Keping 19


Jagad tak tau harus mengatakan apa. Ia sungguh merasa tak enak hatinya karena tingkah sang putri. Bagaimana bisa Echa mengamuk sejadi-jadinya saat tau kalau Tata tak akan satu mobil dengannya. Beruntung rekan kerjanya seperti memahami kalau Echa tak bisa hanya dibujuk sekadar kata. Apalagi ia tagih janji mainnya bersama Tata.

"Saya benar-benar minta maat, Ta," kata Jagad sesaat setelah mobil yang mereka kendarai berhenti di depan rumah dua lantai yang Tata arahkan alamatnya.

"Enggak apa, Pak." Tata tersenyum. "Saya hitung sudah tiga kali Bapak minta maaf karena hal ini aja." Ia juga bersiap untuk turun karena tujuannya sudah tiba. "Saya juga berterima kasih sudah diantar pulang."

"Sudah keharusan saya kalau itu." Jagad melepaskan diri dari tautan seat beltnya. Setidaknya mengantarkan Tata sampai gerbangnya terbuka, juga bertemu suaminya memastikan kalau rekan kerjanya benar-benar masuk ke dalam rumahnya, adalah sesuatu hal yang sopan.

Toh ... ia tak memiliki pemikiran apa pun mengenai anak buahnya termasuk Tata.

"Echa," panggil Tata pada gadis yang fokus pada rubiknya. Tata berusaha sekali untuk mengejar fokus Echa meski sulit tapi ternyata, meski matanya tak beradu pandang Echa masih punya perhatian pada lawan bicaranya. Seperti sekarang. Walau Echa tak menatap Tata, tapi wanita itu yakin Echa mendengarkannya. "Tante pulang, ya. Sudah seharian kita bermain tadi, kan? Echa pasti capek."

Echa menghentikan geraknya memutak kotak rubik.

"Nanti kita bertemu lagi, ya. Main bersama lagi."

"Kapan?" tanya Echa pelan. Matanya menatap lurus pada kaca depan mobil. "Echa mau main sama Tante lagi."

"Iya. Tante usahakan kita main lagi, ya."

"Kapan?" tanya Echa.

Pertanyaan Echa ini membuat Tata bingung. Ia tak bisa berjanji sembarangan lagi. Sepertinya bocah perempuan ini berpegangan kuat sekali dengan janji yang pernah terucap. Untung saja Jagad sepertinya cepat tanggap.

"Sabar, ya, Echa. Tante Tata, kan, kerja. Repot juga. Nanti kalau Tante Tata ada waktu luangnya, kita main sama-sama lagi, ya."

Echa terdiam.

Sebenarnya Tata tak tega juga tapi mau bagaimana lagi. Ia tak bisa terus menerus bersama Echa.

"Jangan sedih. Nanti Tante Tata juga ikutan sedih, Cha." Kali ini Merry bersuara. Diusapnya pelan rambut Echa yang kini sudah tergerai. Ia juga memberi kode pada Tata untuk turun dari mobil di mana Echa sudah bisa ditinggal. Hal itu langsung dimanfaatkan Tata untuk turun dari mobil. ia juga menyadari kalau Echa serta sang bos pastinya lelah. Seharusnya mereka sudah tiba di rumah tapi karena keinginan Echa untuk bermain di salah satu mall yang bilangan Karawaci, membuatnya harus menunda kepulangan mereka.

"Tante pulang, ya," pamit Tata sembari tersenyum. Meski tak ditanggapi apa-apa oleh Echa, tapi tak jadi soal. Selama Echa masih tenang, Tata tak terlalu risau. Dibantu Jagad, Tata mengeluarkan koper dari dalam garasi mobil.

"Sekali lagi terima kasih, Ta," kata Jagad dengan tulusnya.

"Iya, Pak." Tata mengangguk saja. "Saya masuk dulu kalau begitu, Pak. Hati-hati di jalan."

Jagad biarkan Tata masuk ke dalam gerbang hitam yang cukup tinggi itu. Terlihat juga ada seorang wanita paruh baya yang menyambutnya. Dirasa cukup, Jagad pun kembali ke mobilnya. Memerintahkan supir untuk segera pulang ke rumah. Ia juga yakin Echa lelah karena bermain tadi.

Masih lekat dalam ingatan Jagad bagaimana Tata memperlakukan putrinya. Sabar sekali. padahal Echa sering sekali bertingkah. Entah itu tiba-tiba mendorong Tata dengan kerasnya, berlarian dengan kencangnya sampai Tata kewalahan untuk mengimbangi. Jagad tak diperbolehkan ada di dekat Echa. Gadis itu menjerit tak terima saat sang ayah ingin ikut bermain bersama.

Katanya, "Echa main sama Tante. Bukan Daddy!"

Jagad mengalah. Memilih untuk memperhatikan keseruan mereka yang seolah tak kehabisan tenaga. Bahkan Merry sendiri tak percaya kalau Echa bisa dekat dengan orang lain selain anggota di rumah Jagad.

"Kita pulang, ya, Echa," kata Jagad sesaat setelah mobil berhasil putar balik dari arah perumahan tempat tinggal Tata tadi.

"Kapan main dengan Tante lagi?" tanyanya pelan. ada sendu di sana tapi ia tak boleh menangis. Ia sudah berjanji untuk pulang bersama dan Tata diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Sama seperti dirinya yang harus istirahat di kamarnya.

"Nanti Daddy tanyakan, ya."

"Kapan main lagi?"

Pertanyaan itu terus saja Echa ulang sampai mereka tiba di rumah. Yang mana Jagad terkadang tanggapi, kadang lagi tidak. Biasanya kalau sudah seperti itu, Merry menenangkan dan mengalihkan pikiran Echa dengan mendongeng. Untungnya cara itu selalu berhasil membuat Echa jauh lebih tenang.

Padahal rencana Jagad, ia membersihkan diri sejenak baru kembali memulai menyusun laporan perjalanan dinas kemarin. Meski Tata sudah membuat dalam satu draft kasar tapi Jagad tetap harus koreksi. Namun rencana tinggallah rencana.

"Hai, Jagad," sapa seseorang dengan senyum semanis madunya. Yang mana senyum itu pernah membuat Jagad bertekuk lutut dengan bodohnya. Tapi sekarang tidak.

Jagad tak pernah lagi menyukai senyum wanita. Apalagi dengan bibir berpemulas merah menyala.

Seperti wanita di depannya ini.

"Lama enggak jumpa, ya." Jemari dengan kuku berlapis warna maroon itu terulur mengarah pada Jagad. Yang mana sudah barang tentu ditepis begitu saja oleh sang pria. Tak masalah. Rahayu terbiasa ditolak Jagad sekarang. Justru ia merasa saatnya kembali menundukkan pria yang sempat singgah di hidupnya.

"Mau apa kamu?"

Bukannya merasa takut atau terancam, wanita itu justru tertawa. "Astaga, Jagad. Kenapa kasar sekali."

Jagad menggeram kesal. Merry yang menggendong Echa pun tampak terpaku karena sosok wanita yang ada di depan Jagad. Pelukannya pada sang bocah ia pererat. Berusaha sekali agar dirinya tenang.

"Masuk, Merry," perintah Jagad.

"Baik, Pak." Merry segera melangkah memasuki rumah.

"Padahal aku rindu anakku, lho, Jagad," kata sang wanita dengan sendu. "Aku enggak boleh bertemu?"

"Pergi, Yu." Jagad masih berusaha untuk mengontrol emosinya.

"Kenapa? Apa aku enggak boleh bertemu dengan anakku, Jagad? Anakku, lho, bukan anakmu."

Tangan Jagad mengepal kuat. Giginya saling menggertak satu sama lain. "Pergi sebelum kesabaranku habis," desis Jagad.

"Salah, ya, kalau aku mau bertemu?"

"Pergi!!!" sentak Jagad tak kira-kira lantangnya. "Jangan pernah ucapkan kata-kata yang membuatku muak, Rahayu!"

***

Kakak sekalian, terima kasih sudah tinggalkan komentarnya. Jadi makin semangat untuk nulis. Semoga kisah ini sesuai dengan ekspektasi kakak sekalian ya. 

Besok aku usahakan tetap update. Kalau enggak bisa, mohon maaf ya. Aku dikejar sama tumpukan berkas di keluharan. Next part aku jamin enggak kalah seru, kok.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top