Keping. 27


Tata sedikit mendorong punggung Jagad. "Pak, please ... kalau Bapak enggak berangkat sekarang, nantinya terlambat tiba di grand opening. ShopaShop ada di bahu Bapak, lho."

"Tapi, Ta," Jagad sedikit berkelit. "Saya benar-benar enggak enak sama kamu."

"Kenapa mesti enggak enak?" Tata berdecak. "Sudah, lebih baik Bapak bergegas. Biar Echa sama saya. Toh ada Merry."

Jagad sekali lagi menghela panjang. Matanya tertumbuk pada sang putri yang terbaring memeluk Holy; boneka beruang bertopi merah kesayangannya. Di keningnya ada sebuah plester penurun panas. Sejak jam dua dinihari, suhu tubuh Echa mulai tinggi. Membuat Merry khawatir sampai memberanikan diri mengetuk pintu kamar Jagad. Akhirnya mereka berdua tak bisa kembali terpejam lantaran kondisi Echa.

Sementara hari ini dijadwalkan, Jagad serta Tata harus menghadiri grand opening Jiayi di salah satu mall di Denpasar.

"Kabari saya segera kalau ada apa-apa."

"Iya, Pak."

"Merry, jangan terlalu banyak merepotkan Bu Tata," pesannya pada sang pengasuh. Merry segera mengangguk patuh.

"Semoga saja keadaan Echa segera membaik." Hanya itu yang Jagad harap sebelum melangkah keluar dari kamar Echa. "Saya minta maaf sudah merepotkan kamu."

"Iya, Pak." Tata tersenyum saja.

"Saya pamit kalau begitu. Semoga acaranya juga enggak terlalu lama."

Tata diam saja. Kalau ditanggapi, sang bos tak akan segera kamar. Bukan apa, nama ShopaShop dalam grand opening Jiayi ini cukup berpengaruh. Kalau sampai Jagad tak bisa hadir lantaran Echa yang mendadak demam, akan jadi apa mereka bertemu Pak Jimmy sekembalinya ke Jakarta nanti? Maka yang bisa Tata lakukan adalah mengalah. Terutama saat Echa tak mau lepas darinya. Padahal niat aslinya memastikan sang bos berangkat tepat waktu bersamanya setengah jam lalu.

Selepas kepergian Jagad, Tata kembali memperhatikan bagaimana gadsi kecil itu terlelap. Pejamnya terlihat damai sekali. meski ada titik peluh di sekitar dahinya, tapi tak sampai mengganggu tidurnya kali ini. mungkin karena pengaruh obat penurun panas yang baru Merry berikan, atau juga karena lelah beberapa jam belakangan ia hanya menangis sesegukan saja. Merry yang menceritakan bagaimana kondisi Echa pada Tata.

"Saya pesankan sarapan untuk Ibu, ya."

Tata tersenyum tipis. "Boleh. Sekalian sama kamu juga, Mbak Merry. Jangan sampai kamu juga sakit."

"Biasanya juga Echa happy banget kalau diajak dinas sama Bapak."

Kening Tata berkerut. "Echa sering ikut Pak Jagad?"

"Sering, Bu. Makanya Echa enggak pernah rewel naik pesawat. Pertamanya aja mungkin penyesuaian."

Penjelasan Merry membuat Tata mengangguk paham.

"Mungkin karena kemarin bertemu ibunya dan melihat hal yang enggak semestinya dilihat," kata Merry dengan nada sendu. "Saya sedih kalau Echa sakit, Bu. Lama soalnya untuk pulih. Badannya lemas, enggak mau makan, enggak ceria lagi. Padahal susah bikin Echa ini tertawa gembira gitu, Bu."

"Mbak Merry sayang sekali, ya, sama Echa?" Pelan, tangan Tata terulur untuk mengusap titik peluh di dahi Echa. Lembut sekali geraknya agar bocah itu tak terganggu.

"Yah ... gimana lagi, Bu. Saya tau Echa dari bayi. Saya yang asuh sampai sekarang, Bu. Enggak tega kalau Echa dimarahin, diteriakin sama ibunya dulu."

Ucapan Merry barusan membuat Tata menghentikan gerakannya. "Apa ibunya enggak sayang, Mbak?"

"Enggak tau, tuh." Merry menggerutu. "Mana ada, sih, ibu yang enggak sayang sama anaknya? Tapi saya melihat sendiri ada ibu yang seperti itu. padahal Echa ini pintar, lho, Bu. Cuma memang terhambat komunikasinya. Tingkahnya yang sering over dan kadang membuat kita repot. Yah ... namanya juga berkebutuhan khusus. Harus telaten merawat dan mendampingi."

"Mbak Merry benar."

"Anak mana, sih, Bu yang mau terlahir dengan kondisi seperti ini. Saya yakin banget, Echa enggak mau seperti ini juga. Maunya bisa sekolah seperti teman-teman lainnya. Bertingkah normal juga."

Tata tersenyum. Ucapan Merry tak ada yang salah.

"Ah, saya terlalu banyak bicara jadinya. Saya ke restoran dulu, ya, Bu. Mohon maaf jadinya lama."

"Sekalian pesankan bubur kalau ada, Mer, untuk Echa"

"Baik, Bu."

Ditinggal berdua hanya dengan Echa bagi Tata tak jadi soal. Ia puas memandangi seorang putri yang mendapatkan kasih sayang demikian besar dari seorang pria, yang notabene-nya bukan sang ayah. Dipertahankan sedemikian rupa, jangan sampai anak ini terluka, sebagai sebuah tebusan kesalahan di masa lalunya.

Satu hal yang masih terngiang sampai sekarang dalam benak Tata.

"Tiap sujud yang saya lakukan setiap harinya, saya minta dengan amat pada Tuhan, agar kesalahan saya dimaafkan. Agar beban yang jatuh di bahu saya ini perlahan berkurang. Juga saya dikuatkan untuk membesarkan Echa selayaknya anak sendiri. Andai besar nanti Echa melupakan saya, enggak jadi soal, Ta. Saya anggap, mungkin dengan begitu beban ini agak ringan."

Tata tau, Jagad tersenyum kala mengucapkan kata-kata barusan. Tapi bukan jenis senyum bahagia, melainkan senyum di mana ia tertawa untuk dirinya sendiri. Senyum yang sarat sekali penyesalan.

"Enggak jadi soal juga kalau senja datang untuk saya, saya sendirian. Menikmati bagaimana Echa bertumbuh, saya rasa cukup menyenangkan, kan, Ta?"

Yang ditanya tak tau harus merespon bagaimana kecuali satu pertanyaan yang rasanya ingin sekali Tata tarik. Ia sampai membekap mulutnya saking tak percaya bisa melontarkan pertanyaan yang aneh sekali. "Bapak enggak ada niat untuk menikah lagi?"

Sementara yang mendapatkan pertanyaan sampai terperangah tak percaya. Namun setelahnya, ia terbahak. Sudut matanya pun sampai berair saking gelinya ia tertawa. "Kamu ... serius menanyakan itu, Ta?"

"Maaf, Pak, saya ralat. Jangan dianggap ada pertanyaan barusan. Duh ... malu saya jadinya."

"Ta, Ta, kamu jujur sekali, ya." Jagad benar-benar tak menyangka, partner kerjanya bisa membuat sedih yang mendadak hadir di hatinya sirna begitu saja. "Tapi pertanyaan kamu boleh juga, sih."

"Enggak perlu ada jawabannya, Pak. Saya sudah keterlaluan bertanyanya."

"Enggak, lah." Jagad berusaha untuk meredakan tawanya. "Buat saya itu kewajaran." Kembali ia menatap lurus pantai di depannya. Malam semakin pekat, embus angin malam juga semakin menusuk kulit tapi rasanya Jagad enggan sekali kembali ke kamar hotelnya. Bicara dengan Tata cukup menyenangkan.

"Saya enggak kepikiran untuk menikah lagi. bukan saya takut untuk memulai, tapi saya takut enggak bisa diterima mengenai masa lalu saya, Ta. Perlu seorang wanita yang berhati besar bisa memaklumi apa yang telah terjadi di hidup saya. Juga kepercayaan tinggi karena dulunya saya pernah berselingkuh. Mungkin saja, wanita yang baru saja tau mengenai hidup saya, mundur. Entah takut, entah enggak ingin banyak risiko, atau merasa hanya sebatas ibu sambung dari anak berkebutuhan khusus seperti Echa. Ketimbang dia masuk terlalu dalam dan membuat kami semua patah hati, lebih baik saya yang menutup diri."

"Tante," panggil Echa yang mana membuat gelembung ingatan Tata pecah begitu saja.

"Ya?" Tata mendekat. Dibantunya Echa untuk bangun dari rebahnya. "Sakit?" Tata masih ingat pesan Jagad tadi; bicara dengan Echa jangan terlalu banyak kata. Cukup yang simple dan bisa dimengerti.

Echa menjawab hanya dengan anggukan kecil. Tangannya ia rentangkan pelan seolah minta untuk Tata peluk. Dengan senang hati, Tata memeluk gadis itu. Masih terasa hangat tubuh Echa yang cukup membuat Tata khawatir.

"Sarapan bubur?"

Echa menggeleng. "Mau Daddy."

"Daddy bekerja. Echa sama Tante, ya."

Echa mengendurkan pelukannya. Matanya sayu menatap Tata. "Daddy."

Tata tak kehabisan akal. "Kalau Echa sarapannya habis, nanti Tante temani ke Daddy, ya."

Agak lama Echa berpikir lalu mengangguk lemah. "Tapi Echa mau Daddy."

"Iya, nanti kita ke Daddy, ya. Tante juga sarapan dulu. Echa juga sama. Sarapan dulu." Dirapikan helai rambut Echa yang agak beranatakan. Bertepatan juga pintu diketuk di mana Tata yakin itu pasti Merry. "Masuk, Mbak Merry." Tata kembali melanjutkan kegiatannya merapikan rambut Echa.

Namun suara Merry tak kunjung Tata dengar yang membuat ia mulai curiga. Ditambah suara ketuk itu kembali terdengar. "Tante buka pintu dulu, ya."

Echa hanya mengangguk sekilas. Matanya tertuju pada Holy dan segera memeluknya.

Bergegas Tata menuju pintu dan membukakannya. "Kenapa enggak lang—" Tata tak melanjutkan ucapannya begitu melihat sosok yang berdiri di ambang pintu ini.

"Selamat pagi," sapanya pelan.



****

Oiya, aku punya beberapa judul cerita yang rutin di update juga. Jangan sampai terlewatkan, ya. Yang belum follow akun medsos aku, boleh lah difollow.

FB : Canis Majornis

IG : canis.major00

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top