[Keping 35]
Aku hari ini double update, ya.
Jangan lupa dongg apresiasinya. koment yang banyak. Hehehhehe
Anyway, ini tinggal 2 bab lagi tamat, ya. Pada penasaran yaaaa kok belum sampai pada prolognya? Sabar kakak semuanya. sabarrrr...
***
Tata masih berharap ini mimpi. Tapi tidak. Kenyataan ini harus ia hadapi. Jagad benar-benar memutuskan untuk resign. Alasannya cukup bisa diterima akal Tata tapi tetap saja, ia merasa kehilangan. Ia bukan tengah memikirkan mengenai asmara. Di matanya, Jagad seorang pemimpin yang berhasil. Di bawah komandonya, banyak proyek yang selalu mendapatkan apresiasi lebih. Bahkan tak bisa dipungkiri, Pak Jimmy sering sekali memberi pujian kala meeting berlangsung dengan seluruh divisi.
Dan dalam tiga bulan ke depan, Tata menggantikannya.
Apa ia bisa? Dengan kapasitasnya yang sekarang? Memikirkan hal ini membuat perut Tata melilit. Meski hampir seluruh staff marketing mendukungnya, ia tetap punya keraguan besar di dalamnya. Kendati begitu, ada satu orang yang ia hire untuk membantunya kini.
Gina namanya. Sama-sama berasal dari divisi marketing tapi lebih pada bagian administrasi. Yang membuat Tata menjatuhkan pilihan agar gadis itu membantunya, Gina cukup cekatan dan teliti. Itu sudah lebih dari cukup bagi Tata. Banyak proyek yang harus ia kerjakan dan diskusikan dengan Jagad. Mulai dari yang sudah berjalan, sampai yang akan mereka garap.
Entah sejak kapan juga, kedekatan mereka berdua jauh lebih lekat ketimbang sebelumnya. Mungkin karena banyak pembahasan yang mengharuskan mereka ada dalam waktu yang sama. Pada akhirnya jarak yang pernah terbentang pun terkikis.
Seperti siang ini, di mana satu cup kopi panas Tata sengaja belikan untuk Jagad mengingat diskusi mereka pastinya memakan waktu lama. "Kopinya, Pak," kata Tata.
"Tau aja ini jam orang ngantuk, Ta," Jagad terkekeh. "Acame sudah hubungi kamu, kan? Project kali ini besar, lho, Ta. Pak Jimmy sampai enggak sangka dengan nominalnya."
"Sudah ditangani dengan baik oleh Ridwan. Spesialis Acame anak itu, Pak."
Jagad tertawa. "Saya minum, ya." Ia pun mencoba merilekskan diri di mana matanya tak mau lepas dari sosok yang kini fokus pada lembaran yang ada di depannya. Rambut hitam legam itu digelung tinggi mungkin agar tak menganggu pandangannya. Sorot matanya tegas penuh percaya diri. Pipinya agak tirus berperona merah yang pas sekali bersanding dengan kulitnya yang putih.
Sosok wanita dewasa yang membuat debar lain bagi Jagad.
Tuhan, meski ini salah tapi izinkan Jagad menikmati barang sejenak. Hanya sebentar dari sisa yang ia punya di Jakarta ini. Selebihnya, tinggal di Kuala Lumpur bertiga bersama Echa dan pengasuhnya sudah lebih dari cukup. Ia yakin, perasaan yang membuatnya sering sukar tidur ini perlahan menghilang.
Merasa diperhatikan, Tata sedikit mengangkat pandangannya. Namun saat pandangan itu bertemu, Jagad mengalihkan dengan segera. Meski agak aneh, tapi Tata tak ingin mempertanyakan. Akan tetapi, hal itu kembali terulang sampai Tata merasa ... Jagad memang menatapnya jauh lebih intens ketimbang biasa.
Memberanikan diri, Tata pun bertanya. "Ada ... apa, Pak?"
"Enggak ada," Jagad tersenyum tipis. "Kopinya enak. Terima kasih."
"Terima kasih juga sarapannya tadi. Saya suka." Tadi pagi, pria itu membawakan seporsi bubur kampium khas yang terkenal di salah satu kedai di Bendungan Hilir.
"Bagaimana kalau besok kita sarapan di tempatnya langsung? Pasti lebih enak." tawar Jagad. Sejurus kemudian, Jagad sesali tawaran yang meluncur barusan.
Tata menghentikan geraknya menggaris bawahi beberapa point penting. Mata hitam itu akhirnya lekat membalas tatapan Jagad.
"Lupakan permintaan tadi, Ta. Maafkan saya." Untuk menutup gugup yang Jagad punya, ia habiskan kopi bagiannya. "Sampai mana kita tadi?"
"Jam enam sudah bisa jemput saya? Biar enggak terlambat sampai kantor?"
Sumpah demi apa pun, Jagad terperangah. Sekali lagi, mata mereka kembali mengudara. Kali ini jauh lebih memiliki makna lain yang Jagad terima dari pada sebelumnya. "Kamu ... serius?"
Meski agak ragu, Tata mengangguk. Pelan sekali namun dapat dengan jelas Jagad tangkap.
"Suamimu?"
"Punya urusan lain."
"Ta," Jagad segera menggunting tatapan mereka. Duduk jauh lebih tegak dari sebelumnya. "Saya serius ajak kamu sarapan juga pertanyaan mengenai suami kamu. Memangnya enggak jadi masalah?"
Senyum Tata meski terkembang tipis, tapi menghias wajahnya kini. "Sarapan bersama bos sebelum meeting pagi bukan kah wajar?"
Andai saja bisa membaca apa yang ada di pikiran Tata, pasti sudah Jagad lakukan. Berkecamuk sudah badai pertanyaan dalam benak Jagad yang sejak beberapa waktu lalu mulai menggelitiknya. Namun ... boleh kah untuk sekali ini saja ia serakah? Menerima tawaran itu tanpa peduli konsekuensinya?
"Oke, jam enam saya jemput."
***
Jagad mengernyit bingung dengan alamat yang Tata beri. Terutama saat ia benar-benar ada di gerbang hitam kawasan yang berbeda dari apa yang Jagad ingat mengenai rumah Tata. "Ini ... enggak salah, kan?" Segera Jagad lakukan panggilan telepon yang mana segera mendapat respon dari Tata.
Tak seberapa lama Jagad menunggu, wanita itu keluar diiring seorang pria berseragam petugas keamanan. Ada senyum renyah di wajahnya sebelum ia naik ke mobil Jagad. "Maaf tunggu lama."
"Enggak masalah, Ta." Jagad pun bersiap menyalakan mesin mobilnya. Tapi rasa penasarannya jauh lebih tinggi membuat ia bertanya sebelum mengemudikan SUV-nya ini. "Kamu ... pindah?"
"Iya, Pak."
"Sejak kapan?"
Tata mencoba mengingat kapan hari pertamanya tinggal di sini. "Sekitar dua minggu lalu." Ingatan itu juga membawanya pada satu serangkaian kejadian yang menciptakan senyum lebar di bibirnya. Ada rasa puas di hatinya. Sangat puas malahan.
Kala itu, berbekal informasi dari satpam sekitaran rumah Tata di mana Bhumi sedang perjalanan dinas ke luar kota, ia datang berkunjung ke rumahnya. Turun dari mobilnya dengan santai seolah tak ada yang perlu ia khawatirkan. Sesuai dengan anjuran Jenni, ia selalu didampingi seseorang. Kali ini, tiga orang bersamanya. Termasuk Ningrum tentu saja.
Karena ada sedikit keributan yang akan Tata ciptakan dengan kepulangannya ini.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Rieka begitu membuka pintu. Matanya sinis sekali menatap Tata yang malah memamerkan senyum lebarnya. Ingin sekali ia remas wajah mantan menantunya itu.
"Pulang. Ini masih rumahku kalau Ibu lupa," kata Tata dengan entengnya.
Rieka menggeram kesal. Dibiarkan Tata masuk ke dalam rumah meski agak heran dengan kehadiran orang-orang di belakangnya.
Sebelum langkah Tata menaiki anak tangga, ia pun berkata, "Rumah ini sudah dalam pengajuan sidang harta gono gini. Rumah dalam sengketa sampai ada putusan yang jelas, enggak boleh ditempati."
Rieka berdecih. "Apa maksudmu, Ta, Ta." Ia pun melipat tangannya di dada.
"Jelas, kan, Bu? Atau perlu pengacaraku bicara mengenai hukum yang berlaku?"
Wanita paruh baya itu tampak terbeliak.
"Bisa dijelaskan Mbak Ningrum? Siapa tau bu Rieka kurang paham mengenai rumah sengketa yang berkaitan dengan harta gono gini."
Lantas Ningrum dengan senang hati memaparkan duduk permasalahan yang ada. Termasuk status qou pada rumah yang kini ia pijaki ini. Di mana tak ada yang bisa menempati sampai jelas hasil persidangannya.
"Enggak bisa seperti itu!" sergah Rieka dengan nyalang. "Enak saja! Ini rumah Bhumi, anakku!"
"Pak Bhumi dalam hal ini mantan suami Bu Tata, yang mana tengah memperkarakan rumahnya sebagai harta yang didapat selama pernikahan. Mantan suaminya saja tak diperkenankan untuk menempati rumah ini sampai ada kejelasan status, apa lagi Ibu yang berstatus ibu dari Pak Bhumi. Bisa pahami kata-kata saya, kan?" tanya Ningrum dengan lugas.
"Saya enggak terima kalau harus keluar dari rumah ini!" seru Rieka lantang. Matanya mendelik tajam ke arah Ningrum juga Tata yang kini duduk santai di sofa tamu.
"Kalau Ibu enggak terima, enggak jadi masalah." Tata berdiri dengan segera. "Jangan salahkan dua orang ini yang akan menyeret Ibu keluar."
"Kamu ngusir saya?!" Rieka histeris. Tak peduli teriakannya nanti terdengar sampai ke luar, tapi sungguh, bicara dengan Tata membuat emosinya memuncak.
"Bukan mengusir, tapi memperjelas status kepemilikan rumah ini. yang mana enggak bisa ditempati siapa pun," kata tata penuh penekanan. "Sampai status rumah ini jelas."
"Kamu juga keluar dari rumah ini!" tuding Rieka persis di depan wajah Tata.
"Saya enggak perlu diminta keluar dari sini pasti keluar, kok, Bu," kata Tata kalem. "Bagi saya, rumah ini enggak lebih dari sekadar bangunan bernilai rupiah. Enggak ada nilai kenangan serta sejarah di dalamnya. Karena kenangan di dalam rumah ini adalah mimpi buruk untuk saya."
Tata menatap lekat mantan mertuanya itu. "Siapa yang mau tidur di atas kenangan buruk? Saya rasa enggak ada." Lalu ia pun melangkah menjauh. "Segera kemasi, Bu. Jangan sampai dua orang berseragam hitam itu yang merapikan barang-barang Ibu. Saya tunggu satu jam agar Ibu keluar dari sini."
"Kurang ajar kamu, Ta!" Rieka hampir saja menampar wanita itu namun gerakannya dibaca dengan cepat oleh Tata.
"Saya masih memiliki toleransi, Bu. Hargai apa yang memang harusnya dipatuhi, Bu. Jangan lupa, ada pengacara aku yang bisa menuntut Ibu kapan pun kalau Ibu melanggar batas. Termasuk kekerasan fisik terhadap saya." Tata menepis tangan Rieka dengan agak kasar. "Saya tunggu satu jam dari sekarang."
Rumah yang ia bangun dengan harapan begitu tinggi ini pada akhirnya ia relakan. Tak masalah. Masih bisa ia bangun kembali sesuai dengan keinginannya. Tapi seperti tekadnya mengenai rumah ini, tak ada yang bisa memilikinya. Satu pun.
"Ta?" panggil Jagad dengan terheran. "Kamu melamun? Sejak tadi saya ajak bicara tapi kamu enggak merespon?"
Gelembung ingatan itu pecah begitu saja. Tata berdeham sekilas lalu tersenyum tipis. "Maaf, Pak. Saya ingat project di Samarinda." Ia berharap Jagad tak lagi bertanya mengenai fokusnya yang mendadak terbang.
"Oh, Danacom itu?"
"Iya, Pak." Segera tata buka lembar kerjanya pada tablet yang selalu ada di dalam tasnya. "Di email Pak Jimmy minta kita untuk konsent ke sana dulu. Selain nilai proyek, sepertinya Pak Jimmy ini kenal dekat dengan pemilik Danacom."
Jagad terkekeh. "Danacom kalau saya enggak salah baca profilnya, keponakan Pak Jimmy."
"Ah, pantas saja." Tata tertawa.
"Kalau Pak Jimmy sudah mengeluarkan titah, sepertinya ke Samarinda menjadi perjalanan bisnis terakhir saya sama kamu, ya, Ta."
Wanita itu menoleh dan bertepatan juga Jagad menatapnya. Jikalau bukan bunyi klakson kendaraan lain, mungkin Jagad tak akan begitu saja melepaskan Tata dari matanya.
"Sepertinya begitu," kata Tata pelan.
Hening yang merambah di antara keduanya, hanya ditemani musik lembut yang terputar dari salah satu saluran radio yang Jagad putar. Tata memilih untuk menikmati kemacetan yang ada sementara Jagad berkonsentrasi meski sudah bercabang ke mana-mana.
"Ta," Jagad tak bisa lagi menahan diri. "Saya boleh bertanya?"
"Tanya? Tanya apa, Pak?"
"Apa suamimu enggak curiga saya jemput kamu pagi ini?"
Tata mengerjap pelan.
"Atau hari-hari sebelumnya. Kadang kita lembur dan saya antar kamu pulang. Makan siang pun saya tau frekuensi kita bersama jauh lebih sering dari biasanya. Terkadang ... ini saya bicara dengan kenyataan yang lagi saya hadapi, Ta." Jagad setengah frustrasi sebenarnya menghadapi ini. "Kadang kamu terima telepon saya di luar jam kantor, kan? Apa yang kita bicarakan? Jauh dari sekadar barometer pengerjaan project."
Melihat Tata yang terdiam, membuat Jagad benar-benar tak keruan rasanya. "Bisa jelaskan, Ta, kenapa kamu perbolehkan saya seperti ini?"
***
Gumush sama Bu Tata, ya? Tau enggak kenapa dia masih silent mengenai statusnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top