Keping 34

"Pacar Bapak malam ini cantik sekali," puji Tata dengan tulusnya. "Maafkan saya yang enggak tau kalau hari ini Echa ulang tahun. Tapi akan saya ingat-ingat karena bersamaan dengan ulang tahunnya Amel."

"Amel?" ulang Jagad.

"Keponakan saya," tukas Tata dengan senyumnya yang masih belum mau pergi. Bertemu Echa yang cantik berbalut dress berwarna putih, keceriaan yang tak mau pergi dari wajah sang bocah, menularinya. Apalagi saat mereka bertemu lagi, Echa memeluknya erat. Katanya, "Kangen, Tante. Pergi-pergi lagi kapan? Lihat pesawat?"

Itu belum seberapa dibanding tangannya yang digenggam erat Echa. Memaksa Tata untuk mengekori Jagad yang sudah memesan salah satu meja di sudut restoran. Menerima tatapan tajam dari Jenni namun lewat tatapan matanya juga, ia berjanji akan menjelaskan apa yang terjadi. Karena setelahnya, Tata ada di sini.

Duduk bersama Jagad dan Echa. Menikmati steak serta cupcake bermotif beruang bertopi merah kesukaan sang bocah yang berulang tahun.

"Hati-hati makan steaknya, Cha. Masih panas sepertinya." Tata juga tak segan membantu Echa makan meski ada Merry di sampingnya.

"Yang di meja tadi? Keluarga kamu?"

"Iya, Pak."

Jagad meringis. "Maafkan saya, kamu jadi meninggalkan keluarga kamu karena Echa."

"Enggak apa, Pak." Tata menggeleng dengan cepat. "Acara Amel diselenggarakan di sekolah tadi. Ini hanya makan malam biasa."

"Minum," pinta Echa. merry segera mengambilkan botol milik anak majikannya itu namun ditepis dengan cukup kuat oleh Echa.

"Kenapa?" tanya Merry heran.

"Minum sama Tante."

Tata yang duduk di samping Jagad pun dengan sigap menghampiri. Mengambil kembali botol yang tadi terjatuh, mengelapnya dengan tisu, dan memastikan tak ada kotoran yang menempel. Untungnya penutup botol belum sempat dibuka oleh Merry. Jadi masih aman dan bisa segera dikonsumsi Echa. "Tante suap mau? Echa baru makan sedikit."

Senyum Echa timbul lagi. Hal ini juga yang membuat Merry sedikit menggeser duduknya. Agak sungkan karena tugasnya tergantikan oleh Tata tapi sepertinya wanita cantik itu tak keberatan. Malah terlihat senang sekali bisa repot untuk Echa.

Hari ini, Echa bertambah usia. Lekat dalam ingatan Jagad bagaimana kelahirannya serta bola mata yang membuat hatinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Meski pada akhirnya ia tau, siapa Echa yang sebenarnya, tapi cinta itu tak mudah untuk disingkirkan. Malah Jagad jadikan pemicu agar ia berubah lebih baik lagi. Banyak doa yang hatur hari ini untuk sang putri, tak peduli apa yang ada di belakangnya, bagi Jagad ia hidup di hari ini.

Maka ... akan ia lakukan yang terbaik sekarang.

"Tapi saya enggak melihat suami kamu, Ta." Dalam jarak pandang Jagad, ia masih bisa memperhatikan meja yang ia rasa duduk keluarga Tata di sana. Bahkan sampai detik ini pun, Jagad masih belum melihat sosok yang pernah ia lihat di lobby kantornya kala itu. suami Tata. Dan sosok itu sama sekali tak ada di kerumunan itu.

Tata hanya tersenyum tipis. "Sibuk mungkin." Ia mengusap sudut bibir Echa yang berlumuran saus keju. "Makannya hati-hati, ya. Nanti selesai makan mau kenalan sama Kak Amel?"

Mata Echa menatap liar ke arah lain. Bola matanya tak lagi fokus pada Echa. Tangannya juga sibuk bergerak tak tentu di atas meja. Tata yang memperhatikannya jadi sedikit kebingungan.

"Sepertinya Echa belum nyaman, Ta," info Jagad.

"Astaga," desah Tata pelan. "Maafkan saya. Saya kurang paham mengenai hal itu, Pak."

Jagad memaklumi. Ia juga masih banyak belajar untuk mengimbangi Echa dan dunianya. Bukan hanya sekadar rasa sayang dan cinta tulus yang Echa butuh, juga orang lain yang memahami apa keinginannya meski tak terucap dengan kata. Kesulitan berkomunikasi memang banyak dialami anak berkebutuhan khusus seperti Echa. "Saya juga masih belajar untuk memahami Echa, kok."

"Saya berdoa semoga bertambahnya usia Echa hari ini, Echa diberkahi selalu oleh Tuhan. Dilindungi juga dari apa pun yang ingin berbuat jahat padanya. Dewasa kelak ia menyadari, Daddy-nya sayang sekali padanya."

"Aamiin," sahut Merry dengan senyum lebarnya.

"Terima kasih doanya, Ta." Untuk beberapa minggu penuh kesibukan serta tumpukan laporan, juga banyak cara untuk menghindari interaksi berlebih dengan Tata, kali ini, benar ... untuk kali ini saja biarkan Jagad menikmati kedekatan mereka. Selebihnya Jagad telah membuat keputusan.

Perasaannya yang timbul untuk Tata, mungkin hanya sebatas kagum. Yang mana telah ia telisik lebih jauh di mana muncul dua kemungkinan. Pertama, saking lama tak ada teman bicara dan bertemu Tata yang ternyata memang semenyenangkan itu. Kedua, tak ada sorot penghakiman serta kasihan dalam netra hitam milik Tata kala melihat Echa. Justru wanita itu mendekat, mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh putrinya.

Benar.

Jagad memastikan hal itu seratus persen benar.

Meski ia akui, sukar sekali ditepis.

"Ta, kamu belum jawab pertanyaan saya tadi."

"Pertanyaan?" tanya Tata dengan kerutan di dahinya. "Yang mana, Pak?"

"Suami kamu." Jagad tak peduli kalau malam ini ia keterlaluan. "Dia ... enggak ada di sini?"

Tata tertawa. "Saya sudah jawab, Pak. Mungkin dia sibuk."

Jagad mengangguk sekilas meski ada tanya di hatinya.

"Istri Bapak ... enggak ikut di perayaan ini?"

Ucapan ini membuat Jagad terperangah. Isi gelasnya untung belum ia sesap. Bisa jadi ia tersedak karena pertanyaan yang Tata lempar barusan. "Istri? Ibunya Echa maksudnya?"

Tata tak mengerti kenapa pertanyaan ini harus terlontar. Ada gelisah serta malu yang bisa Jagad tangkap dalam sorot mata wanita ini. Yang mana membuat Jagad akhirnya tertawa.

"Kalau saya memang memiliki istri, enggak mungkin kamu ada di sini, kan, Ta?"

Makin jadi Tata menunduk.

"Apa kamu enggak bisa memahami cerita saya saat itu, Ta?" Jagad sedikit menarik kursinya. Padahal ada Merry, tak seharusnya ia bicarakan hal yang menurutnya privasi seperti ini. Tapi Jagad langgar hal itu. Jangan tanya kenapa Jagad bersikeras sekali ingin menjelaskan. "Setelah apa yang Rahayu lakukan ke saya, apa logika saya sudah lumpuh untuk enggak bercerai dengannya, Ta? Apa lagi yang saya harap dari ibunya Echa?" Sebanyak apa pun kebencian Jagad pada Rahayu, ia tak bisa pungkiri, Echa lahir dari rahimnya.

"Saya enggak jadi soal andai ibunya Echa enggak meninggalkan kami di rumah sakit. Ah, jangan saya. Tapi Echa. Enggak ada ibu yang sejahat itu, Ta, dalam pemikiran saya. Tapi Rahayu lakukan itu. Echa enggak berdosa. Saya mungkin masih bisa memaafkan tingkah Rahayu, karena pada kenyataannya, saya pernah melakukan pengkhinatan, kan? Anggap saja, saya tengah membayar kontan karma atas perbuatan yang saya lakukan dulu."

Tata terdiam. Tangannya saling meremas satu sama lain di atas gaun yang ia kenakan malam ini.

"Tapi sayangnya, Rahayu pergi begitu saja. Jadi ... hal apa yang menahan saya untuk enggak bercerai darinya?"

"Maafkan pertanyaan saya, jadinya malah membahas masalah ini. Maaf kalau buat Bapak enggak nyaman," sesal Tata akhirnya.

"Enggak. Saya merasa ingin menjelaskan biar lebih clear sama kamu." Jagad terkekeh. "Jangan merasa sungkan, Ta. Tanyakan saja apa yang kamu ingin tau dari saya. Lagi pula masalah itu sudah berlalu lama."

Tak ada yang bicara setelahnya. Tata memilih sibuk membantu Echa makan. Jagad sendiri sesekali melirik ke arah Tata yang tampak menghindari tatapannya. Apa, sih, yang ia harap? Sadar dirimu, Jagad! Yang bisa ia lakukan sekarang hanya mendesah pelan.

"Oiya, Ta, urusan kamu dengan notaris sudah selesai?"

Tata angkat pandangannya dari piring makan Echa. Notaris? Ada urusan apa ia dengan notaris? Namun mendadak kesadaran lain menghantamnya cepat. Ia sedikit mengarang alasan cutinya. Tak ingin banyak pertanyaan mengenai perceraiannya. Jadilah alasan ke notaris sebagai jalan tengah. "Sudah, Pak."

"Syukur lah kalau begitu. Saya sudah mulai bisa bersiap untuk serah terima jabatan, Ta."

Tata termangu. "Bapak ... serius mau resign."

"Ya," sahut Jagad dengan tegasnya. "Kenapa memangnya, Ta?"

Wanita itu membungkam bibirnya. Membuat Jagad merasa kecewa. "Saya yakin kamu bisa melakukan tanggung jawab baru, Ta."

Ingin rasanya Tata bersuara tapi ... keberaniannya hanya sebesar debu yang tak terlihat sama sekali. Yang bisa ia ucap hanya," Semoga saja, Pak."

"Oiya, Ta, sepertinya keluarga kamu menyudahi sesi makan malamnya."

Ucapan itu membuat Tata menoleh. Bertepatan dengan Jenni yang datang menghampirinya. Hal itu juga membuat Tata sontak berdiri. "Kamu sudah mau pulang?"

"Iya. Amel ngantuk." Jenni bawakan tas Tata. Ia juga tersenyum tipis kala bersitatap dengan Jagad. Tadi, Tata sempat memperkenalkan pria ini padanya. Namun tak bisa bicara banyak karena anak yang ada di samping Tata ini sudah merengek. "Kamu ... bisa pulang bersama kami, Ta?"

Tata tampak bingung.

"Echa," Jagad mengerti situasi yang dihadapi sekarang. "Tante Tata mau pulang, ya. Echa sama Daddy dan Mbak Merry?"

Echa sontak menatap Tata dengan sorot sendu. Tak butuh waktu lama tantrum Echa muncul. Tangisnya nyaring terdengar. Membuat Tata sigap menggendongnya. Jagad segera menghampiri tapi sepertinya Tata tau apa yang harus dilakukan.

"Enggak, Tante enggak pergi. Tante sama Echa, ya."

Masih juga tangis itu terdengar.

"Duh, aku jadi buat gadis cantik ini menangis, ya. Maafin Tante, ya. Tante enggak rebut Tante Tata, deh," gurau Jenni.

"Kamu duluan saja, Jen. Nanti aku naik taksi pulangnya. Tunggu tangis Echa reda dulu."

Jenni mengangguk paham. "Pulang ke rumahku, kan?"

Tata hanya mengangguk.

"Jangan pernah pulang ke rumahmu sendirian. Minimal bersama Rakha atau aku, Ta. Kita enggak tau apa yang akan mereka lakukan setelah tau hasil kemarin. Apalagi sekarang kamu enggak main-main menekan mereka."

Tata menggeram pelan. Matanya mendelik tak terima dengan ucapan Jenni barusan tapi yang ditatap hanya menatapnya dengan bingung.

"Aku salah bicara memangnya?"

Tak sadar kah Jenni, kalau ucapannya barusan menimbulkan tanya paling besar dalam benak Jagad. Ekspresi Tata juga menyiratkan telah terjadi sesuatu, tapi apa? 



***

Sudah follow akun aku belum ya, kak? yang belum jangan lupa di follow, ya. Terima kasihh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top