Keping 32

Sengaja Jagad memperbanyak pekerjaannya akhir-akhir ini. Pikirannya jadi sibuk, tak melulu tertuju pada satu sosok. Meski masih bisa ia perhatikan dari balik ruangannya, tapi setidaknya keputusan membuat jarak selebar mungkin adalah yang terbaik. Jangan sampai apa yang ada di kepalanya mulai merambah ke hati dan membuatnya ingin menguasai. Sementara Tata jenis wanita terlarang untuknya.

Kendati demikian, ada satu titik di mana pikiran Jagad memang hanya penuh sosok Tata. Tidak. Tata tak merayunya seperti Rahayu dulu yang membuatnya berpaling. Hanya sekadar suara Tata yang bicara mengenai proyek disertai pendapatnya yang cukup logis. Cara serta gayanya bersikap selama Jagad mengenalnya. Atau pujian yang terlontar hanya karena Jagad bersikap lembut pada Echa. Tak jarang juga, obrolan di tepi pantai di Bali sering seliweran tanpa komando dalam benak Jagad.

Itu lah kenapa, sekali lagi Jagad menarik laci kerjanya. Sebuah surat bercop resmi salah satu perusahaan bonafit di Jakarta serta email penyertanya, kembali ia pertimbangkan. Nama Jagad Adi Bahayangkara mendapatkan penawaran serta diminta untuk mempertimbangkan posisi Area Manager di sana. Masalah gaji serta pendapatan lainnya, Jagad masih bisa bernegosiasi asalkan ia mau menerima tawaran tersebut. Hanya saja titik berat yang tengah Jagad garis bawahi; kantornya berpusat di Kuala Lumpur.

Ia menghela panjang. Jagad mneyukai ShopaShop, hampir seluruh divisi yang ada ia kenali para staffnya, Suasana kerjanya juga mendukung. Walau ada minus di beberapa titik, namanya pekerjaan tak selamanya indah dan nyaman. Pasti akan ditemui kendala untuk bisa memacu diri bertumbuh lebih baik lagi. Tapi kalau satu-satunya cara agar Jagad lupa sosok Tata, rasanya penawaran ini patut dipertimbangkan.

Jagad akui dengan hatinya yang terdalam; sukar sekali ditepis pemikirannya mengenai sosok Tata.

"Masuk," katanya begitu mendengar pintu diketuk.

"Pak," sapa Sudar dengan cengiran. "Pihak Jiayi suka dengan proposal yang kita ajukan."

Senyum Jagad terkembang lebar. "Bagus lah kalau begitu."

"Tim Ridwan juga progressnya oke banget, Pak." Sudar meletakkan berkas laporan yang baru selesai ia kerjakan.

"Di bawah bimbingan Bu Tata pasti hasilnya enggak kalah oke."

Sudar mengangguk paham. "Saya permisi dulu kalau begitu, Pak."

Jagad tak menghentikan langkah Sudar meninggalkan ruangannya, namun sebelum langkah pria itu benar-benar menghilang dari balik pintu, Jagad memanggilnya. "Sudar,"

"Ya, Pak?'

"Tolong panggil Bu Tata."

"Baik, Pak."

Tak butuh waktu lama, sosok itu pun melangkah mendekatinya. Satu hal yang selalu Jagad nanti kala mata mereka bertemu di udara; senyum Tata yang tak pernah tertinggal barang sejenak. dan ia sangat menikmati senyum itu.

"Siang, Pak. Saya belum selesai membuat laporan akhir proyek Acame, Pak. apa mau didiskusikan sekarang?"

"Enggak, Ta," Jagad terkekeh. "Duduk dulu. Saya mau bicara."

Tata mengangguk sekilas dan menuruti pinta sang bos. Meski begitu, ada rasa khawatir sedikit kala ia memperhatikan sosok Jagad. Entah karena kesibukan mereka atau memang ada yang berbeda dari sepenglihatan Tata kali ini. Jagad tampak lebih kurus dari terakhir kali mereka bicara. Apa ... Jagad sakit?

"Bicara apa, Pak?"

"Sepanjang saya bekerja dengan kamu, progress kamu itu paling menonjol di antara yang lain. Makanya posisi wakil manager bisa kamu dapatkan dengan mudahnya. Bukan karena lamanya kamu bekerja di sini, tapi kapasitas kamu sebagai seorang wakil manager memang mumpuni."

Tata tak mengerti maksud ucapan Jagad kali ini namun ia memilih merapatkan bibir.

"Nama kamu saya jadikan kandidat kuat untuk menggantikan posisi saya nantinya, Ta."

"Saya enggak paham maksud pembicaraan ini, Pak."

"Sudah waktunya kamu naik promosi, kan? Berapa lama kamu jadi wakil saya? Tiga tahun, kan? Sudah banyak yang kamu kerjakan dan rata-rata goals semua. Management suka dengan minerja kamu."

"Itu pun di bawah bimbingan Bapak. Seharusnya pujian itu terarah ke Bapak, bukan saya."

"Tapi kamu juga pantas menerimanya, Ta."

Tata menghela pelan. "Lepas dari semua ini, saya enggak paham arah bicara Bapak."

"Kamu dapat promosi. Masa enggak paham, Ta?" Jagad terkekeh.

"Andai pun benar, lantas ke mana si pemilik ruangan ini sebelumnya akan bertempat?"

Jagad tertawa. "Astaga, Ta. Saya ada di sini, kok." Tidak. Belum saatnya Jagad bicara mengenai surat penawaran itu meski keinginannya besar sekali. Satu hal yang ingin Jagad tau, ekspresi Tata setelah mengetahui keputusan Jagad pergi dari kantor ini. Ah ... gilanya Jagad. Pasti Tata bersikap biasa saja. Memangnya, siapa Jagad untuk hidup Tata?

Hany sebatas bos belaka, kan?

"Menggantikan posisi siapa?"

Pria itu tersenyum lebar. "Pak Jimmy mungkin?"

"Jokesnya bisa lebih ngawur lagi? Gantikan Pak Nabetoshi?"

Nama yang Tata sebut adalah owner ShopaShop yang sering berkantor di sini. Mendengar nama itu diucap demikian enteng, Jagad tak bisa menahan laju tawanya.

"Kamu menghibur sekali, Ta, Ta. Kalau saya ownernya, kamu co-owner berarti."

Tata pun ikut larut dalam gelak yang Jagad ciptakan. "Saya boleh pilih nama perusahaannya, Pak, kalau itu terealisasi?"

Padahal hanya seperti itu interaksi di antara mereka, tapi Jagad tau, betapa menyenangkan bicara dengan Tata. Bodohnya Jagad baru menyadari dalam kurun waktu dekat ini. Tidak. Ia tak boleh memiliki perasaan seperti ini. Jagad sadar, akan ada hati yang porak poranda jikalau rasa ini ia paksa. Dirinya juga takut, cinta yang kali ini singgah di hatinya, ia tak bisa bangkit lagi.

Tata ... terlarang untuknya.

Sangat terlarang.

Tata bersuami. Jagad tau hal itu dengan jelas.

***

Satu demi satu kata yang tertuang di selembaran yang baru saja ia dapatkan, membuat Tata hapal pada akhirnya. Setelah melewatkan serangkaian drama yang menurutnya terbilang aib, sekarang segalanya jelas.

"Apa ... Bu Tata menyesal?" tanya Ningrum hati-hati. Saat ia bawakan akta cerai milik sang klien, ekspresi yang ditampilkan hanya terdiam. Sampai sekarang. mungkin sudah berlalu lima atau sepuluh menit sejak ia sodorkan selembaran berkop pengadilan agama ini.

"Saya? Menyesal?" tanya Tata dengan kerjapan heran. Lantas wanita itu pun tertawa. "Enggak, Mbak Ning. Enggak ada rasa sesal di hati saya atas apa yang terjadi ini."

Tata hanya tak menyangka, pada akhirnya akta seperti ini ia miliki. ia pikir, akan sangat mengerikan menggenggam dan menjalani hidup beriring dengan surat tersebut. Namun pada akhirnya Tata menyadari, hidup sebelumnya jauh lebih menyedihkan ketimbang ia memiliki akta cerai.

Ningrum tak berhak banyak bicara. Beberapa klien yang pernah ia tangani dengan kasus yang serupa dengan Tata, kebanyakan mereka merasa bahagia lepas dari pernikahan toxic yang pernah mereka alami ini. Mungkin di waktu ini, Tata tengah berpikir mengenai rencana apa yang akan ia lanjutkan untuk hidup.

"Setelah selesai masa tunggu, Mbak Ningrum segera buatkan gugatan mengenai harta gono gini. Berkas saya sudah lengkap, kan?"

"Sudah, Bu." Ningrum menatap Tata lekat. "Tapi seperti yang pernah saya katakan, kemungkinan rumah itu dibagi dengan porsi yang sama antara Ibu dan mantan suami."

Tata tersenyum tipis. "Enggak jadi masalah. Tujuan saya bukan sekadar rumah itu dibagi dua dalam hukum dan putusan yang jelas. Saya enggak mau rumah itu ditempati keluarga mantan suami saya."

"Baik, Bu."

"Saya engak sudi mereka tinggal di rumah itu. saya enggak bisa memiliki utuh, sama seperti mereka. enggak akan bisa menikmati dengan seenaknya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top