Keping. 9

Terima kasih Kakak sekalian yang sudah meninggalkan jejak komentar

***

Tata bersandar di tepi ranjang. Kamarnya baru saja diterpa angin puting beliung. Meja rias yang semula rapi, sudah tak keruan lagi letaknya. Koleksi make up serta botol parfumnya mengotori lantai. Ranjang yang tak ada kerutan di sekitar sprey, sudah amburadul. Bantal serta guling pun isinya mencuat ke mana-mana. Begitu juga lemari pakaian miliknya. Hampir seluru isinya berserak di lantai. Ia sendiri tak tau, barang apa saja yang pecah di sana.

"Aku pastikan kamu menyesal melakukan ini, Ta."

Ucapan itu sedikit mengusik Tata. Sampai sosok pria yang masih berlabel suaminya itu pergi meninggalkannya dengan dua koper besar, Tata masih bertahan dalam kedataran wajahnya. Tak akan ia merendahkan diri atau meminta maaf telah mengusir Bhumi. Sudah cukup baginya bertahan. Namun tak lama berselang, ia pun luruh.

Menangis sejadi-jadinya. Berteriak macam orang gila. Memaki serta menumpahkan segala amarah yang ia tahan sejak duduk berempat ... ah, rasanya bukan diawali beberapa jam lalu. Mungkin amarahnya telah lama bersemayam di hati. Baru kali ini ia bisa memuntahkannya dengan bebas. Termasuk memporak porandakan kamarnya sebagai salah satu bentuk pelampiasan.

"Kamu itu jangan mengeluh terus, Ta. Coba sesekali turuti Ibu. Kamu sendiri, kan, yang bilang beruntung akhirnya bisa punya Ibu?"

Kala itu Tata tersenyum tipis dan berusaha untuk menekan rasa tak sukanya pada sikap Rieka, sang mertua. Ia pilih, konyol rasanya kalau di hari libur kerja ia tetap harus berkunjung ke rumah mertuanya. Kalau sesekali, mungkin Tata tak jadi soal. Tapi ini hampir setiap waktu liburnya.

Awalnya ia tak jadi soal tapi makin ke sini, ia semakin kelelahan. Ia tak bisa beristirahat dengan baik sementara pekerjaan di rumahnya juga masih bertumpuk. Bhumi pun tak mau membantunya barang sedikit. Tata ingin ada seseorang yang membantu di rumah, Bhumi melarangnya. Katanya harus berhemat.

"Apa kurangku, Bhumi?!" maki Tata sembari melempar bantal, mengacak selimut yang telah rapi terlipat. "Apa!!!"

"Ta, Nilam mau kursus di salon. Aku janji membiayainya."

Tata terperangah. "Tapi, Mas, uangnya memang ada?"

"Ada, lah." Bhumi tersenyum tipis. "Aku baru dapat proyek."

"Kamu bilang kita harus hemat, Mas."

"Hemat bukan berarti pelit dengan keluarga aku, kan, Ta. Lagian, ya, kita berdua ini kerja. Nilam juga adik kamu, kan? dia juga pengin punya kegiatan ketimbang di rumah aja."

Tata bingung jadinya. "Kenapa Nilam enggak melamar kerja di kantoran saja? Percuma kita kuliahkan dia, Mas."

Bhumi melihat Tata dengan sorot tak terima. "Lalu yang jaga Ibu siapa? Kamu? kamu aja kerja, kok."

"Ya tapi, kan, bisa nanti untuk kursus. Toh sama juga Nilam nantinya punya kegiatan di luar rumah. Yang jaga Ibu siapa?"

"Sudah lah kamu enggak perlu banyak ikut campur, Ta. Ini keluarga aku. aku yang biayai mereka. bukan kamu!"

Tata meremas ujung dressnya kuat-kuat. "Dia biayai keluarganya?" Lalu tawanya memenuhi kamar. "Yang paling banyak itu aku! Aku!!!" Dadanya sesak sekali.

"Kamu itu jadi istri yang hormat dan ajeni suami dengan baik, Ta. Jangan banyak bantah. Bantu suami juga. Jangan mau enaknya aja."

Ucapan itu bukan sekali dua kali Tata dengar. Sungguh, ia selalu memimpikan memiliki seorang ibu dan saudari perempuan. Ia hidup sendiri sejak masih berusia lima tahun. Mengenal Bhumi di mana memiliki keluarga nyaris utuh. Meski hanya mengenal ayah mertuanya dua tahun setelah mereka menikah, tapi Tata bersyukur. Saking bersyukurnya ia, tak peduli betapa sering mereka memperlakukan Tata dengan buruk. Dalam pikir Tata, selama dirinya bisa membantu, pasti akan ia bantu.

Ia tak menyangka, kian hari perlakuan mereka persis seperti apa yang Jenni katakan.

Sapi perah.

Berulang kali Tata menyanggah tapi kian hari, ucapan Jenni tak terbantah. Bukan satu atau dua kali entah Nilam atau mertuanya meminta uang tanpa peduli bagaimana kondisi Tata. Yang mereka tau, Tata bekerja, Bhumi bekerja. Punya uang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kalau Tata mengeluh, Bhumi bukannya membela tapi malah menyudutkan.

"Jangan perhitungan sama keluarga aku, Ta," katanya begitu.

"Aku perhitungan?" tanya Tata dengan decih miris. "Kapan aku memperhitungkan apa yang sudah aku keluarkan?" Ia mengusap lelehan air mata yang kembali membasahi pipinya. "KAPAN!!!"

Isakannya makin jadi. "Aku cinta sama kamu, Bhumi. Cinta banget." Ia terduduk di lantai. Dinginnya keramik yang menyentuh kakinya tak ia pedulikan. "Saking cintanya aku ini jadi buta akan semua hal yang kalian lakukan ke aku." Tata sesak sekali. "Dan sampai rasanya juga, semua perlakuan kalian bikin aku mati rasa."

Ia menengadah pelan, menatap langit-langit kamarnya yang cukup terang. "Kurang aku apa, sih?"

"Kapan Mbak hamil? Ayo lah. Pasti Mas Bhumi dan Ibu udah pengin banget Mbak hamil. Jangan nunda terus."

"Aku enggak nunda, Nilam," kata Tata dengan senyum tipis.

"Ya tapi Mbak sibuk banget, sih, kerjanya. Kapan bisa senangi suami kalau gitu."

Ucapan itu ia dengar enam bulan setelah Nilam menikah. Masih dalam suasana pengantin baru, yang rona bahagianya terus bersemu di wajah adik iparnya itu.

"Kayak aku dong, Mbak. Sudah hamil. Masa Mbak lama banget, sih."

Tata berusaha untuk kembali tersenyum meski hatinya perih sekali.

"Memang maunya aku seperti ini?" Tanpa aba-aba, ia lemparn salah satu botol parfum dekat kakinya pada cermin yang ada di lemari. Bunyi pecahannya begitu memekak. Ia yakin, pecahan yang terserak bisa melukainya kapan saja. tapi sungguh, ia tak peduli. Rasa pedulinya ia rasa sudah tak ada lagi.

Kini ia termangu. Napasnya juga sedikit terengah. Ia juga merasa tenggorokannya agak kering. Matanya pun pastinya bengkak karena selain berteriak, juga juga menangis tanpa henti. Kendati demikian, sekali lagi matanya mengedar memperhatikan sekitarnya yang kacau balau. Lalu terhenti di jam yang tergantung di salah satu sudut kamar. Jarum di sana menunjuk pada angka dua dinihari.

Ia mendesah pelan. Berusaha bangkit tanpa berniat sedikit pun untuk merapikan kamarnya. Ia memilih masuk ke kamar lainnya. Namun langkahnya terhenti tepat di pintu ruangan yang berada tak jauh dari kamar utama. Kamar yang biasanya ditempati sang ibu mertua saat menginap di rumah ini.

"Ck!" Ia pun mengurungkan niatnya. Berjalan sedikit limbung tapi terus saja melangkah sampai kakinya membawa ia di sofa. "Lebih baik di sini," katanya sembari merebahkan diri. "Kalian semua keterlaluan! Terutama kamu, Bhumi," lirihnya. Sedikit menekuk diri di sofa. Berusaha memejam padahal pening melandanya dengan kuat. Rasa sakitnya ia abaikan. Dingin yang mulai merayapi tubuhnya juga tak ia pedulikan.

Ia butuh tidur. Esok ... ia masih harus menghadapi dunia.

***

"Pagi, Ta," sapa Yessy yang tampak terkejut saat mereka bersemuka. "Kamu kenapa, Ta?"

"Aku?" tanya Tata dengan kerjapan bingung. "Aku kenapa?"

"Wajahmu itu, lho, Ta. Pucat sekali. Sakit?"

Tata berusaha untuk menampilkan senyum. Padahal sesaat sebelum berangkat ia memastikan sekali lagi tak ada yang salah dengan penampilannya. Meski ia harus bekerja ekstra mencari conclear untuk menutupi mata panda karena kurang tidur semalam, tapi ia merasa tak ada yang salah. Kenapa Yessy begitu teliti. "Enggak, kok."

"Syukur lah. Aku pikir kamu sakit. Lesu banget. belum sarapan, kah?"

"Kurasa begitu," sahut Tata singkat. Ia sedikit terhuyung lantaran pusing yang menderanya belum jua pergi.

"Ta?" Yessy segera tanggap. Dipegangi bahu rekan kerjanya itu. "Kamu sakit?" tanyanya sekali lagi.

"Enggak." Pelan, Tata menyingkirkan tangan Yessy. "Aku baik-baik saja. Terima kasih."

Meski begitu, Yessy tetap tak percaya. Selama mengenal Tata, baru kali ini ia melihat sosok wanita yang selalu tampil elegan ini tampak kacau. Ingin bertanya lebih jauh, Yessy mengurungkan niatnya. Mereka berpisah tepat di koridor menuju ruangan masing-masing. Tata berusaha sekali meyakinkan Yessy kalau dirinya baik-baik saja.

Padahal ia mulai kehilangan keseimbangan. Lantai tempatnya berpijak mulai terasa bergetar. Ia sampai memegangi tembok di sisi kanannya agar tak limbung. Beruntungnya ia, bisa berkendara dengan selamat sampai di kantor. Entah bagaimana caranya Tata sendiri tak tau. Yang harus ia pikirkan sekarang adalah bagaimana melalui hari ini dengan baik?

Kenapa ia tak mengambil cuti saja, sih?

Ah ... itu bukan dirinya sekali. Masalah yang tengah ia hadapi jangan sampai mengganggu konsentrasi kerjanya. Ia harus singkirkan karena pekerjaan yang ia lakoni, harus dijalankan dengan professional. Ya, benar. ia harus professional. Mungkin secangkir teh manis hangat bisa mengurangi pening yang menderanya.

"Pagi, Ta," sapa Jagad ketika melihat Tata sedikit bersandar di tembok.

Tata mengerjap lalu menoleh dan berusaha untuk tersenyum. Mendengar suara Jagad, jangan sampai bosnya tau kalau ia dalam keadaan seperti ini. "Pagi, Pak." Hanya itu yang bisa Tata katakan. Karena setelahnya, suara Jagad meneriaki namanya tapi tak bisa ia balas. Yang ada, kegelapan yang lebih dulu menghampirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top