Keping 23
"Mas, hujannya lebat banget," keluh Tata sembari sedikit menyingkirkan tetes air hujan yang mengenaik ujung blazernya. "Kalau diterabas kita bisa sakit, lho."
Bhumi tertawa. "Justru keseruannya di situ. Ibu bilang, kalau hujannya deras seperti ini enggak bikin sakit."
Tata menggeleng tak percaya.
"Serius." Bhumi menatap istrinya dengan sorot meyakinkan. "Ayo, pulang sekarang. Seru juga mandi hujan bersama."
Entah kenapa ingatan mengenai hari di mana mereka berakhir kuyup lantaran hujan, namun penuh dengan suka cita, justru terulang tanpa aba-aba dalam benak Tata. Mungkin karena dirinya yang tengah berdiri tepat di depan jendela yang kini terdapat banyak tetesan hujan.
Dalam tahun pertama pernikahannya, segala hal yang manis serta rasa beruntung dinikahi Bhumi, begitu Tata rasakan. Perlakuan pria itu sampai sekarang belum bisa dilupakan begitu saja. Sebanding dengan perlakuannya yang kian hari kian berubah. Tiap kali Tata mempertanyakan ada apa, Bhumi hanya melengos. Mengalihkan pembicaraan atau malah semakin menyudutkan Tata, adalah hal yang biasa yang ia alami.
Sekali lagi ia menghela pelan. Berdiri sembari menikmati cangkir teh yang hangat ini ia pikir mampu mengurangi sedikit rasa sesak karena memorinya ini.
Tata baru selesai menghadiri satu meeting dengan pihak Acame. Beruntung ide yang Andi katakan, ia konsep bersama hingga mendapat persetujuan Jagad, diminati oleh Acame. Jadi lah selepas meeting ini, Tata harus bekerja ektra. Hanya saja ternyata di luar hujan cukup deras mengguyur Jakarta.
Sebenarnya ia tak perlu merisaukan kepulangannya ke kantor. Mobil Jagad selalu siap sedia mengantarkannya pulang. Pak Muh tak bisa mengantarkan mereka lantaran Sudar dan timnya juga ada meeting di kantor lain. Jagad tak jadi soal mobil siapa yang akan ia pakai menuju Acame. Dan menurutnya yang paling simple adalah mobil miliknya. Kebetulan juga hari ini Tata tak membawa kendaraannya seperti biasa.
Berhubung Ridwan masih ada yang harus dibahas dengan salah satu staff Acame. Termasuk Jagad juga yang terlihat bicara santai dengan salah satu manager Acame. Tata memilih menyingkir untuk mengambil minum tadinya. Malah kakinya terpaku menatap jendela lantaran hujan. Menatap gedung yang berseberangan dengan posisinya sekarang. Rintik hujan yang membasahi jendela pun tak luput dari penglihatannya.
Seolah netranya mampu menghitung banyak tetesan hujan di luar sana.
"Kamu lagi apa, Ta?"
Beruntung cangkir teh yang Tata genggam tak meluncur ke bawah. Ia sampai berjengit saking kagetnya karena Jagad kini ada di belakangnya.
"Maafkan saya." Jagad agak menyesal jadinya. "Saya enggak bermaksud mengagetkan kamu." Sejak Tata menyingkir dari obrolan, mata Jagad tak bisa melepaskannya begitu saja. Beberapa hari belakangan ini, Tata terlihat berbeda.
"Bapak mau saya ambilkan teh?" tanya Tata yang berusaha untuk menutup kegugupannya.
"Enggak perlu, Ta. Kami sudah selesai bicaranya. Bisa segera pulang karena masih banyak yang harus diurus, kan?"
Tata tersenyum tipis. "Iya, Pak."
"Habiskan saja dulu tehmu, Ta." Jagad pun mengarahkan pandangan pada jendela lebar yang ada di depannya kini. "Hujannya deras juga, ya."
"Iya, Pak."
Tak ada yang bicara satu pun di antara mereka sampai Ridwan datang menginterupsip. "Pak, saya sudah selesai. Rangkumannya juga sudah selesai saya buat. Tinggal Bu Tata koreksi aja."
Mereka berdua pun sontak menoleh pada Ridwan yang mana sudah siap dengan tas laptop serta beberapa berkas yang Tata yakini, hasil pembicaraan lebih lanjut dengan pihak Acame. Wanita itu sedikit bergerak ke arah Ridwan dan membaca sekilas laporan tersebut.
"Kita pulang sekarang?" tanya Jagad.
"Boleh, Pak." Tata kembali menarik senyum di bibirnya. Berjalan mengekori sang bos yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan berjendela besar ini. Sesekali ia menyimak dan menimpali interaksi Ridwan dengan Jagad yang berlangsung cukup seru itu. Sampai langkah mereka tiba di area basement parkir gedung di mana mendadak Tata memperlambat ayunan kakinya.
Dering ponsel membuat ia segera merogoh saku blazernya. Nama Jenni muncul di layar yang mana menciptakan seringai tipis di wajah Tata. "Ya, Jen?" sapa Tata. Ia pun segera melangkah kembali namun terhenti lantaran Jagad berdiri tak jauh dari posisinya. Sementara ia lihat, Ridwan berjalan lebih cepat mendahului mereka.
"Lho, Pak?"
Jagad menoleh. "Ridwan ambil mobilnya. Kita disuruh tunggu di sini."
Tata mengangguk paham. "Nanti kutelepon lagi, ya, Jen." Ia teringat pada ponselnya yang masih terhubung dengan Jenni.
"Eh ... aku cuma mau bilang, temanku hari ini free. Konsultasi kemarin berjalan lancar, kan?"
"Iya, lancar kok. "Sebenarnya Tata tak ingin banyak bicara apalagi ada Jagad di dekatnya. Bukan tak ingin didengar apa pembicaraan mereka tapi rasanya hal pribadi seperti ini tak perlu orang lain tau. "Nanti sore kita sekalian bertemu, ya."
"Oke lah. Ingat, Ta. Rumah itu hak kamu. Jangan mau kalah. Temanku bilang, kamu enggak mau datang mediasi? Astaga, Ta. Rasanya aku mau guncang kepalamu biar waras. Bisa enggak, sih, kamu bersikap normal sedikit?"
Jenni dan kecewetannya.
"Aku normal, kok, Jen. Lagi juga aku punya pilihan lain, kok. Kamu tenang saja."
"Tenang bagaimana?" sela Jenni dengan cepatnya. "Sudah lah. Bicara di telepon sama kamu enggak seru. Sore aku jemput, ya."
"Iya, Jen."
Tak lama berselang sambungan telepon itu pun terputus. Di mana Tata berusaha untuk bersikap tenang. Toh pembicaraan mereka hanya sebatas itu saja. Tak mungkin didengar juga oleh Jagad, kan?
"Mau mampir makan siang dulu, Ta?" tanya Jagad begitu menyadari kalau Tata sudah tak lagi bicara dengan ponselnya.
"Di mana, Pak?"
"Ada referensi?"
Tata tampak berpikir sejenak. "Arah stasiun Manggarai ada kedai garang asem gitu, Pak. Mau coba?"
"Sepertinya pas dimakan di saat hujan begini, ya, Ta?"
Wanita itu memilih tersenyum saja.
"Nanti beri tau Ridwan saja, ya." Bersamaan dengan hal itu, mobil Jagad pun terhenti tepat di dekat mereka. "Ladies first," kata Jagad sembari membukakan pintu untuk Tata.
Tak ada yang bisa Tata lakukan kecuali berucap, "Terima kasih, Pak."
***
Namanya Ningrum Langkayesh. Teman Jenni yang berprofesi sebagai pengacara. Ia yang Tata temui beberapa waktu lalu pun referensi dari Jenni. Banyak hal yang mereka bicarakan sepulang kerja kala itu. Membuat Tata banyak berpikir mengenai gugatan perceraiannya.
Selama ia kembali ke rumah, ia semakin menyadari. Apa arti dirinya di dalam keluarga Bhumi.
Seolah tanpa Bhumi, dirinya bukan apa-apa. Padahal Tata mengerahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk ada di titik sekarang. Mereka semua kompak menyudutkan Tata. Banyak kata-kata yang tadinya membuat hati Tata terluka, kini ia abaikan. Padahal diucapkan persis di depan Bhumi tapi suaminya itu benar-benar tak peduli. Malah terkesan menyetujui ucapan mertua serta adik iparnya itu.
"Saya capek, Mbak Ning, kalau harus mendengarkan lalu menyanggah serta mendebat selama mediasi nanti." Itu yang Tata katakan saat Ningrum menyarankan selama proses mediasi, dirinya datang untuk sekadar mendengarkan apa keluhan sang suami sampai menggugat cerai.
Untuk pertemuan sore ini, Tata ditemani Jenni yang banyak terdiam menyimak apa yang Ningrum sampaikan mengenai keinginan Tata. Apa yang Tata inginkan bukan lagi mempertahankan pernikahannya. Percuma. Kalau dirinya bersikukuh dalam pernikahannya, bisa jadi mereka semua semakin menekan dan meremehkan Tata. Ia ingin diterima dengan layak oleh keluarga pasangannya. Bukan hanya dicari kala butuh, dan disingkirkan setelah mendapat apa yang mereka inginkan.
Belum lagi segala perlakuan Bhumi silih berganti memenuhi kepalanya. Yang mana makin membulatkan tekad; ia akan mengabulkan permintaan cerai dari suaminya.
"Kalau memang Ibu Tata sudah membulatkan keyakinan dalam perceraian ini, mediasi digunakan sekadar untuk menuangkan unek-unek selama pernikahan. Siapa tau setelah mendengar dari pihak Ibu, Pak Bhumi bisa berpikir," kata Ningrum.
"Keluhan saya selalu dipatahkan, kok, Mbak." Tata memang tersenyum saat mengucapkan kata-kata barusan, tapi senyumnya miris sekali. "Sepertinya suami saya enggak akan ragu. Makanya saya juga malas mendengar segala hal yang nantinya ditanya sepanjang proses mediasi. Bukankah akan semakin menyakitkan saya?"
Ningrum menatap Tata penuh simpati. "Akan lebih menyakitkan kalau Mbak enggak tau apa yang Pak Bhumi katakan selama proses mediasi berlangsung. Bisa jadi Ibu pihak yang—"
"Yang paling disudutkan? Disalahkan? Ditekan? Dibuat salah total?" Tata menyela dengan cepat. "Sudah terlalu biasa hidup saya seperti itu, Mbak."
Ningrum kehabisan kata-kata. Jenni yang mendengar ucapan Tata hanya bisa mengusap punggung tangan sahabatnya sebagai dukungan. "Sabar, ya," katanya.
"Mbak Ning bilang ada opsi lain mengenai jalannya sidang perceraian kalau saya menolak hadir selama mediasi?"
Melihat tak ada yang merespon ucapannya, Tata kembali bersuara. "Saya enggak jadi soal selama mediasi berlangsung, Bhumi serta keluarganya mengatakan hal apa pun. Tapi sebelum benar-benar dibuat putusan cerai, saya ingin memberikan hadiah terakhir terutama untuk Bhumi."
"Dari nomor registrasi yang Bu Tata beri, jadwal mediasi pertama itu besok. Ibu enggak ingin datang, kan?"
Tata menggeleng cepat.
"Mediasi diadakan tiga kali pertemuan dalam kurun waktu tiga puluh hari. Selama waktu tersebut selaku termohon, dalam hal ini Bu Tata, tidak menghadiri mediasi, proses tersebut dianggap tidak berhasil dilaksanakan. Lalu ditetapkan waktu sidang. Kalau Ibu memang ingin menyanggah dalil posita pemohon, dalam hal ini suami Bu Tata, bisa dilakukan saat sidang."
"Ehm ... gimana? Saya enggak paham."
"Selama proses mediasi dengan hakim mediator yang ditunjuk, pastinya Pak Bhumi banyak ditanya mengenai gugatannya. Apa saja keberatannya, dan kenapa harus menggugat cerai? Pak Bhumi dalam hal ini pasti membeberkan banyak hal yang mana memberatkan Ibu selaku termohon. Berhubung selama mediasi berlangsung nantinya Ibu memilih untuk mangkir, proses dilanjutkan ke tahap sidang. Saat proses sidang, Bu Tata bisa menghadirkan bukti dan saksi untuk menyanggah apa pun yang Pak Bhumi katakan selama proses mediasi."
Tata mengangguk sekilas.
"Nantinya juga hakim akan bertanya mengenai gugatan cerai yang diajukan apalagi setelah mendengar sanggahan dari Ibu. Apakah dilanjutkan atau kembali bersama."
"Saya membeberkan hal-hal yang saya anggap aib sebagai hadiah terakhir. Bukan berarti ingin kembali bersama."
Ningrum tersenyum tipis. "Jadi Ibu bisa datang saat sidang saja. katakan apa yang Ibu yakini terutama masalah gugatan perceraian ini. Setelahnya biar hakim yang putuskan. Begitu semuanya selesai, baru Ibu bisa gugat mengenai harta gono gini."
"Mbak Ning bisa wakilkan saya selama sidang? Saya malas bersuara. Saya hanya ingin menatap wajah mereka yang mungkin saja merasa sudah di atas awan."
Jenni dan Ningrum saling bersitatap.
"Melihat bagaimana sorot mata mereka terbakar amarah karena apa yang akan saya tunjukkan selama menjadi istri Bhumi, rasanya cukup menyenangkan. Apalagi saya beberkan di muka umum. Bukankah itu hadiah yang menarik?"
****
Jangan lupa dikoment, ya, Kakak sekalian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top