi aja, lebih serasi kalik," celetuk Radit yang memang memancing emosi Burhan.
"Apa kata kalian!" bentak Burhan.
"Eh kabur, kabur, cepetan!" ucap Wati menarik tangan Nessa.
Mereka segera berlari menghindar. Burhan sangat marah dan mengejar mereka. Richo dan teman-temannya keluar dari kereta itu. Burhan pun masih mengikuti.
Arman memberikan aba-aba pada Sofyan dan Surya untuk segera membakar kayu yang mengelilingi kereta itu. Api berkobar di sekitar gerbong kereta itu. Burhan dan anak buahnya merasa kepanasan.
Sedangkan Nessa dan teman-temannya sudah membuka mata. Rohnya sudah kembali pada tubuh mereka masing-masing.
Arman membaca doa untuk mengirim arwah-arwah itu ke alam baka, agar tidak menggangu orang-orang di sekitarnya.
"Tidaaaaaaaaakk!!" Burhan menjerit seraya tubuhnya meleleh dan menjadi abu.
Fitri menangis di pelukan suaminya. Ia merasa sangat bersalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Fitri juga sudah menderita selama ini.
Nessa memeluk ke dua orang tuanya. "Syukurlah sayang, kamu selamat," ucap wanita yang berkerudung itu yang tak lain adalah ibunya.
"Iya Bu, Yah, maafin Nessa," isaknya pada mereka.
"Kamu nggak salah kok sayang, yang penting sekarang kamu sudah kembali," sahut Surya dan memeluk anak semata wayangnya itu.
Matahari memancarkan sinarnya dan masuk ke celah-celah puing kereta yang sudah terbakar itu. Kini arwah Burhan dan anak buahnya bisa tenang di alam baka.
Mereka semua kembali ke rumah masing-masing.
Di rumah Nessa. Mereka semua berkumpul.
"Terimakasih Arman, karena sudah menolong anakku," ucap Surya.
"Ini sudah menjadi kewajibanku, karena aku menganggap Nessa sama seperti keponakanku sendiri," sahut pria itu.
"Maafkan saya, karena merepotkan Paman," ucap Richo.
"Ric, asahlah kemampuanmu lagi, kamu bisa lebih hebat dari Paman lo," puji Arman pada keponakannya itu.
"Ah Paman bisa aja," sahut Richo malu.
Mereka semua tertawa bahagia.
Arman berpamitan dan kembali pulang ke desanya. Sedangkan Fitri sudah menjalani hidup yang normal lagi bersama Sofyan suaminya. Ia mulai mencoba membuka diri dan berbaur dengan orang lain.
Di sebuah taman Nessa duduk bersama Richo. Teman-teman lain sedang bermain layang-layang.
"Terimakasih karena sudah menyelamatkanku," ucap Nessa pada pria beralis tebal itu.
Richo berbalik dan menatap wanita berambut panjang itu.
"Bisakah kamu tidak melakukan hal itu lagi!" sahutnya dengan nada agak tinggi.
"Iya, aku minta maaf, aku hanya tak ingin kalian semua terluka," bantah Nessa tak ingin disalahkan.
"Tapi aku nggak suka melihatmu dalam bahaya."
"Tapi aku yakin kamu bakal nolongin aku," ucap Nessa seraya melirik pria yang ia sukai itu.
"Kenapa kamu begitu yakin kalau aku akan menolongmu?"
"Instingku yang mengatakan," ujar Nessa.
Richo tersenyum kecil. "Kalau sampai ini terjadi lagi, lain kali aku tidak akan menolongmu," ucapnya tiba-tiba dan membuang muka.
"Hah, dasar cowok nggak punya perasaan, ya udah aku minta tolong ke Radit aja," ucap Nessa seraya beranjak dari kursi itu.
Richo menarik tangannya. "Kamu ya, selalu seperti itu, apa kamu nggak faham dengan ucapanku," bentak Richo yang tak ingin Nessa pergi menemui Radit.
Nessa tersenyum." Cowok kayak kamu tuh, susah banget buat ngomong jujur, selalunya berbelit-belit, iya aku faham kok, kamu nggak maukan aku dalam bahaya?"
Pria itu mengangguk.
Mendadak mereka dikejutkan oleh Radit dan Wati.
"Cieee, yang udah ada perkembangan, main pegang-pegang tangan nih!" ejek Radit seraya tersenyum.
Nessa langsung melepaskan tangan Richo.
"Apaan sih kamu Dit, berisik tau." Nessa menahan malu lalu pergi menyusul Mella dan Ria yang masih bermain layang-layang.
"Dasar kamu Dit, gangguin moment mereka aja," celetuk Wati.
"Udah sana, tembak Bro, lama amat kamu nih, ntar ketembak pemburu lain sukur!" Ejek Radit.
"Kamu kira si Nessa hewan apa, pakai di tembak, dasar kamu," ucap Richo dan menyusul teman yang lain.
"Cieee dia ngambek, dasar Ustadz nggak peka!" ujar Radit terkekeh.
***
Ria baru saja pulang dari bermain layangan bersama teman-temannya. Ia bergegas mandi dan mengeringkan rambut. Mendadak pintu kamarnya terbuka dengan sendirinya.
Ia melongok keluar dan tidak menemukan siapapun. "Aneh! kok bisa ke buka sendiri ya," gumamnya.
Ia pergi ke dapur untuk meminum air. Saat ingin kembali ke kamar. Ia melihat hamparan kain putih yang panjang tergeletak di lantai rumah. Ia memungutnya. "Kain apaan nih?"
Kain itu begitu panjang dan tak berujung. Ia menariknya karena penasaran. Saat sudah semakin dekat muncullah sesosok tubuh yang badannya tinggal separo. Beberapa belatung sudah menggerogoti tubuh itu. Ia berjalan mendekati Ria dengan muka yang penuh darah hitam. Ria segera berlari keluar rumah dan melemparkan handuk yang ia bawa ke sosok itu hingga sosok itu terpeleset dan jatuh terguling ke lantai.
"Dasar mumi sialannnnnnn!" teriaknya dan terus berlari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top