Part 3. Desa Gaib
Ria merebahkan tubuhnya di atas kasur. Rasanya seluruh badannya pegal-pegal. Seorang wanita berusia 45 tahunan menghampirinya.
"Kamu sudah di rumah sayang, katanya pergi dua hari?" tanya wanita itu padanya.
"Oh, ada sesuatu yang mendesak Ma, jadi di cepetin KKN-nya," jawab Ria.
"Udah mandi sana, Mama udah nyiapin makan buat kamu."
"Makasih Ma."
Ria berjalan memasuki kamar mandi dan membasuh tubuhnya. Saat berkaca, ia melihat sesosok wanita berdiri tegak di belakang badannya. "Astagfirullah! siapa itu!" Ia kaget dan berbalik ke belakang tapi tak menemukan siapapun. Saat ia berbalik lagi sebuah kepala wanita yang berwajah pucat sudah mencengkeram wajahnya dan masuk melewati mulut Ria.
Di meja makan. Ria hanya mengorat-ngarit makanan yang sudah di masakkan oleh ibunya.
"Ria, kok cuman di orat-arit nasinya, kenapa nggak di makan sayang," tanya wanita itu.
Ria masih diam tak menyahut.
"Ria! apa kamu sakit?" tanya pria yang berkumis tipis itu yang tak lain adalah ayahnya.
"Eh, enggak kok Pa, Ma, mungkin aku kecapean aja," ucap Ria beralasan.
"Mama sama Papa mau keluar makan malam nanti, kamu mau ikut nggak?" tanya ibunya.
"Enggak Ma, aku di rumah aja," sahut Ria.
"Ya udah kalau gitu, kamu jangan tidur kemalaman ya."
Ria mengangguk.
Malamnya kedua orang tua Ria pergi makan malam. Ria mengintip dari tirai jendela kamar yang berada di lantai dua. Setelah mereka pergi, Ria keluar rumah dan berjalan entah ke mana. Kakinya terhenti di sebuah rumah yang mewah berlantai tiga dengan pagar besi yang dicat warna putih. Ria tersenyum sinis. "Akhirnya aku menemukanmu."
Keesokan harinya di rumah Nessa. Tampak Ria sedang memijat kakinya yang pegal.
"Kenapa kakimu Ria?" tanya Mella heran melihat temannya itu.
"Nggak tau nih, kayak habis maraton aja, pegel banget rasanya," jawabnya seraya masih memijat kaki.
"Pasti no, kamu ngimpi sambil jalan," ejek Radit.
"Sialan kamu Dit, gini-gini normal aku, nggak kayak kamu yang suka ngorok," bantahnya.
"Haest! buka kartu kamu," cibir Radit.
Mereka semua tertawa.
"Gimana Ric, jadi kita nggak dapet apa-apa nih dari desa Gaib itu?" tanya Nessa.
"Kita kekurangan informasi nih," sahut Richo.
"Eh tunggu, kalian pada nggak tau ya si Fendi itu siapa? Aku tuh kayak pernah lihat dia, tapi aku lupa di mana ya?" gerutu Wati mencoba mengingat-ingat.
"Coba aku cek deh, namanya Fendi kan, moga aja ada infonya, tapi kayaknya sulit nih, nama Fendi kan nggak cuman satu orang," ujar Nessa dan memperlihatkan keterampilannya menggunakan komputer.
Teman-temannya dengan sabar menanti.
"Akhirnya ketemu juga, tinggal beberapa nih, ayo yang teliti ama wajahnya ke sini," ucapnya. Mereka semua menarik Ria mendekat, "iya tau, jangan tarik-tarik," bantah wanita itu.
Wanita berambut pendek itu melihat dengan teliti. Matanya tertuju pada satu photo. "Ini nih! ini pria yang kita lihat kemaren, aku ingat tahi lalatnya," ucap Ria menunjuk photo itu.
"Gila, segitunya kamu, detail banget sampai ingat tahi lalatnya," cibir Radit.
Ria terkekeh.
"Tuh kan bener, aku kenal orang ini," ujar Wati dan mulai ingat.
"Siapa Wati, mantanmu ya?" Ejek Radit.
"Kampret kamu Dit, bukanlah, dia itu penulis buku," bantah Wati.
"Penulis buku," ujar Mella kaget.
"Nama lengkapnya, Effendi Setiawan, penulis buku dari kisah nyata, semua karyanya sudah banyak kok, dan laku sampai ke luar negri juga, dan aku salah satu penggemar beliau," ujar Wati seraya meringis.
"Wah gila, kenapa bisa seorang penulis mempunyai kehidupan yang kelam seperti itu," cibir Ria.
"Iya ya, kalau semua orang tau kejahatannya di masa lalu, apa jadinya dia," timpal Mella.
"Apa kamu bisa melacak alamatnya Sa?" tanya Richo.
"Sini coba kulihat." Nessa mengetik beberapa huruf dan keluarlah sebuah lampiran alamat rumah di sana. "Nih alamat rumahnya."
"Sepertinya kita harus mengunjunginya," ucap Richo.
Mereka berenam sudah berada di depan rumah yang besar itu. Tapi pengawal Fendi tidak mengijinkan mereka masuk.
"Siapa kalian?" Seorang pria paruh baya mendatangi mereka.
"Bukannya kamu --," ucapan Ria terhenti karena Wati menutup mulutnya. Mereka sadar bahwa pria yang ada di hadapan mereka adalah Bagus, pria yang dulu dihajar oleh Fendi dan anak buahnya.
"Kami adalah fans berat Pak Fendi, bisakah kami masuk dan meminta tanda tangan beliau," ucap Nessa beralasan.
"Oh begitu, masuklah, kenapa kalian harus membuat keributan," ucap Bagus mempersilahkan mereka masuk.
"Ehmm, maaf ya Pak, teman saya memang emosian," ucap Nessa meminta maaf.
Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah ruang tamu yang sangat luas.
"Wah, ternyata kayak gini ya rumah artis," celetuk Radit melihat rumah itu begitu luas.
Seorang pria berkacamata datang. Walau ia sudah berusia hampir 45 tahun, ia masih terlihat sangat gagah. Dialah Fendi pria yang mereka cari.
"Aku belum pernah didatangi fans ke rumah, maaf kalau para penjagaku terlalu kasar," ucap pria itu seraya duduk di sofa.
"Iya nggak papa kok Pak," sahut Richo.
Mereka mengeluarkan sebuah buku dan menyuruh Fendi untuk menandatangani buku tersebut.
"Terimakasih untuk tanda tangannya, saya fans berat Bapak," ucap Wati tersenyum manis.
"Haestt ni anak," cibir Radit merasa tak suka melihat Wati tersenyum manis pada pria lain.
Mereka pun undur pamit setelah mendapatkan tanda tangan. Ria menatap tajam pada Bagus yang berdiri tepat di samping Fendi. Seolah memberikan sinyal.
Fendi segera berlari ke kamar mandi. Ia membasuh mukanya. Seakan tak percaya apa yang baru saja ia lihat. Ia melihat Mawar pada tubuh wanita tadi. "Apa itu tadi Mawar, apa itu mungkin?" banyak pertanyaan di dalam kepalanya yang tak bisa terjawab.
Di dalam mobil, Ria hanya diam saja. Saat teman-temannya ribut tentang si penulis itu tatapannya menerawang jauh ke luar jendela mobil. Sampai sebuah suara mengagetkan dia.
"Ria, udah nyampe nih," ucap Richo yang menekan tombol kunci agar ia bisa keluar.
"Eh, udah nyampe ya, ya udah aku masuk dulu ya."
"Da Ria," ujar Mella dan lainnya.
"Da," ucapnya datar dan berjalan masuk ke rumah.
Richo mengendarai mobilnya lagi dan mengantar temannya yang lain. Dan yang terakhir hanya ada Richo dan Nessa karena rumah mereka satu arah.
"Ric, apa kamu ngerasa ada yang beda sama Ria?" tanya Nessa memecahkan keheningan.
Richo menatap wanita itu. "Apa kamu juga merasakannya."
"Iya, sejak bertemu penulis itu dan saat pulang, Ria seperti orang lain, aku sedikit khawatir," ucap Nessa.
"Ya udah kita balik ke rumah Ria sebentar ya, aku juga pengen ngecek sesuatu kok," ajak Richo.
Nessa mengangguk. Mereka berdua kembali ke rumah Ria. Tapi rumahnya gelap gulita seperti tak berpenghuni. Kami bertanya pada satpam di sana. Ia berkata kedua orang tua Ria belum pulang dari bekerja. Dan Ria baru saja keluar entah ke mana.
"Gimana nih Ric? Ke mana perginya Ria?" Nessa mulai panik.
"Sepertinya aku tau ke mana dia pergi, ayo masuk ke mobil," ajak Richo.
Mereka segera melaju menuju ke suatu tempat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top