Keping 20
Tata tak mengerti mengapa seharian ini Jagad terlihat lebih emosional. Jagad pernah menegur Sudar atau Ridwan, tapi tak sampai membuat suasana agak menegangkan di ruang meeting tadi. bahkan Sudar sampai bertanya, apa saat dinas kemarin ada kendala.
"Enggak ada, sih," kata Tata sembari merapikan segala berkas yang ada di sekitarnya. "Saya juga heran. Enggak biasanya Bapak begini."
Sudar mengangguk setuju. "Semoga aja enggak ada masalah yang besar, Bu. Saya takutnya kerja sama dengan Acame ini bermasalah."
Tata tersenyum maklum. Ketakutan Sudar bukan tanpa alasan. Meski pihak Acame bekerja sama dengan ShopaShop dalam hal lain, tapi semua itu tak bisa dicampur jadi satu. Tadinya Tata ingin menyusul dengan segera pergerakan Jagad yang keluar ruangan namun sepertinya bukan waktu yang tepat. Jangan sampai suasana hati Jagad semakin buruk hanya karena ia yang ingin ikut campur.
Padahal sejauh ingatan Tata mengenai hari kemarin, tak ada masalah. Sama sekali. bahkan bisa dibilang, mereka cukup bersenang-senang. Meski Tata tau, ada hal yang harus dikerjakan dengan kecepatan kilat mengenai kerja sama baru dengan Jiayi.
Sebelum benar-benar Tata menuju ruangannya, matanya tanpa sadar mengarah pada ruang kerja Jagad yang sudah tertutup rapat. Dihelanya napas pelan karena sang bos yang bersikap lain dari biasanya. Sudah lah. Mungkin memang ada sesuatu yang tak Tata tau, yang ingin Jagad bereskan dengan cepat. Maka pilihan yang tepat untuk Tata adalah mengerjakan bagiannya. Memberi laporan serta beberapa koreksi yang Jagad inginkan seperti meetingnya barusan.
Sementara Jagad sedikit membanting dirinya di sandaran kursi besarnya. Ia pijat pelipisnya dengan cukup keras. Menghela berkali-kali sekadar untuk menghilangkan rasa kesal yang tak berkesudahan sejak kemarin sore. Padahal ia sudah berusaha dengan amat untuk menyingkirkan sosok wanita yang menjadi masa lalunya. Tak ada gunanya. Tapi ...
"Kamu benar-benar aneh, Jagad," Rahayu berkata dengan nada meremehkan. "Anak itu pasti butuh ibunya. Kamu tau, kan, Echa seperti apa?"
Jagad mengepalkan tangannya.
"Kita bisa mengulang kebersamaan seperti dulu. Aku tau aku punya salah yang besar sama Echa dan kamu. aku minta maaf."
pria itu menatap lawan bicaranya dengan sorot tajam.
"Aku enggak akan pergi sebelum ka—"
"Kamu itu enggak punya malu atau memang enggak tau diri?" Jagad melangkah mendekat pada Rahayu yang tampak bergeming. "Aku merawat Echa, menghujani Echa banyak kasih sayang, yang mana kuanggap tebusan segala salah yang kupunya. Tapi membuang kamu dari hidupku, Yu, bukan sebuah kesalahan tapi hal yang paling tepat."
"Kamu bercanda, kan?" Rahayu menurunkan tangan yang menunjuk tepat di dadanya. Berusaha untuk merayu kembali Jagad yang paling ia tau apa kelemahannya. "Aku cinta sama kamu, Jagad. Aku biarkan kamu beberapa tahun ini bersama Echa. Bukan berar—"
"Aku enggak ingin dengar apa pun terutama cinta, Yu." Jagad menepis kembali tangan Rahayu yang berusaha menggenggamnya. "Buatku semuanya sudah selesai." Ia pun sedikit menunduk dan tepat di telinga Rahayu, jagad pun berkata dengan lirihnya. "Terutama saat kamu pergi meninggalkan Echa. Enggak ada di dunia ini yang cintanya melebihi cinta seorang ibu pada anaknya. Tapi sayang ... kamu lepas Echa begitu saja. Karena apa, Yu?"
Jagad menatap Rahayu dengan lekatnya. "Di hatimu hanya ada keserakahan. Beruntung Echa dikirim Tuhan agar aku sadar, dengan perempuan seperti apa aku menjalani hidup. Bagusnya ... kamu pergi tanpa kuminta."
Rahayu menggeram.
"Jadi sekarang ... lalukan apa yang dulu kamu lakukan, Yu." Jagad menunjuk pada gerbangnya yang masih terbuka. "Pergi dan jangan ganggu kami."
"Echa anakku, Jagad!!!"
Pria itu tak peduli.
"Aku cinta sama kamu!!!"
Ucapan itu hanya angin yang berembus di sekitarnya. Pintu utama rumah berlantai dua itu langsung ditutup dengan cukup keras. Jagad hanya berharap Echa ada di kamarnya. Tak mendengar dirinya marah lantaran bertemu dengan satu-satunya perempuan yang tak ingin lagi ia temui.
Lamat-lamat ingatan mengenai siapa Echa kembali membayanginya. Empat tahun lalu, setelah ia tau kebenaran yang ada, Jagad menangis tanpa suara di samping ranjang Echa. Gadis itu terpejam mesih ada bebat dikepalanya serta tanganya dialiri cairan infus serta kantung transfuse darah.
Apa yang ia inginkan sejak lama, Tuhan beri meski memiliki kekurangan. Jagad tak pernah mengeluh. Ia terima dengan lapang dada. Tak jadi soal, tak pernah ia permasalahkan, tak pernah juga ia gaung rasa tak terimanya pada Tuhan. Tapi begitu tau kenyataan pahit di depan matanya, ia rubuh. Pegangannya hancur seketika.
Sayangnya sudah ia jatuhkan telak pada sosok Echa. Cintanya juga banyak tercurah pada gadis itu sejak pertama kali ia gendong bayi mungil sesaat setelah kelahirannya.
Butuh dua bulan lamanya untuknya berpikir, apa yang akan ia lakukan pada Echa. Sementara Rahayu pergi begitu saja. Tanpa beban. Tanpa memikirkan putrinya. Seolah apa yang wanita itu lakukan menampar Jagad dengan kuatnya. Ia pernah pergi meninggalkan seseorang yang mencintainya dengan tulus. Dan rasanya ... sangat menyiksa.
Echa bagi Jagad adalah anugerah juga kutuk. Di mana tiap kali melihat wajah Echa, rasa sesalnya besar sekali. Tapi di saat yang bersamaan juga, Jagad mengikrarkan diri, Echa adalah salah satu cara untuk menebus kesalahan besar dalam hidupnya. Ia sangat berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menjadi 'Daddy' yang Echa kenali meski tau, dirinya bukan 'Daddy' yang sebenarnya.
Dan di saat ia sudah mulai 'normal' menjalani hidup, kenapa Rahayu harus kembali.
Tidak.
Jagad sudah lupa cinta yang pernah ia lafazkan dari bibirnya untuk sang wanita.
"Sialan!!!" maki Jagad dengan cukup keras. Di saat yang bersamaan pula, ada yang mengetuk pintu ruangannya. Buru-buru Jagad menguasai dirinya. "Masuk."
Sementara di luar ruangannya, Tata tertegun. Makian itu terdengar jelas tapi itu bukan urusannya, kan? Pasti ada sesuatu yang membuat Jagad terganggu sampai mengumpat seperti itu.
"Maaf, Pak, saya ganggu waktunya." Tata menarik sudut bibirnya sedikit. "Saya bawakan laporan yang Bapak minta tadi."
Jagad memejam kuat. "Terima kasih, Ta." Bayang meeting yang baru saja ia lakoni terputar cepat. Bagaimana dirinya yang agak keterlaluan pada anak buahnya. Membuat rasa sesal di hatinya muncul. Harusnya ia bisa memisahkan mana pribadi dan mana pekerjaan. "Duduk dulu, Ta. Saya pelajari laporannya dulu."
Tata meletakkan berkas tadi dengan cukup hati-hati. "Iya, Pak."
Dibiarkan pria itu mengecek hasil meeting tadi. Puas menatapi satu demi satu hal yang ia inginkan ada di sana, beserta penjelasan yang jauh lebih detail ketimbang sebelumnya, Jagad menarik sudut biirnya tipis. Ada rasa puas terhadap laporan yang Tata bawa. Kendati demikian, harusnya ia tak perlu sampai sedikit emosional hanya karena beberapa hal yang tak seharusnya ada.
"Sepertinya saya buat suasana enggak nyaman tadi, Ta."
Wanita di depan Jagad hanya mampu meringis.
"Sampaikan pada Sudar dan Ridwan, kita makan siang di Pejaten."
"Ya?"
"Bentuk permintaan maaf karena briefing tadi sepertinya saya melakukan kesalahan."
"Ah, baik, Pak." Tata pun bersiap untuk ke luar ruangan Jagad.
"Kamu enggak ada janji makan siang, kan?"
Tata mengerjap pelan. "Ada, sih, Pak."
"Bisa batalkan?" sela Jagad dengan cepatnya seolah tanpa berpikir lebih jauh. Yang mana ia sesali mengatakan permintaan barusan. Agak lama wanita itu terdiam yang mana membuat Jagad merasa agak keterlaluan.
"Maaf, Ta. Enggak apa kalau kamu ada janji. Nanti tolong sampaikan pada Sudar dan Ridwan saja, ya."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top