Keping 22
Bhumi tak melepas pandangannya dari ponsel. Sudah dua jam berlalu sejak pesan terakhirnya terkirim tapi tak ada balas lebih lanjut. Sama seperti pesan sebelumnya. Tak pernah ada respon.
Ia menggeram kesal jadinya. Bukan lantaran sang penerima yang terlihat abai tapi karena isi pesannya seolah hanya angin lalu bagi si penerima. Padahal ia selalu ingat, tiap pesannya, apa pun itu, selalu mendapat balas. Apa perkara pesannya ini tak menjadi perhatian bagi si penerima? Bhumi makin geram kalau semakin memikirkannya
"Kamu kenapa, Mas?" tanya lawan bicara yang sejak tadi memperhatikan Bhumi.
Mendapat pertanyaan itu membuat Bhumi menghadirkan senyum lebar. Menyingkirkan kegundahannya akan pesan yang tak terbalas itu. "Enggak ada. Hanya sampaikan mengenai proses gugat cerai."
Sang wanita mengangguk dengan senyum tipis. "Kamu benar-benar ambil langkah itu, Mas?"
Bhumi mengedikkan bahu.
"Padahal Mbak Tata kelihatannya istri yang baik, lho, Mas." Sang wanita kembali melengkungkan bibirnya penuh dengan jutaan makna.
"Aku capek berdebat terus perkara sepele. Belum lagi ibuku sering mengeluh mengenai Tata. Makin hari bukannya makin menunduk malah makin jadi."
"Mbak Tata juga punya posisi di kantor, kan?"
"Itu lah, Ratih, kadang aku enggak habis pikir. Apa karena sekarang posisinya lebih tinggi dari aku? Yang membuatnya semena-mena jadi istri? Enggak lagi menghormatiku sebagai suami?"
Ratih yakin, sentuhannya di pundak Bhumi tak akan mendapat penolakan. "Kamu yang sabar, ya, Mas," kata Ratih dengan nada prihatin.
Ada yang ingin ia bagitau pada Bhumi mengenai istrinya itu tapi untuk sementara, ia tahan sejenak. Ia masih belum lupa bagaimana pertemuannya tanpa sengaja di Medan beberapa waktu lalu. Juga pertanyaan yang terlontar dari Tata yang terkesan menyudutkannya.
"Sabarku sudah teruji, Ra." Gantian Bhumi mengulas senyumnya. Jemari lentik yang tadi singgah di bahunya, ia genggam. "Terima kasih sudah support aku, Ra."
Senyum Ratih mana mau luntur. "Sama-sama, Mas. Kita kembali ke kantor sekarang? Aku ada meeting lain."
Bhumi terkekeh. "Aku lupa kalau wanita di sampingku ini seorang atasan yang banyak menangani proyek."
Ratih larut dalam tawa yang Bhumi ciptakan. Menyudahi sesi makan siang yang beberapa waktu ini sering mereka lakukan. Berjalan bersama sampai mobil Ratih terparkir dengan diselingi obrolan ringan juga tawa kecil.
"Kamu hati-hati berkendara, ya." Bhumi membukakan pintu untuk Ratih; memastikan wanita itu mengenakan seat belt-nya, duduk dengan nyaman di kursi pengemudi, serta sedikit memberi sentuhan di pipi yang merona itu.
Hal yang tak pernah Bhumi lakukan untuk Tata.
Yang mana membuat Ratih memgulum senyumnya. "Terima kasih. Mas juga, ya. Kabari aku kalau sudah sampai kantor."
"Kantorku dekat, Ra," Bhumi gemas jadinya. "Kamu pasti ditunggu. Hati-hati, ya. Kabari aku kalau kamu sudah sampai di tempat."
Ratih mengangguk segera, menyalakan mesin mobil, lalu mulai meninggalkan area parkir. Di mana masih bisa ia lihat Bhumi belum beranjak dari posisinya. Seolah ingin memastikan kalau dirinya berkendara dengan baik. Ada rasa bahagia yang memenuhi dadanya kini. Juga satu seringai kecil menghiasi bibirnya.
"Sebentar lagi Bhumi pasti jadi milikku," katanya dengan penuh kemenangan.
Sesaat setelah ekor mobil Ratih menghilang dari pandangannya, Bhumi menghela panjang. Dikeluarkannya ponsel yang sejak tadi ia simpan. Pesannya masih jua belum terbalas. "Keterlaluan banget Tata," gerutunya. "Dia benar-benar ingin cerai rupanya? Lihat saja! Kamu pasti menyesal, Ta. Pasti!"
***
"Menurutmu aku harus datang?" tanya Tata sembari memainkan ujung garpunya. Malam ini spesial dirinya yang memasak. Mac and Chesse yang ternyata Amel suka sekali. sepengetahuan Tata, sudah dua kali anak itu mengambil dengan porsi yang cukup banyak. Katanya, "Enak banget, Tante. Aku suka."
Tata senang sekali kalau masakannya bisa membuat satu senyum tulus sebagai imbalan lelah.
"Kamu maunya bagaimana?" Jenni menghela lelah. "Aku sudah bilang, kan, kalau kamu enggak datang, Bhumi bisa membuat banyak alasan untuk menjatuhkan kamu, Ta."
"Entah lah, Jen, aku malas sekali bertemu. apalagi aku tau, pastinya ibu serta adik iparku datang."
Jenni menjentikkan jemari. "Itu dia, Ta. Biar kamu bisa menampar mereka sekalian. Toh ... kamu enggak dalam posisi salah, Ta."
Tata terdiam.
"Selingkuh, enggak. Melawan, enggak. Nurut, kebangetan nurut. Ngalah, sampai kamu enggak dihargai apa yang kamu beri, kan?" Jenni geram sendiri jadinya. "Saranku datang, Ta. Sanggah apa pun ucapan Bhumi nantinya. Beritau yang sebenarnya. Aku yakin banget kamu yang akan disudutkan, Ta."
Bibir Tata masih belum ingin menyuarakan sesuatu. Ia sudah bisa memprediksi akan hal ini tapi sungguh, mungkin saking lelah ia berurusan dengan Bhumi dan keluarganya, ia tak peduli apa pun yang ingin mereka lakukan. Tata hanya menginginkan segalanya segera selesai.
"Atau kamu ingin pendapat dari ahli? Aku punya kawan pengacara yang beberapa kali tangani kasus perceraian."
Senyum Tata terukir sedikit.
"Ayo lah, Ta, jangan seperti ini." Jenni mendekat. "Bukan untukku, Ta, tapi untuk kamu sendiri. Hidupmu."
"Karma itu ada, Jen." Tata tau apa yang Jenni khawatirkan. "Aku percaya itu."
Jenni berdecak. "Karma its real, I know. Tapi mereka juga harus ditampar sesekali. Biar enggak sembarangan menilai kamu. Apa yang sudah kamu perbuat selama pernikahanmu dengan Bhumi? Banyak, Ta. Pikirkan itu. Apa yang sudah Bhumi lakukan selama menjadi suami kamu? Kenapa dia sampai seenaknya menceraikan kamu dengan alasan sepele? Ah ... benar-benar enggak masuk di logika aku, Ta. Yang harusnya marah, kesal, kecewa, itu kamu karena pernikahan ini. Bukan Bhumi. Dia manipulatif betul, Ta."
Tata termangu sejenak. "Bicara tentang manipulatif, entah kenapa aku jadi ingin pulang, Jen."
"Mau apa?" Jenni menarik salah satu kursi di samping Tata.
"Masih rumahku, kan?"
Jenni tergelak. "Iya lah."
"Aku mau tengok sebentar, Jen. Biar bagaimana juga ada keringat aku di sana."
"Itu maksudku, Ta!" Mata Jenni berbinar terang sekali. "Jangan sampai sudah kamu disudutkan karena dianggap enggak becus jadi istri, kamu juga enggak dapat apa-apa. Enak betul hidupnya Bhumi! Padahal dia yang lebih banyak membuat kamu menderita," cerca Jeni dengan ketusnya.
Yang bisa Tata lakukan hanya tersenyum tipis. "Iya, Jen. Terima kasih."
"Terima kasih terus, Ta. Enggak guna makasihnya kalau kamu enggak punya sikap."
Maka di sini lah Tata sekarang. pembicaraan di meja makan itu sudah satu jam berlalu. Begitu Tata keluar dari mobilnya, ia mengerutkan kening karena ada mobil Nilam terparkir di sini. Senyum Tata jadinya timbul. Bukan seperti biasanya, tapi senyum meremehkan.
Ia tatap penuh lekat rumah dua lantai yang dibangun dengan susah payah ini. Kerja kerasnya. Uang lemburannya. Jerih payahnya. Sebagian besar berasal dari kantungnya. Ada uang Bhumi memang tapi Tata tau seberapa banyak pengeluaran untuk rumah ini agar berdiri apik dan seperti keinginannya.
Puas memandangi rumah ini, Tata pun melangkah masuk.
Persis seperti yang ia duga; mertuanya, Nilam serta Kayyish, juga Bhumi ada di ruang tamu. Agak terkejut mendapati Tata di ambang pintu.
"Ingat pulang rupanya?" tanya Bhumi segera. "Kenapa enggak balas pesan aku, hah?"
Tata diam. Ia terus berjalan seolah tak ada mereka semua di sana.
"Semesta!!!"
"Apa pentingku balas pesanmu?" Tata menoleh segera.
"Oh, jadi kamu benar-benar ingin bercerai, Ta?"
Tata menatap Bhumi lurus-lurus. "Kata talak sudah jatuh, Bhumi. Sebagai seorang istri yang diceraikan lewat kata, hukumnya sah secara agama. Kamu tau itu dengan pasti, kan? Toh kamu juga sudah daftarkan di pengadilan agama, kan? Lantas apa keinginanku? Enggak ada selain menunggu segala prosesnya selesai."
Rahang Bhumi mengetat.
"Aku enggak peduli siapa yang tinggal di sini selama proses cerai berlangsung," Tata mendekat pada Bhumi yang berdiri tak jauh darinya. "Tapi aku masih pemilik rumah ini. Masih aku yang punya aturan di sini." Langkahnya terhenti tepat di depan Bhumi. "Aku enggak akan segan mengusir siapa pun yang enggak mengikuti aturanku di rumah ini." Tata memberi penekanan lebih pada tiap kata-katanya.
Tak peduli kalau Bhumi menatapnya dengan tajam.
"Kalau ada yang tidur di kamarku, segera keluarkan barang-barangnya sebelum aku yang lempar dari jendela."
****
Kemarin typoku kebangetan betul. Namanya bukan Lily tapi Jenni. Aku ingat sahabatnya Tissa, si Lily. Huuuu. Maaf, ya, kakak sekalian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top