Keping. 6

"Saya benar-benar minta maaf, Ta," kata Jagad entah sudah berapa kali mengucap hal yang sama. Raut wajahnya juga terlihat bersalah. Padahal Tata tak mempermasalahkan apa yang terjadi.

Menjadi hal yang biasa untuk anak penderita sindrom Asperger bertindak spontan, termasuk menggigit tangannya. Ia cukup terkejut, tetapi menyadari kalau gadis yang menggigitnya ini mungkin tengah melindungi diri.

Tata orang asing yang mendadak ada di dekatnya. Bisa jadi gadis itu merasa terancam. Tata kaget setengah mati dan syok karena respons si anak tak ia duga. Lukanya juga hanya sebatas goresan. Echa segera melepaskan begitu sang ayah merangkulnya erat. Berbisik lirih berusaha menenangkan anaknya, itulah yang Jagad lakukan.

"Saya enggak apa-apa, kok, Pak." Tata masih mempertahankan senyumnya. "Bapak sudah berkali-kali minta maaf. Saya yakin juga Echa enggak bermaksud gitu. Namanya Echa, kan?"

"Aleisya Kirei Adi namanya."

"Wah, namanya indah sekali, Pak," puji Tata.

"Menurut kamu begitu?" tanya Jagad. Mereka dalam perjalanan pulang ke kantornya, tetapi rasanya juga sudah sangat terlambat. "Saya antar kamu pulang sebagai permintaan maaf, ya, Ta. Saya harap enggak ditolak."

Tata meringis jadinya. "Jangan, Pak. Antar sampai kantor aja. Nanti saya pulang naik taksi saja."

"Atau hubungi suami kamu biar dijemput," sela Jagad.

Tak ada yang salah dengan ucapan Jagad barusan. Itu sebuah kewajaran. Hanya saja bagi Tata, seperti ada beban di bahunya. Ia hanya membalas dengan senyum tipis. Merogoh ponsel yang ada di tasnya; berpura-pura mengirimkan pesan, padahal dia tahu, Bhumi tak akan menjemputnya.

Pernah suatu waktu, Tata memilih menunggu Bhumi menjemput di saat suaminya bilang ada lembur.

"Harusnya kamu pulang aja, Ta. Ngapain nunggu aku? Jadinya aku harus putar arah!" sentaknya begitu ia masuk mobil. Raut wajah Bhumi juga terlihat tak suka. "Aku sudah capek lembur, malah harus jemput kamu. Memang enggak dikasih voucer taksi dari kantor? Kalau enggak dikasih, kenapa kamu mau-maunya lembur?"

Satu kali, ia masih bisa tahan. Dua tiga kali, Tata seperti istri yang sangat merepotkan bagi Bhumi yang membuatnya memilih mengalah.

Sampai mobil yang Jagad kendarai tiba di lobi kantor mereka, tak ada yang bicara lagi. Lagi pula Tata merasa tak memiliki bahan pertanyaan lain. Andai ada sekalipun, ia takut menyinggung perasaan sang bos.

"Sudah dihubungi suamimu, kan?" tanya Jagad memastikan. Jangan sampai wakilnya ini kesulitan karena dirinya. Seharusnya mereka sudah kembali berjam-jam lalu, tetapi karena urusan pribadinya, ia menyusahkan Tata. Malah membuat wanita itu terluka karena anaknya.

"Sudah, Pak." Tata melepaskan seat belt-nya. "Saya tunggu di lobi nantinya. Sudah di jalan juga, kok."

Jagad menghela lega. "Saya duluan, ya, Ta. Sekali lagi saya minta maaf. Mungkin karena Echa lagi sensitif jadi seperti itu."

"Perempuan memang sensitif, kan, Pak?" seloroh Tata untuk mencairkan suasana. Jangan sampai kejadian ini membuat mereka jadi canggung. Ia tak mempermasalahkan luka ini. Sungguh.

"Bisa saja kamu." Jagad tersenyum jadinya. Membiarkan Tata turun dari mobilnya. Ia juga menekan tombol agar kaca jendela mobilnya turun. "Terima kasih, Ta."

Ucapan itu membuat Tata menoleh. "Untuk?"

"Memaklumi keadaan Echa dan menerima maaf saya."

"Astaga," Tata tertawa. "Saya pikir apa."

"Saya ... duluan, ya, Ta. Selamat malam."

Tata mengangguk. "Selamat malam juga, Pak Jagad. Hati-hati."

Mobil itu pun melaju kembali yang mana tak lepas Tata perhatikan sampai tak lagi terlihat. Ponselnya kembali ia otak atik untuk memesan taksi online. Beruntung tak seberapa lama, taksi tersebut menuju lobi kantornya.

Di dalam taksi, pikirannya melayang kembali pada Echa. Setelah berhasil ditenangkan ayahnya, anak itu tak mau melihat Tata. Ia juga tak memaksakan diri. Ada orang tua dianugerahi anak sehat secara fisik juga mental. Ada juga yang diberi 'keberuntungan' memiliki anak berkebutuhan khusus. Kenapa disebut keberuntungan? Karena sabar serta hatinya harus luas. Mereka pasti punya 'dunia' sendiri yang sukar diselami. Tata belum lupa tatapan Jagad pada sang putri. Tatapan kasih yang sangat tulus dan cinta yang demikian besar.

Hal ini juga yang membuatnya teringat kejadian di masa lampau.

"Berapa tahun kamu nikah, Ta?" tanya Rieka dengan sorot sinisnya. Tata yang baru saja selesai merapikan meja makan, menghentikan gerakannya.

"Sembilan tahun, Bu."

Terdengar Rieka berdecak. "Sembilan tahun, tapi belum punya anak. Bagaimana, sih, kamu? Memangnya kamu enggak niat punya anak? Bhumi itu juga kepengin punya anak, Ta. Kamu jadi istri yang becus. Lihat adikmu, Nilam. Sudah hamil lagi, kan? Kamu? Satu juga belum!"

Dulu, Tata menangis tiap kali sang mertua berkata seperti itu. Seolah-olah memiliki anak hanya tugas dari seorang istri saja. Tak ada kerja sama khusus dengan suaminya. Hanya dirinya yang dipersalahkan di sini, di keluarga besar Bhumi. Tak sungkan juga, Rieka menelanjanginya dengan banyak kesalahan. Bagi Rieka, aib tak memiliki anak dengan segera dan itu jatuh pada sang menantu.

Dulu, tangis Tata direndam pelukan Bhumi dan kata-kata yang membuatnya tenang. Hatinya kembali buncah dan mulai bisa menerima ucapan mertuanya yang terkadang menyakitkan. Namun, makin hari, ia merasa sendiri. Bhumi tak lagi menjadi sandarannya.

Justru suaminya ikut andil mendorong Tata. Mempertanyakan, "Aku sendiri heran, Bu. Apa yang Ibu sarankan sudah aku jalankan. Enggak tahu kalau Tata. Kadang dia ini suka seenaknya. Seolah-olah enggak niat pengin hamil dan punya anak. Padahal aku butuh penerus. Masa iya aku enggak punya anak?"

Semesta tak pernah berhenti berdoa. Kalau Tuhan belum izinkan, apa yang harus ia perbuat selain memperpanjang sujud? Tata juga ingin punya anak. Ingin merasakan bagaimana hamil, menyusui, terjaga di tengah malam karena bayinya rewel, mengikuti segala tumbuh kembangnya. Tata sangat mengharapkan hal itu.

Namun ... apa dirinya bisa memaksakan kehendak?

Andai Tuhan kabulkan dengan memberi anak, tetapi seperti Echa? Apa yang akan Tata lakukan? Sementara dirinya tak bisa memilih melahirkan anak seperti apa, sang anak juga, tak bisa memilih dari rahim ibu seperti apa dirinya dilahirkan. Akankah keluarga Bhumi akan menerima? Kemungkinan itu pasti ada, kan? Tuhan memberikan sesuatu untuk dipelajari umat-Nya.

Sepuluh tahun hidup bersama Bhumi dan mengenal keluarganya, Tata tak yakin semisal ia melahirkan anak seperti Echa, anak itu akan diterima dengan baik. Yang ada ... lagi-lagi ia dipersalahkan.

Tata memejam kuat, lalu menghela napas kasar. Ia tepis pemikiran tadi dan memilih menikmati jalan Jakarta yang sudah mulai lenggang. Berinisiatif menanyakan makan malam pada Bhumi, tetapi sepertinya, lamunannya tadi membuat ia tak menyadari kalau suaminya mengirimkan pesan terlebih dahulu.

Mas Bhumi:

Aku pulang ke rumah Ibu. Jangan tunggu aku pulang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top