Keping 30


***

Bhumi mengetuk pelan mejanya menggunakan ujung pulpen. Balon percakapannya dengan Tata masih memenuhi ponselnya. Satu pun tak ada balas dari wanita yang masih bergelar istrinya itu. Rasa geramnya memuncak seiring berjalannya waktu namun ia terlalu angkuh sekadar untuk bertemu. Tujuannya hanya ingin menanyakan mengenai sertifikat rumah mereka. Tapi kalau dipikir-pikir, ia yakin kalau putusan pengadilan pasti memihak padanya.

Ia utarakan bahwa, Semesta Lathika tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri. Pembangkang. Tak mematuhi apa yang ia perintah padahal bukan hal yang merugikan dan masih dalam koridor agama. Dua kali mediasi berjalan, dua kali juga Tata tak datang. Bagi Bhumi, tak ada hambatan berarti selama proses mediasi berlangsung. Semakin memperbesar keyakinannya kalau proses ini lebih banyak berpihak padanya.

Bibirnya menarik satu garis lengkung yang teramat tipis. "Jangan harap kamu bisa mendapatkan rumah itu, Ta." Tangannya pun terkepal pelan. "Kamu pasti menyesal nantinya."

"Sudah dari tadi, Mas?"

Bhumi sedikit berjengit. Segera ia tarik ponsel yang ada di atas meja. Menyembunyikannya secepat mungkin lengkap dengan menghias wajahnya dengan senyuman lebar. "Baru, kok." Diulurkan tangannya untuk menggenggam sang wanita. "Kenapa enggak ngabarin Mas kalau sudah ada di lobby? Bisa Mas jemput."

"Alah." Ratih tersipu. "Jalan dari lobby sampai ke sini enggak butuh waktu lama, Mas." Tangan yang masih saling tergenggam itu makin ia pererat. "Kangen," katanya penuh manja.

"Mas juga." Diusapnya pelan helaian rambut sang wanita. Matanya juga menatap penuh kagum karena baginya, ia lah yang paling cantik dalam hidupnya. "Gimana pekerjaan kamu? Lancar?"

Ratih, wanita itu menghela panjang. "Jangan bicara kerjaan, Mas. Capek banget aku ngurus masalah di Medan. Semuanya jadi kena audit."

Kening Bhumi berkerut. "Enggak bahaya?"

Senyum Ratih segera terbit. "Tenang saja. Aku biasa tangani itu, kok."

Bhumi mengangguk paham. "Mau makan apa?" Menu yang ada di dekatnya pun ia sodorkan pada sang wanita.

"Apa, ya? Mas sendiri maunya makan apa?"

Seringai Bhumi muncul. Sedikit mencondongkan diri pada sang wanita lalu berbisik lembut. "Mau kamu, boleh?"

Ratih tergelak. "Bisa aja, Mas."

"Kenapa memangnya?"

Ratih sengaja memainkan ujung tambutnya yang dibuat bergelombang kecil. Sudut bibirnya juga ia gigit pelan. Menggoda Bhumi seperti yang sering ia lakukan. "Sekarang?"

"Kamu pesankan hotel yang terdekat dari sini saja. Tapi sebelumnya, kita makan dulu, ya. Makan kamu butuh makanan yang lainnya."

Ratih menderaikan tawa. "Tapi kali ini jangan terlalu keras-keras, ya." Ia pun merengut kecil. "Nanti yang di dalam kesakitan."

Bhumi semakin mendekat dan mengusap perut Ratih yang masih terasa rata. "Iya. kali ini aku pelan-pelan. kemarin aku enggak tau kalau ada calon anakku di sini." Diambilnya lagi tangan Ratih, digenggam, dan lantas ia kecupi penuh sayang. "Pasti Ibu senang banget kalau tau kamu hamil. Ra."

"Masa, sih?" Sebenarnya Ratih agak khawatir juga, tapi kehadiran janin yang baru ia ketahui berusia empat minggu ini adalah pengikat tak kasat mata dalam hubungannya dengan Bhumi. Selesai perceraian pria yang masih memberi sentuhan di perutnya ini, ia pastikan kalau dirinya lah istri dari Bhumi Kaspia.

Bukan lagi Tata.

"Aku justru takut Ibu marah nantinya, Mas," kata Ratih dengan sendunya. Matanya juga sengaja dibuat memelas.

"Enggak, lah." Bhumi menegakkan punggung. "Ibu pengin banget punya cucu. Kamu tenang saja, ya."

Senyum Ratih perlahan terbit.

"Kita makan dulu." Diusapnya puncak kepala Ratih. "Jangan lupa pesankan hotel untuk kita. Aku serius enggak bisa nahan diri kalau di dekat kamu."

Makin busung lah dada Ratih mendengar ucapan Bhumi. Tak ia pedulikan caranya mendapatkan sang pria. Bagi Ratih, Bhumi adalah porosnya.

Tak lama berselang, makan siang yang terlambat ini mereka iring juga dengan banyak obrolan yang cukup menyenangkan. Gurauan ringan serta tawa juga turut serta di sana. Seolah memperkuat kalau hubungan mereka kekal abadi selamanya. Mereka lupa, meski terkesan mengabaikan, tapi ada hati yang sama sekali tak ikhlas diduakan.

***

Satu notifikasi masuk di ponsel Tata. Jadwal mediasi ketiganya sudah keluar. Senyumnya tanpa sadar tercipta meski tipis sekali. Ia tak peduli mengenai mediasi. Ia hanya perlu menunggu waktu persidangan dimulai terutama sidang pembuktian. Bukti mengenai rumah, bagaimana perlakuan mertua serta adik iparnya, tekanan yang ia peroleh dari mereka berdua, sudah ia kumpulkan. Membantah dalil porsita yang Bhumi katakan pada majelis hakim.

Aku kuat. Katanya dalam hati. Ditepuknya pelan kedua pipi dan berusaha untuk mengumpulkan fokusnya kembali. ia harus bekerja seperti biasanya. Meski beberapa hari belakangan ini, banyak hal yang mengganjal terutama sikap Jagad.

"Minggu depan proyek Acame running, Pak," info Tata begitu diperbolehkan masuk ke ruangan Jagad. Di mana sang bos sama sekali tak mengangkat wajahnya barang sejenak dari tumpukan berkas yang tengah ditelitinya itu. tak jadi soal sebenarnya bagi Tata, hanya saja, terbiasa mendapatkan atensi Jagad beberapa waktu lalu membuatnya sedikit merasa bersalah.

Ia yakin, ucapannya kemarin menyinggung Jagad. Tapi dirinya memang butuh mengatakan hal itu. Jangan sampai semuanya berlarut dan memperuncing masalah yang masing-masing mereka genggam.

Respon Jagad hanya, "Oke."

Yang mana membuat Tata menghela pelan.

"Saya bisa bahas mengenai diskusi dengan Pak Leo dari Jiayi?" tanya Tata karena sungguh, Jagad mengabaikannya.

"Silakan." Tak sampai sepersekian detik mata mereka bertemu. Lantas kembali Jagad melanjutkan pekerjaannya. "Saya dengarkan Bu Tata bicara."

Atas nama professional, Tata menjelaskan dan memberikan pandangannya terkait telepon Leo dari pihak Jiayi. Juga beberapa rancangan yang diminta dan perlu penyesuaian karena ShopaShop sendiri punya dasar sebagai acuan untuk promosi masing-masing brand. Yang membedakan hanya harga serta kelas yang mereka ambil.

"Menurut saya itu sudah bagus." Jagad beri respon secukupnya. "Untuk selanjutnya proyek ini kamu serahkan saja ke Sudar."

"Ya, Pak?" Kening Tata jadi berkerut.

"Untuk brand under Jiayi ini, sepetinya disasar bukan untuk menyaingi produk yang baru meluncur. Tapi mengimbangi pangsa pasar lainnya. Dan untuk deal dengan pihak mereka nantinya akan banyak meeting di luar, Ta."

"Ya, saya tau," tukas Tata cepat. "Hubungannya dengan Sudar?"

Jagad hanya memberi senyum tipis saja. "Itu keputusan saya, Bu Tata."

Jelas ucapan barusan membuat Tata geram dan merasa Jagad ini memang mengaitkan apa yang terjadi di antara mereka, dengan pekerjaan yang ada. "Apa Bapak tersinggung karena ucapan saya tempo hari?" tanya Tata tanpa basa basi lagi.

Agak lama Jagad tak jua menjawab pertanyaan Tata. Namun matanya lekat sekali membalas sorot tajam yang Tata berikan padanya. Tak tau kah Tata, betapa frustrasinya Jagad karena hal ini? Pria itu memilih memijat pelipisnya pelan. "Saya hanya ingin memberikan kamu jarak yang pantas, Ta. Jangan sampai kamu terus menerus berpikir aneh terhadap saya padahal enggak ada sedikit pun niat saya berbuat buruk ke kamu."

Meski masih menyimpan sedikit kekesalan, tapi melihat Jagad yang tampak berbeda dari sebelumnya, Tata merasa dirinya agak keterlaluan. "Maafkan saya, Pak."

"Enggak, Ta." Jagad sedikit mendorong kursinya. Bergerak perlahan sampai tepat berdiri di ujung meja kerjanya. Tak berani melangkah lebih jauh. Cukup pada jarak ini saja. "Ucapan kamu juga membuat saya sadar, enggak seharusnya saya seperti itu. Maaf kalau kamu enggak nyaman."

Hening menjadi peneman di antara mereka karena sepertinya, mereka berdua belum ingin bicara satu sama lain. Lebih memilih meresapi apa yang terjadi.

"Untuk proyek kali ini, biar saya sama Sudar saja. Kamu kerjakan proyek yang ditangani Ridwan. Sudah berjalan hampir enam puluh persen, kan?"

"Iya, Pak."

"Jangan tersinggung, Ta." Jagad memberanikan diri melangkah meski hanya satu. "Saya senang meeting di luar bersama kamu, terkadang bicara banyak hal dengan kamu, juga dua kali dinas yang menurut saya cukup menyenangkan."

Tata tak berani mengangkat matanya. Karena ia tau, langkah sang bos benar-benar ada di dekatnya. Ujung sepatu Jagad pun bisa ia lihat dari tunduknya ini.

"Saya yang takut melanggar lebih jauh batasannya. Saya bukan orang hebat yang bisa menahan diri." Tangan Jagad terkepal kuat. "Terima kasih sudah ingatkan saya kemarin." Jagad pun berlalu. Meninggalkan Tata yang terpaku di tempat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top