Keping. 7
"Duh, lama banget enggak ketemu kamu, Ta." Sosok wanita berbalut fashion yang cukup modis langsung menghampiri Tata. Memeluknya cukup erat.
"Berlebihan kamu," dumel Tata. "Baru sebulan enggak ketemu."
"Sebulan itu lama, Bebs. Lagian weekend lalu kamu yang batalkan, kan?" Jenni berkata dengan tawa di wajahnya. "Gimana kabar kamu?" Ia pun mengambil duduk di depan sahabatnya.
"Sejauh ini biasa saja," sahut Tata sembari mengaduk pelan smoothies pesanannya.
"Syukurlah enggak ada yang ajaib lagi di hidup kamu."
Ucapan Jenni bukan tanpa sebab. Mengenalnya selama hampir lima belas tahun, banyak istilah yang dikeluarkan sang sahabat untuk dirinya. Terutama untuk keluarga 'ajaib' yang Bhumi miliki. Nilam sang Tikus Pengerat, mertuanya si Penyihir Gadungan, serta ... Bhumi si Pria Bertali Kekang.
Awalnya Tata tak suka dengan penyebutan itu. Biar bagaimanapun mereka semua bagian dari hidupnya. Namun, Jenni punya satu kalimat yang tak bisa dibantah begitu saja. "Kamu anggap mereka keluarga, tapi mereka anggap kamu mesin cetak uang, Ta. Sadar kenapa, sih?"
"Kamu sendiri bagaimana? Bisnis lancar?"
Jenni tampak semringah sekarang.
"Puji Tuhan, lancar semuanya, Ta. Amel dan Mas Rakha dukung aku seratus persen. Ya ... namanya juga usaha baru. Pasti sibuk banget, kan?"
"Aku senang mendengarnya, Jen."
Perkataan Tata berasal dari hatinya. Telah lama Jenni memimpikan memiliki butik sendiri di mana ia yang merancang desainnya. Wajar kalau sekarang sahabatnya itu menggebu menceritakan bagaimana detail segala hal mengenai bisnisnya. Termasuk respons yang masuk dan membuatnya cukup sibuk beberapa waktu belakangan.
"Aku jadi pengin punya usaha juga, deh," seloroh Tata setelah mendengarkan banyak ocehan Jenni mengenai butiknya.
"Kerjaan kamu?" Jenni bertanya dengan tatapan menyelidik.
"Mungkin ... resign," kata Tata sambil mengedikkan bahu.
"Ck!" Jenni berdecak. "Jangan resign kalau belum tahu tujuanmu mau apa, Ta."
"Hamil," celetuk Tata seperti tanpa berpikir.
"Astaga, Ta!" Jenni membeliak. "Hamil itu bukan urusan perempuan aja. Laki-laki juga. Sampai sekarang Bhumi enggak konsultasi, kan?"
Agak gemas sebenarnya Jenni jika bicara perkara 'hamil'. Saran itu pernah ia kemukakan bertahun-tahun lalu. Bahkan di depan Bhumi pun, ia tak sungkan untuk bicara. Baginya, Tata bukan sebatas sahabat semata. Ia menganggap sahabatnya ini sudah seperti adik kandungnya. Apalagi Tata di dunia ini hanya seorang diri.
Tata mengulum senyumnya saja.
Kembali Jenni berdecak. "Apa susahnya konsultasi? Memang kalau hasilnya negatif, dokter bakalan koar-koar seantero rumah sakit? Yang ada pastinya dicarikan solusi terbaik, Ta. Masa iya, Bhumi enggak ngerti ke arah sana?"
"Mungkin aku yang memang lemah kandungannya, Jen," kata Tata mencoba menenangkan Jenni. Bukankah seharusnya dirinya yang berapi-api membahas masalah ini? "Aku lagi berpikir, Jen, apa aku resign saja, ya? Biar aku bisa hamil?"
"Memang ada jaminannya begitu kamu resign, langsung hamil? Gitu?"
Tata terdiam.
"Lagian kenapa tiba-tiba bahas resign dan hamil?"
Sebenarnya tak ingin Tata berkisah mengenai kejadian minggu lalu, saat berkumpul bersama di rumah Nilam. Seolah-olah menjadi agenda wajib bagi hidupnya berkunjung ke sana karena sang mertua tinggal di sana.
"Masmu bilang, belakangan ini kamu lembur terus, Ta?" tanya Rieka sembari mengambil cookies yang dibawakan menantunya. "Beli di mana ini? Kok enggak enak?" Ia pun melihat kemasan yang tertera di sana. "Astaga, Ta. Kamu lembur pasti uangnya banyak, kan? Kenapa bawain Ibu kue yang enggak enak gini?"
Tata menghela penuh sabar. "Aku enggak lewat tokonya, Bu. Mas Bhumi tadi ada urusan sebentar di kantornya."
Rieka berdecak. "Ibu enggak suka."
"Nanti Tata belikan lagi, ya, Bu."
"Iyalah. Uangmu banyak jangan pelit sama mertua. Belikan Nilam dan Kayyish juga."
Tak ada yang bisa Tata lakukan selain mengangguk patuh.
"Tapi bicara tentang lembur pastinya waktu kamu lebih sibuk, kan? Bukannya dokter pernah bilang kalau kandunganmu itu lemah makanya lama hamil?"
Tata terdiam.
"Gitu, kok, masmu disuruh ikutan periksa, Ta, Ta. Harusnya kamu yang lebih selektif pilih kerjaan. Jangan banyak lembur. Sudah saatnya kalian itu mikirin anak, Ta. Atau kamu enggak niat punya anak sama masmu?"
"Bukan gitu, Bu," kata Tata bersiap untuk menyanggah. "Aku juga enggak mau lembur terlalu lama, tapi mau bagaimana lagi. Itu memang sudah jadi ba—"
"Kamu itu memang banyak alasannya, Ta," sela Bhumi dengan cepatnya. Sorot matanya juga menatap Tata tak suka. "Aku yakin, andai konsultasi ke dokter sekalipun, aku itu sehat. Tapi memang kamu yang bermasalah. Ditambah kerjaan kamu yang makin ke sini makin sibuk."
"Nah," Rieka tampak puas dengan ucapan putranya. "Itu berarti kamu yang harusnya bisa jaga kondisi, Ta. Enggak perlu lembur segalalah. Ngapain. Ibu mau cucu. Sudah sepuluh tahun nunggu, tapi kamu enggak bisa beri juga."
"Bukan keinginan Tata juga, kan, Bu," sanggah Tata. Matanya melirik ke arah Bhumi yang justru memalingkan wajahnya. Tampang suaminya juga terlihat masam.
"Ya, harusnya kamu berusaha lebih, Ta."
Wanita berambut sebahu itu menghela pelan. "Kalau begitu, Tata resign saja? Siapa tahu kalau kondisi Tata di rumah, enggak terlalu capek dan banyak aktivitas, bisa hamil?"
"Oh, kamu mau menggantung hidup dari masmu aja? Gitu? Masmu juga harus kasih uang ke Ibu, kan? Kamu tahu itu. Banyak istri pekerja yang bisa hamil dan enggak bermasalah selama dia bisa jaga kondisinya. Lah, kamu? Sudah tahu kandungannya lemah, malah lembur terus. Gimana mau hamil?"
"Tuhan!" Jenni mengusap wajahnya dengan setengah frustrasi. Sejak tadi mendengarkan cerita Tata, geram di hatinya benar-benar menyentuh batas. Rasanya kalau ia ada di dekat mertua Tata, mungkin sudah baku hantam. "Penyihir itu memang hatinya hitam, ya! Sakit jiwa!"
"Jangan gitu, ah. Ngapain memaki orang lain? Bikin dosa aja." Tata tertawa sumbang. Diseruputnya kembali smoothies yang tersisa sedikit. "Kamu enggak pesan makan, Jen? Ayolah. Jangan bilang kamu diet?"
Jenni mencibir, tetapi kemudian tertawa.
"Enggaklah. Enggak boleh diet sama Mas Rakha."
"Pesan makan, yuk. Bicara mengenai mertuaku memang menguras tenaga."
Kali ini Jenni tergelak bebas, yang mana membuat Tata pun ikut larut di dalamnya. Setelahnya mereka sibuk memesan makanan yang cukup menggugah selera. Diselingi obrolan random seputaran Amel, putri tunggal Jenni, tak berapa lama pesanan mereka datang. Disantap sajian itu dengan lahapnya.
"Tapi ... ucapanmu resign untuk hamil itu enggak serius, kan, Ta?" tanya Jenni sembari memotong daging bagiannya.
Sendok berisi salad yang akan ia santap, tertahan di udara karena pertanyaan Jenni barusan. "Baru mencetuskan ide resign saja sudah dibuat seolah-olah aku ini beban suami, Jen. Tapi mereka memaksa aku punya anak. Aku bingung," kata Tata sembari tersenyum masam. "Bagaimana kalau aku benar-benar resign?"
"Jangan, Ta. Saranku jangan resign. Meski, ya ... berat pastinya jadi kamu."
Jenni menyentuh lengan Tata pelan, diusapnya perlahan sebagai bentuk empati darinya. Sorot matanya menatap sang sahabat dengan sendu. Tahu kalau beban sahabatnya jauh lebih berat ketimbang nada bicaranya.
"Aku pikir ... Ibu berbeda. Kau tahu, kan, penerimaan mereka dulu? Mas Bhumi juga."
"Manusia itu paling cepat berubah hatinya, Ta."
Tata terkekeh. "Kamu enggak, Jen."
"Kok terdengar menyebalkan, ya?"
Mereka tertawa bersama.
"Kurangku apa, sih, Jen?" tanya Tata demikian lirihnya setelah berhasil meredakan tawanya. Gelak yang ia ciptakan lebih pada mentertawakan nasibnya sendiri. "Aku mandiri secara ekonomi. Ikut bantu suami juga perkara nafkah. Aku enggak marah mereka manfaatin karena merasa, ya ... aku enggak punya orang tua dan adik, kan? Aku enggak pernah mengeluh dengan suamiku yang terkadang menjengkelkan. Aku terima semuanya, Jen. Lengkap dengan kekurangan yang ada karena merasa aku juga kurang, Jen."
Jenni tak tahu harus berkata apa.
"Tapi kenapa aku yang terus-menerus disudutkan?" Tata menatap Jenni dengan mata berkaca-kaca. "Aku ini menikah dengan seorang pangeran tanpa cacat kali, ya, Jen? Makanya segala macam noda dan kesalahan hanya ada padaku."
Berhubung duduk Tata tepat mengarah ke bagian luar restoran, ia juga jelas melihat hilir mudik pengunjung mal ini. Termasuk ....
"Mas Bhumi."
***
Yang mau koleksi bukunya boleh banget langsung order di akun shoppi aku, ya. Raptor_Book_Store
Di Playbook juga sudah ada. Atau di Karya Karsa. Bebas pilih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top