Keping. 2
"Masuk!" kata seseorang dari dalam ruangan. Ia tak butuh mengangkat matanya dari deret laporan yang tengah diperiksa. Suara tadi sudah menjelaskan siapa sosok yang memasuki ruangan yang didominasi putih dan abu-abu ini.
"Untuk kuartal dua sudah selesai saya periksa." Tangan berkulit putih itu terjulur sembari meletakkan satu berkas yang memang dibutuhkan. "Enggak ada yang mencurigakan."
Ucapan itulah yang membuat si pemilik ruangan menghentikan kegiatannya. Sampai kacamata yang ia kenakan, dilepas. Ada desah pelan di tengah mereka. "Yakin?"
"Iya, Pak," sahut sang wanita. "Tapi," sekali lagi, tangan itu kembali terjulur meletakkan satu berkas dengan map yang berbeda, "kecurigaan Bapak ada di laporan kuartal tiga. Sudah saya tandai semua yang Bapak minta."
Seringai tipis serta wajah yang tampak puas akan hasil yang dibawa, jelas tercetak di sana.
"Bagus." Ia pun segera mengambil berkas yang tadi diserahkan. "Saya cek dulu. Kamu siapkan meeting sore ini."
"Harus sore ini meeting-nya, Pak?"
Jagad menatap lurus sang wanita. "Ada yang salah?"
"Dari jadwal yang saya tahu, divisi keuangan ada rapat membahas anggaran untuk promosi bulan ini."
"Besok agenda saya sudah berbeda, Ta," kata Jagad pelan. "Kamu tahu, kan?"
Tak perlu kata, Semesta tahu semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan Jagad. Sebagai tanggapan, ia hanya mengangguk sekilas.
"Jangan menunda terlalu lama. Toh, anggaran mereka juga berasal dari keputusan saya, kan?"
Apa yang Jagad katakan memang benar.
"Siapkan saja bahan materinya. Nanti biar saya yang bicara dengan Bu Tety mengenai meeting sore."
"Baik, Pak."
Tata pun bersiap untuk keluar dari ruangan sang bos. Ia merasa tak punya kepentingan lain untuk berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus dikerjakan meski kesempatan untuk sekadar memperhatikan bagaimana pria berlabel hot duda itu, Tuhan pahat demikian sempurna.
Siapa yang tak mengenal Jagad Adi Bhayangkara? Namanya terkenal sampai penjuru pantri ShopaShop karena ketampanannya. Belum lagi sikapnya yang tak banyak bicara, tegas serta brilian. Oh ... tak lupa, statusnya sebagai single parent pun resmi membuat Jagad menjadi idola para wanita di ini.
Apa hal itu juga berlaku untuk Tata? Tentu saja tidak. Pikiran Tata selurus jalan tol. Berangkat kerja, tiba di kantor, bercumbu mesra dengan banyaknya deret angka dan analisis kemajuan produk, lalu pulang. Hanya itu.
Maka ketika ada yang berkata, "Ta, kamu beruntung banget bisa ada di dekat Pak Jagad. Bisa fresh terus pikirannya." Tata pun kebingungan. Selama tujuh tahun bekerja bersama atasannya, ia tak pernah memiliki pemikiran seperti itu. Pria itu bergabung dengan ShopaShop di saat ia genap bekerja di sana kurang lebih empat tahun lamanya.
"Oh iya, Ta."
Jagad kembali bersuara. Sosok wanita yang tadi ada di depannya, menghentikan langkah. Mungkin satu atau dua langkahnya lagi sudah mencapai pintu ruangan.
"Ya, Pak?"
"Minggu depan ada dinas ke Medan. Surat izinnya sudah saya e-mail. Tapi sepertinya kamu enggak bisa, ya?" Jagad tersenyum tipis.
"Itu," Tata mengerjap pelan, "saya bicara dulu dengan suami saya, Pak."
"Jangan jadikan beban, Ta. Saya mengerti." Jagad masih memasang senyum itu di bibir. "Asal kamu bantu saya dari rumah seperti biasanya."
Dinas. Satu kata yang menjadi momok tersendiri bagi Tata. Pernah sekali ia mengikuti Jagad dinas, itu pun tak jauh. Di Bandung. Jarak Jakarta—Bandung masih bisa ditempuh paling lama empat jam. Namun ... ia memilih untuk melupakan kenangan buruk itu. Jangan sampai sekelebatan memori itu makin merusak harinya yang sudah sejak pagi berantakan.
"Baik, Pak." Tata sedikit menunduk. "Maafkan saya."
Sepeninggalan wanita yang menjadi wakilnya itu, Jagad hanya mengedikkan bahu. Kembali mengurus laporan yang diberikan Tata tadi. Satu minggu ini ia memang disibukkan dengan laporan berbau indikasi kecurangan mark up dana promosi. Semuanya dilimpahkan ke bagian marketing. Ia tak terima dengan tuduhan ini. Sialnya, beberapa bukti banyak yang diselewengkan membuatnya mati kutu. Saat segala fokusnya ada di laporan ini, ponselnya berdering nyaring. Nama Merry terlihat di sana. Ada kenyitan halus di kening Jagad.
Ada apa Merry telepon?
"Ya, Mer?"
"Pak, Echa kambuh. Saya enggak sanggup menahan, Pak."
***
. Sampai akhirnya, deru mobil yang memasuki area garasi terdengar jelas.
Tak butuh waktu lama, sosok Tata membuka pintu yang memang sejak tadi tak terkunci.
"Mas ... sudah pulang?"
"Jam berapa ini, Ta?"
Wanita itu menghela pelan. "Aku sudah beri kabar. Ada meeting dadakan dan harus menemukan penyelesaian."
"Jam berapa ini, Ta?" ulang Bhumi, tetapi kali ini disertai tatapan yang sangat dingin dan tajam.
"Sepuluh, Mas."
Tata lelah sebenarnya. Entah ke mana Bhumi yang ia kenali selama ini, yang meyakinkan hatinya untuk masuk dalam dunia rumah tangga. Setiap kali suaminya bertingkah seperti ini, wanita itu selalu mengembalikan 'bayang Bhumi' dalam benaknya, agar selalu 'baik-baik saja' nantinya. Ia belum bisa menerima, kalau sosok Bhumi yang sudah banyak berubahlah yang seharusnya ia hadapi.
"Jam sepuluh, tapi kamu baru pulang? Kamu kerja atau main-main, Ta?" tanya Bhumi dengan suaranya yang lantang. Ia pun bangkit dari duduknya. Langkahnya lebar mendekat pada sang istri. Telunjuknya tepat ia acungkan di wajah Tata. "Kantor aku juga banyak wanita pekerja. Tapi enggak seperti kamu yang pulang selarut ini!"
"Memang ada yang harus aku selesaikan, Mas," erang Tata. Matanya terpejam kuat untuk meredakan emosi yang mulai berkecamuk di benaknya.
"Alah! Banyak betul alasanmu, Ta!" gertak Bhumi. "Kamu itu aku izinkan kerja, tapi bukan untuk menyalahi aturan dan kodrat sebagai istri, Ta. Jam segini baru pulang, kapan kamu siapkan makan malam untuk aku? Air hangat? Bahkan kopi pun aku seduh sendiri! Pikir, Ta! Pikir!"
"Aku harus apa, Mas?" tanya Tata pelan. Tangannya sudah sejak tadi terkepal kuat. Telapaknya merasakan ujung kukunya mulai menggores saking kuatnya kepalan itu. "Aku kerja juga bukan untuk diri sendiri, Mas. Untuk keluarga kamu juga."
"Oh!" Bhumi berdecak sinis. "Kamu ungkit hal ini lagi?" Kemudian terkekeh tak percaya mendengar ucapan istrinya. "Itu dua hal yang berbeda, Ta. Bantu keluarga aku bukan juga dengan mengabaikan tugas kamu sebagai istri!"
"Tapi ini memang pekerjaan aku, Mas!" sentak Tata tak tahan.
"Wah!" Bhumi menatap Tata tak percaya. "Kamu berani bentak aku? Suami kamu?!"
Tanpa belas kasih, tanpa peduli kalau tangan yang melayang mengenai pipi istrinya akan menimbulkan jutaan sakit, Bhumi tetap memberi satu pelajaran pada Semesta Lathika. Berupa satu tamparan keras yang bunyinya memilukan sekali.
"Jangan kamu anggap karena sekarang posisimu sudah menjadi wakil manajer, lalu kamu besar kepala. Lupa dengan tugas sebagai istri di rumah ini! Berlagak seolah-olah karena uang kamulah keluargaku hidup!" desis Bhumi. "Jangan pernah berpikir seperti itu, Ta!" Kemudian, Bhumi meninggalkan istrinya begitu saja. Namun, sebelum benar-benar menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia kembali berkata, "Pantas Tuhan belum mau kasih kita anak. Kamu sibuk dengan urusanmu sendiri!"
Bunyi dengung yang tadi berputar di kepala Tata mulai mereda. Namun, menyisakan rasa perih yang cukup mengganggu di sudut bibirnya. Itu tak seberapa dibanding rasa sakit yang mendadak merajamnya. Kuat sekali, sampai ia merasa seluruh tubuhnya ngilu dan berdarah.
Tiap kali Tata pulang terlambat karena urusan kantornya, Bhumi selalu memakinya. Mengatakan banyak hal yang membuatnya makin sakit hati. Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Bahunya juga makin lama makin bergetar menahan isak. Sampai akhirnya ia pun luruh ke lantai. Mencengkeram kuat kemejanya sebagai pegangan. Agak lama Tata berusaha menormalkan dirinya sampai Bhumi ternyata sudah kembali turun, lengkap dengan satu tas besar.
"Mas, mau ke mana?" tanya Tata sembari buru-buru menghapus air matanya. Bhumi merapatkan bibir. "Aku tahu aku salah, tapi enggak harus diselesaikan dengan keluar rumah, kan, Mas?" tanya Tata yang mengekori langkah Bhumi sampai di depan pintu.
Berhubung tak ada satu pun respons yang suaminya beri, ia menarik agak paksa tangan suaminya.
"Mas!"
"Apa, sih?" sentak Bhumi dengan kasarnya. "Sementara aku tinggal di rumah Ibu sampai kamu bisa berpikir! Yang jernih, Ta, yang jernih! Pikir salahmu apa! Durhaka kamu sama suami melawan terus!"
"Mas maunya aku seperti apa memangnya?!" Tata tak tahan untuk tak menyuarakan tanya dalam benaknya. "Apa?"
"Kamu tahu ucapan aku dengan jelas tadi, kan? Enggak sekali dua kali kita bertengkar dengan hal yang sama."
Tata menggeram kesal. "Kalau begitu besok aku resign!"
Bhumi menatap Tata tak percaya. "Kamu yang enggak paham ucapan aku, Ta!"
"Aku memang enggak paham, Mas. Jelaskan kalau begitu."
Entah kenapa Bhumi malah masih belum mau bersuara.
"Kamu mau aku tetap bekerja. Enggak masalah, Mas. Lagian sejak aku masih sendiri juga aku terbiasa kerja. Makin lama pekerjaan itu menuntut aku, kan? Kamu juga, toh? Kenapa aku disalahkan karena pulang larut? Aku juga enggak macam-macam di luar sana. Aku benar-benar bekerja," kata Tata dengan tersengal. "Sekarang, begitu aku dituntut oleh pekerjaanku, kamu marah. Tapi kamu juga butuh aku bekerja. Iya, kan, Mas?"
Pria itu tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Seharusnya Mas berpikir, kalau enggak ada aku yang bantu ekonomi keluarga ini, akan jadi apa Ibu dan Nilam!" Terlontar sudah apa yang ia tahan selama ini. mendapatkan tuntutan dari mereka berdua, Tata memilih diam. Kali ini, ia benar-benar di ambang batas.
Ucapan itu membuat Bhumi menarik sudut bibirnya tipis sekali. "Hebat. Istri aku hebat sekali. Sudah pandai mengungkit. Pantas Ibu selalu bilang, kamu itu hanya manis di depannya saja."
Ini berbeda scene sama yang sebelumnya ya? Jangan lupa dikasih penanda/separasi biar paham itu udah berpindah adegan. Jangan langsung disatuin aja, kerasa ada loncat bagian beda.
Klo mau, kasih opening narasi di adegan baru atau cukup kasih ***
Kayaknya kehapus sama aaku bintangnya . versi di wattpad ada hahahha
Selama mendapatkan tuntutan dari mereka berdua,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top