Keping 25
Part ini kita bermanis-manis dulu, ya.
***
Tata tak bisa mengalihkan pandangannya sejak tadi. Bukan lantaran di pesawat yang sudah mengudara dengan tenangnya, tapi tingkah Jagad yang demikian lembut pada putrinya. Agak sedikit lama saat pemeriksaan awal memasuki kabin pesawat lantaran Echa ikut dinas kali ini. Bersama Merry tentu saja.
"Echa ngotot mau ikut, Ta," info Jagad sesaat setelah mereka bertemu di bandara beberapa waktu lalu. "Saya enggak bisa meninggalkannya begitu saja kalau sudah seperti ini."
Jagad membicarakan hal itu dengan tenang sekali. tak ada rasa keberatan, kerepotan karena tingkah Echa nantinya, atau tidak suka disebabkan banyaknya barang yang harus ia bawa. Sama sekali hal itu tak tercetak di wajahnya. Senyumnya justru tambah lebar. Tangannya terus menggenggam Echa dengan eratnya. Sang putri juga terlihat santai juga gembira. Mungkin merasa kalau perjalanan kali ini adalah liburan.
"Ayo, Ta, kamu mau di sini terus?"
"Ah, iya Pak." Tata pun mengekori langkah Jagad dengan segera. Tidak. Tata sama sekali tak terpengaruh apakah Echa ada atau tidak. Hanya saja yang menganggu pikirannya adalah, bagaimana Jagad bersikap. Betapa beruntungnya sang istri memiliki suami macam Jagad. Seharusnya. Namun Tata tau, Jagad single parent. Tinggal bersama seorang putri yang kabarnya berkebutuhan khusus. Itu benar adanya.
Dan kabarnya juga, Jagad ditinggalkan sang istri.
Itu Tata tak tau secara pasti. Ia tak ingin terlalu jauh untuk tau mengenai pribadi sang bos.
Entah bagaimana cara Jagad mengatur duduk, mereka semua dalam satu jajar. Echa diapit Merry dan Jagad sementara Tata duduk di sisi kanan Jagad. Gadis itu duduk dengan tenang meski matanya menatap sekitar tanpa bisa fokus. Serta tangannya yang terus saja memutar rubik mungkin sebagai bentuk dari kegiatan mengasah gerak motoriknya. Satu headset besar sudah dipasang serta selimut untuk menutupi bagian dada.
Meski perjalanan Jakarta-Bali tak lama, namun sepertinya Jagad paling memahami kebutuhan Echa.
"Acara nanti malam hanya pertemuan bisnis biasa, kok, Ta," kata Jagad memecah lamun Tata. Ekor mata sang pria sejak tadi tau, kalau wanita yang duduk di sampingnya ini terus memperhatikannya. "Sejak tadi kamu agak aneh, Ta. Ada apa?"
"Aneh?" Tata mengerjap pelan. "Aneh kenapa, ya, Pak?"
"Saya tau saya tampan, Ta." Jagad menarik sudut bibirnya tipis.
Ucapan itu membuat Tata segera menutup mulutnya. Takut lepas derai tawanya. "Saya baru tau kalau Bapak sepercaya diri itu," tukas Tata setelah bisa mengendalikan dirinya. "Sejak tadi yang saya perhatikan itu cara Bapak bersikap ke Echa. kentara sekali sayangnya."
Jagad terkekeh. "Namanya anak, Ta, ya disayang."
"Beruntungnya Echa punya Daddy seperti Bapak."
"Benarkah?" Jagad sedikit mengubah posisi duduknya. Agak condong ke arah Tata dan menatap rekan kerjanya penuh lekat. "Kamu berpikiran seperti itu?"
Tak perlu banyak berpikir bagi Tata untuk mengangguk sebagai jawaban. "Saya bisa merasakan ketulusan Bapak ke Echa, kok. Enggak mudah pastinya jadi Bapak, kan?"
Jagad termangu sejenak, lalu kembali menarik sudut bibirnya. Namun kali ini senyum itu terasa sendu. "Saya harap Echa bisa merasakan ketulusan saya, Ta."
"Saya yakin bisa, Pak."
Pria itu terdiam.
"Setiap anak pasti tau, siapa yang memang menyayanginya sepenuh hati. Sama seperti Echa yang enggak mau jauh dari Bapak. Karena apa? Pasti rasa sayangnya sampai ke hati."
"Kamu bicara seolah saya ini baik sekali, Ta." Jagad mengusap ujung hidungnya pelan.
"Memang Bapak baik," pungkas Tata. "Ada yang bilang Bapak jahat, ya?"
"Kalau saya jahat, bisa jadi saya di penjara dong, Ta?"
Untuk ucapan ini Tata tak bisa untuk tidak tertawa. "Jokes bapak-bapak itu renyah betul, ya."
Entah apa yang membuat Jagad memaku pandangannya pada Tata. Tawa wanita itu terlihat berbeda dari tawa yang biasanya Jagad nikmati dalam keseharian mereka bekerja. Seolah ada setitik kebahagiaan yang lain di sana. Sudut mata Tata tampak memicing, guratan di sekitarnya justru semakin menambah nilai lain dari tawa yang tercipta di sana. Helai rambutnya yang sedikit berantakan pun tak menghalangi kegembiraan di sana.
Astaga! Jagad tak seharusnya berpikir seaneh ini. Ini pasti karena pikirannya yang melantur ke mana-mana. Tak seharusnya ia memiliki pemikiran segila ini. Tata memang cantik secara visual, tapi hanya sebatas itu saja bisa Jagad nikmati. Tata jenis perempuan terlarang untuknya.
"Saya baru menyadari kalau saya memang sudah bapak-bapak, ya." Jagad menimpali di mana ada usahanya untuk menyingkirkan apa yang tengah berkutat di pikirannya.
"Kalau saya enggak salah hitung, tahun ini genap di angka empat puluh delapan. Benar, kan?"
Jagad tergelak. "Luar biasa wakil saya ini."
"Berterima kasihlah Bapak pada para staff divisi marketing karena dari tahun ke tahun, saya lah yang diminta untuk membeli kue ulang tahun tiap kali Bapak bertambah umurnya."
"Berkurang, Ta," koreksi Jagad. "Tiap manusia sudah ditentukan batas usianya. Saat merayakan ulang tahun di mana dikatakan, bertambahnya usia, justru bagi saya itu berkurang. Saya mendekati kematian, kan?"
"Pak, jokesnya jangan mengerikan lah. Kita ada di atas ketinggian ribuan kaki, Pak. Jatuh kita, habis lah dimakan cacing."
"Wah, kamu bisa bercanda juga, ya. Selama kenal kamu, saya pikir kamu wanita yang selalu serius."
Tata tertawa. Jagad tak salah menilainya. Tapi kali ini, mereka bukan tengah berada di meja kantor, kan?
***
[Bhumi : Angkat telepon aku, Ta!]
Tata hanya membaca sekilas. Ia lebih memilih merapikan tatanan rambutnya yang sengaja ia gelung dan menyisakan sedikit anak rambut. Mengenakan dress berbahan lace berwarna hitam, di mana berpotongan leher V serta memiliki belahan cukup tinggi di bagian kaki, namun Tata terlihat percaya diri mengenakan pakaian ini.
Seringai tipis sejak nama Bhumi muncul di layar ponselnya beberapa waktu lalu sudah menghiasi bibirnya. Ia tau apa yang ingin Bhumi bicarakan.
"Aku enggak akan sebodoh itu, Bhumi," kata Tata sembari sekali lagi memperhatikan penampilannya. "Aku ... heboh banget enggak, sih?" Diputar pelan ujung dressnya. Memastikan tak ada kekurangan di sana. "Tapi melihat undangan yang dikirim Jiayi, pastinya banyak yang jauh lebih mencolok ketimbang aku."
[Bhumi : Jangan kurang ajar kamu, Ta! Rumah itu atas namaku, Ta. Kamu enggak bisa macam-macam! Aku bisa perkarakan nantinya dan kamu yang akan menyesal.]
Bertepatan dengan pesan Bhumi masuk, pun pesan dari Jagad.
[Jagad : Saya sudah di lobby. undangannya jam 7, Ta, kalau kamu lupa.]
Segera Tata ketik balasan pada Jagad, mengabaikan pesan dari Bhumi. Baginya berkomunikasi dengan Bhumi sekadarnya saja. Hatinya sudah terlanjur kecewa.
[Tata : Iya, Pak. Saya turun sekarang.]
Berhubung sudah ditunggu, tak ada yang bisa Tata lakukan selain mempercepat langkahnya ke lobby, kan? Tak ia sadari kalau pesan itu bukan sampai pada Jagad, melainkan terkirim ke Bhumi.
[Bhumi : Oh, begitu rupanya. Kamu nuduh aku selingkuh, Ta? Tapi apa yang kamu lakukan? Hebat sekali.]
"Pak," sapa Tata begitu dirinya tiba di lobby. Sejak keluar dari lift, matanya pun berkeliling mencari sosok Jagad yang ternyata duduk santai di salah satu sudut sofa yang ada. "Maaf Bapak menunggu terlalu lama."
Jagad memaku pandangannya, pada sosok wanita yang kini ada di depannya. Entah ini kebetulan atau memang mereka seperti pasangan serasi? Kemeja yang Jagad kenakan pun berwarna gelap. Di depannya juga, netra Jagad dipenuhi sosok Tata yang lain.
"Wow," kata Jagad tanpa sadar.
Hal ini membuat Tata memejam sejenak. "Saya ... aneh, ya, Pak?"
Jagad sontak berdiri, menggeleng dengan segera. "Enggak. Sama sekali enggak."
Tata jadinya tertunduk. "Bapak bisa tunggu sebentar? Saya ganti saja lah. Sepertinya ini terlalu berlebihan."
"Enggak, Ta." Entah bisikan dari mana, tangan Jagad tanpa dikomando justru menahan Tata. Telapak tangan sang pria bersapa dengan lembutnya lengan Tata. "Kamu cantik sekali. Saya sampai enggak bisa berkata-kata."
"Duh ...," Tata semakin panik jadinya. "Bapak terlalu berlebihan sepertinya."
"Enggak, Ta." Jagad sedikit mendekat tanpa melepaskan tangannya. "Enggak berlebihan sama sekali."
Wanita itu menghela pelan.
"Mungkin karena saya terbiasa melihat kamu dengan setelan resmi atau kemeja formal, makanya saya takjub." Jagad mengutarakan kejujurannya. "Kita berangkat sekarang?"
"I-iya, Pak."
"Mobilnya juga sudah menunggu sejak tadi, Ta."
"Tapi, Pak."
"Ada apa lagi, Ta?"
"Bisa dilepas dulu pegangannya?"
****
(Kira-kira begini lah yang dipakai Bu Tata malam ini. Ehm ... gimana Pak Jagad bisa berpaling coba?)
Nah ... ini dia Pak Jagad.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top