Keping 33
***
"Ta, kamu tau gosip terbaru?"
Tata mengangkat mata dari sajian di depannya. "Gosip apa? Aku kayaknya ketinggalan banyak," ia tanggapi disertai ringisan pelan. Hal ini membuat Yessi dan Peoni berdecak.
"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini. Banyak proyek, sih, ya."
"Yah ... begitu lah." Tata menyuap supnya.
"Gosip kalau Pak Jagad mau resign," kata Yessi dengan nada sedih. "Aku beneran, lho, kehilangan."
Tata terdiam.
"Kamu yakin enggak tau hal ini, Ta?" tanya Yessi agak mendesak.
Yang ditanya bingung harus merespon bagaimana. Kabar itu tersebar cepat sekali. Gosip di lingkungan perkantoran memang sama berbahayanya dengan komplek perumahan. Dipicu sedikit, bisa meledakkan satu wilayah.
"Enggak mungkin Tata enggak tau, Yes," timpal Peoni.
"Iya, sih." Bahu Yessy terkulai lemah. "Yah ... enggak ada objek cuci mata lagi dong."
Tata tersenyum saja. Kembali menikmati santapan makan siangnya kali ini. Sesekali kalau ia tak terlalu dijepit banyak laporan progress untuk klien, ia memilih makan di luar ruangannya. Sekalian menghirup udara luar yang sedikit bisa membuatnya rileks. Seperti siang ini; makan siang bersama Yessy dan Peoni.
"Kerja di mana Pak Bos nantinya, Ta?" tanya Peoni lebih lanjut. Di sampingnya, Yessy tampak terpukul dengan gosip yang akhirnya terkonfirmasi kebenarannya itu.
"Aku, sih, enggak tau di perusahaan apa. Bapak enggak bilang."
Peoni mengangguk paham. "Aku yakin kalau sekelas Pak Jagad pastinya dapat penawaran yang lebih dari sekarang. Aku dengar juga, ditawari naik gaji pun Pak Jagad menolak. Maunya resign. Jadi apa dong? Pasti tawaran di sana jauh lebih tinggi, kan?"
Asumsi Peoni masuk akal tapi Tata tak terlalu memusingkannya. Yang ia tekankan justru penolakan Jagad mengenai kenaikan gaji. Artinya ... sang bos memang ingin pergi dari ShopaShop, kan?
"Pengin susul Pak Jagad kerja di mana," keluh Yessy. "Jadi enggak nafsu makan."
Peoni tergelak. "Astaga, Yes. Kamu benar-benar suka sama Pak Jagad."
Yessy nyengir mendadak. "Enggak, kok. Cuma kagum aja sama tampangnya yang ganteng. Itu saja."
"Kirain." Peoni tertawa. "Ingat, lho, Pak Jagad itu duda anak satu. Kamu sanggup dengan keadaannya seperti itu kalau perasaan kamu beneran."
Makin lebar lah cengiran Yessy. "Oni enggak bisa diajak bercanda. Aku hanya sebatas itu aja, kok, sama Pak Jagad."
"Ehm ... bicara tentang duda, apa memang benar Pak Jagad duda?"
Pertanyaan Tata barusan segera saja mendapatkan tatapan heran baik dari Yessy juga Peoni. "Kenapa tanya ke kita? Enggak tanya langsung ke Pak Jagad, Ta?"
"Iya, ih," tukas Yessy. "Tanya aja langsung kalau enggak percaya. Kamu, kan, wakilnya. Berapa lama kerja sama beliau, Ta? Masa enggak tau sedikit tentang kehidupan pribadinya?"
Tata meringis jadinya. "Untuk urusan seperti itu aku merasa enggak sopan bertanya, Yess."
"Setau aku, sih, Bapak memang duda. Aku pernah curi lihat data pribadinya di admin HRD. Sebelumnya menikah dengan siapa, ya," Yessy mencoba mengingat mengenai hal ini. Lalu ia menjentikkan jemarinya disertai senyum lebar. "Rahayu Anggraeni atau Rahayu Dwiariani gitu, lah. Tapi enggak lama mereka bercerai. Posisinya juga Pak Jagad sudah bekerja di sini. Awalnya enggak banyak yang tau tapi ada satu kejadian yang cukup heboh, ya, Ni," jeda Yessy.
"Iya. heboh itu. kamu memangnya enggak ingat, Ta?"
Tata menggeleng. "Seputaran gosip kantor sepertinya aku enggak terlalu ikuti."
Yessy berdecak. "Kamu, sih, keseringan pulang ontime, jarang kumpul sama teman lainnya, belum lagi sibuk sama keluargamu."
Astaga. Tata jadi mengingat tahun-tahun di mana ia merasa dibutuhkan tapi ternyata ada yang tertinggal dalam hidupnya. Bagian dari dirinya selama di kantor. Ia ... kurang bersosialisasi dengan kehidupan di mana lebih banyak dihabiskan di sana. Tata memang dibutuhkan oleh keluarga, lebih tepatnya keluarga Bhumi. Dibutuhkan keuangannya, bukan personalitynya.
"Saat itu mantan istrinya datang, mencak-mencak, dan meneriaki tentang anaknya gitu. Karena itu juga, sebagian gosip beredar kalau anaknya Pak Jagad berkebutuhan khusus. Dan karena itu juga Pak Jagad ditinggalkan istrinya," papar Peoni.
"Itu lah yang bikin aku kagum sama Pak Jagad. Sudah dudanya ganteng, ditinggalin anak yang butuh perawatan ektra. Jarang-jarang lho ada ayah yang sabar gitu."
Mendengar ucapan Yessy, membuat Peoni berdecak. "Kamu itu, naksir beneran baru tau rasa, lho. Pak Jagad enggak terjangkau. Mending kamu tanggapi lirikan Sudar aja sanah."
"Ih!" Yessy bergidik. "Kenapa jadi Sudar?"
Mereka berdua saling melempar ejekan tapi disertai tawa riang. Mengabaikan Tata yang mendadak terdiam. Kalau begitu ucapan Rahayu tempo hari padanya ...
***
Di dalam restoran steak yang cukup terkenal di daerah Kemang, Tata duduk di salah satu sudut bersama keluarga Jenni. Hari ini Amel ulang tahun. Perayaannnya sudah dilaksanakan di sekolah tadi pagi. Info Jenni seperti itu. Kali ini, sengaja Jenni buat acara khusus makan malam bersama.
"Jadi ... kamu resmi menyandang status janda, Ta?" seloroh Rakha sembari memotong steak bagian Amel.
"Janda itu apa, Pa?" celetuk Amel tiba-tiba. Hal ini membuat Jenni mendelik kesal pada suaminya.
"Papa kebiasaan," sahut Jenni. "Bukan apa-apa, Sayang." Ia pun memanggil pengasuh Amel yang turut serta. "Makan sama Mbak Jiah, ya?"
"Oke, Mi." Amel tersenyum lebar. "Terima kasih Papa sudah dibantu potong dagingnya."
Ah ... interaksi yang manis sekali di antara keluarga kecil ini. Jujur, Tata iri. Tapi untuk menggapai kebahagiaan seperti ini, butuh kerja sama yang baik, kan? Tidak timpang sebelah di mana salah satunya lebih banyak mengalah sementara satunya mendominasi kuat, kan?
"Maaf, Mi, tadi keceplosan," ujar Rakha dengan kekehan. "Tapi saya serius, sih, aku senang kamu ambil jalan itu, Ta. Meski, yah ... kesannya saya dukung banget perceraian kamu tapi dengar kisah hidup kamu seperti itu, saya lebih dukung kamu sendiri tanpa suami," papar Rakha panjang lebar. Jarang sekali interaksi Tata dengan Rakha jikalau ia tengah menginap di rumah Jenni. Selain karena kesibukan pria itu, Tata juga sungkan untuk banyak bicara dengannya.
Baginya, cukup bicara dengan Jenni saja.
"Semoga keputusanku ini enggak salah," sahut Tata dengan senyum tipis.
"Kamu menyesal memangnya?" todong Jenni sedikit mendesak.
"Enggak, sih," Tata langsung menggeleng. "Kalau menyesal, sejak aku pegang akta cerai beberapa waktu lalu, mungkin mataku bengkak karena menangis terus-terusan, Jen, Jen."
Mereka akhirnya tertawa.
"Kudoakan kamu selalu bahagia, Ta," kata Jenni dengan tulusnya. "Bahagia itu diri sendiri yang cari. Bedakan antara bahagia dengan terpaksa bahagia, Ta."
"Pesanku, sih, simple Ta," Rakha sembari merangkul istrinya mesra. Terbiasa melihat kemesraan Jenni juga Rakha, membuat Tata hanya terkekeh saja. "Sembuhkan hatimu dulu dari hal-hal yang pernah melukai selama ini, Ta. Jangan sampai masih tersisa trauma, tapi kamu sudah keburu jatuh cinta."
"Jatuh cinta dari mana? Ngawur kamu, Rakha," gelak Tata.
"Hei ... jatuh cinta itu enggak tau kapan datangnya, lho. Bisa jadi malam ini?" Rakha tertawa namun meringis karena dihujani cubitan kecil di perutnya dari sang istri.
"Jangan meledek Tata terus. Biarin dia menikmati kesendiriannya dulu. Jatuh cinta itu gampang, memelihara cinta itu yang susah."
Senda gurau yang tercipta dalam makan malam kali ini sungguh membuat hati Tata terasa lebih ringan. Seharusnya ini perayaan untuk Amel, kan? Kenapa justru terlihat seperti diperuntuk Tata?
"Aku ke toilet dulu, deh. Capek tertawa bersama kalian," kata Tata. Belum juga langkahnya menjauh, ia mendadak berhenti. Lebih tepatnya terhenti begitu saja. "Bapak?"
"Lho, Ta? Kamu di sini?" Jagad agak terkejut tapi kemudian senyumnya terkembang lebar.
"Iya, Pak."
"Wah, kebetulan kalau begitu. Ini restoran kesukaan pacar saya." Entah kenapa Jagad justru mengatakan hal tak penting seperti ini.
Tata mengernyit. "Pacar?"
"Iya, pacar saya." Jagad tertawa. "Kalau weekend kadang kami habiskan waktu berdua di sini."
Entah Tata harus berekspresi seperti apa kali ini.
"Mau kenalan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top