Keping. 16
"Semoga dinasmu menyenangkan," kata Jenni sembari tersenyum semringah juga tak lupa, tangannya melambai penuh semangat sebelum Tata benar-benar menaiki taksi pesanannya.
"Apaan, sih, kamu," sungut tata tapi tak bisa membuat dirinya kesal diperlakukan seperti itu oleh Jenni.
"Nanti aku kasih rekomendasi tempat yang seru untuk refreshing meski singkat."
"Aku kerja, Jen."
"Aku tau," sela Jenni tak kalah cepat. "Sudah sana masuk. Jangan sampai ketinggalan pesawat. Semuanya sudah kamu bawa, kan? Jangan sampai ada yang tertinggal, Ta."
Ah ... memiliki Jenni di sekitar hidup Tata yang menggenaskan ternyata bisa membuatnya tak henti-henti bersyukur. "Aku berangkat, ya."
Jenni dan Amel pun melepas kepergian dinas Tata penuh semangat. Bagi Jenni, siapa tau ini awalan dari hidup Tata yang baru. Saat ia ungkapkan pemikirannya, Tata malah tertawa. Katanya, "Muluk sekali mimpimu, Jen, Jen. Aku itu dinas. Bukan mainan."
"Iya dinas, Ta. Tapi sambil menikmati hidup kamu yang selama ini enggak bisa kamu hirup."
Tata mengibaskan tangannya tak percaya. Namun sepertinya, ia harus mulai memikirkan ucapan sang sahabat. Mungkin ... ada benarnya. Selama perjalanan ke bandara, Tata memilih menikmati saja sampai di terminal tempat dirinya janji temu dengan sang bos sebelum take off.
Tata tampak terkejut mendapati sosok bocah yang pernah menggigitnya ada di samping sang ayah. Meski kini ia melihat ada ketenangan dalam sorot mata gadis yang sebenarnya cantik itu, tapi Tata masih sedikit menjaga jaraknya. Ah ... beruntungnya Jagad, bisa diantar sang anak kala dinas.
Dirinya? Jangan tanya.
Dicengkeramnya agak kuat pegangan koper dan mulai menciptakan senyum di wajah. Jangan sampai terlihat muram dan terpaksa pergi dinas meski agak khawatir karena ini perjalanan pertamanya.
"Echa beri salam sama Tante," kata Jagad begitu sosok Tata sudah ada di jangkauannya.
"Hai, Echa," katanya berusaha ramah. "Ingat Tante?"
Echa hanya melirik sekilas tapi kemudian buang muka. Kembali fokus pada boneka yang tengah ia peluk. "Pesawat datang?" tanyanya pada sang pengasuh. Merry tersenyum meminta pemakluman dari rekan kerja sang majikan. Tadi pagi mereka berdua cukup dibuat kerepotan. Echa tak bisa mengontrol kembali emosinya. Jagad sampai tak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti pintanya.
Yang ia khawatirkan perkara tiket pesawat. Benar saja. Jagad tak bisa menemukan tiket pesawat yang cocok dengan keberangkatan dirinya. Semua tiket ke Medan penuh. Tapi ia tak bisa meninggalkan Echa yang mengamuk minta ikut. Mungkin saat nanti Echa melihat pesawat, bisa reda keinginannya untuk ikut dan kembali pulang bersama Merry.
"Daddy pergi dulu, ya. Echa sama Mbak Merry di rumah tunggu Daddy?" tanya Jagad sembari menyejajarkan tingginya di depan sang putri. Diusapnya penuh sayang rambut Echa yang hitam lebat itu.
"Ikut Daddy." Echa mengerjap. "Tidak Tante."
Jagad terkekeh. "Tante Tata ikut Daddy untuk bekerja. Bukan bermain."
"Bukan?"
Jagad menggeleng. "Daddy janji saat pulang nanti, kita main di salju." Kelingking Jagad diacungkan perlahan. "Oke?"
Agak lama Echa menatap Jagad lalu mengarah pada Tata. Bukannya menautkan seperti biasanya, Echa justru menghampiri Tata. "Tante baik?"
Tata yang terkejut mendapat pertanyaan itu, bolak balik menatap Jagad dan Merry. Tapi sejurus kemudian, Tata tersenyum lebar. "Baik."
"Sakit?"
Ah ... mungkin bekas gigitan Echa saat itu. Segera saja Tata menggulung kemejanya. "Ini?" tunjuknya pada lengannya yang tampak biasa saja. "Sudah enggak. Tante enggak sakit sama sekali."
Echa mengalihkan matanya. Tangannya saling bertautan seperti bingung.
"Echa mau bicara?" Tata sedikit mendekat dan berjongkok di depan sang gadis.
"Maaf," kata Echa pelan. "Echa nakal."
Tata tersenyum lebar sekali. "Permintaan maaf diterima." Ia pun mengulurkan tangannya. "Sekarang kita berteman?"
Agak lama serta matanya juga tak terfokus pada tangan sosok wanita yang tampaknya baik di depannya ini. Ada ragu juga tapi gadis itu agak penasaran seperti apa bersalamanan? "Kita teman." Echa memilih untuk bersembunyi di balik punggung Merry. "Pulang."
Merry menatap Jagad segera di mana sang majikan terkekeh jadinya.
"Echa benar-benar ingin pulang?" Jagad berdiri yang mana Tata pun melakukan hal yang sama.
"Iya. Pulang."
"Ya sudah kalian pulang. Say sebentar lagi take off."
"Baik, Pak." Merry pun menggenggam tangan anak majikannya. Menuntunnya perlahan setelah berpamitan pada ayahnya meski hanya sebatas pelukan singkat. Echa memang tak terlalu suka disentuh kecuali dirinya yang memulai. Atau saat ia tengah lepas kendali dan mengamuk. Hanya pelukan ayahnya lah yang ia butuhkan. Merry bisa merasakan kasih sayang demikian besar dari Jagad untuk Echa.
Walau ia tau ... kisah di balik adanya Echa di rumah besar milik majikannya itu.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Jagad setelah berdeham sekilas. Matanya sejak tadi tak ia alihkan ke mana-mana selain memperhatikan Echa. aad rasa khawatir sebenarnya tapi melihat ketenangan yang Echa beri lewat sorot matanya, setidaknya Jagad tak terlalu ragu untuk meninggalkannya dinas beberapa hari ke depan.
"Mari, Pak." Tata tersenyum menanggapi ucapan Jagad. Sebenarnya apa yang Jagad lakukan tak luput dari penglihatan Tata. Meski memiliki anak berkebutuhan khusus, sepertinya rasa sayang Jagad bukan hal main-main.
***
Tata mendapatkan kamar yang cukup nyaman di sini. meski pemandangannya sebagian besar adalah jalan raya yang cukup ramai, tapi setidaknya ada balkon yang bisa ia jadikan tempat melepas penat. Secangkir kopi sudah menjadi pelengkapnya menikmati malam di Medan. Esok akan menjadi hari yang panjang setelah tau, rundown yang akan ia jalankan bersama Jagad selama di sini.
Laporan dan analisa marketing untuk Jiayi serta brancg sales di Medan sudah ia pelajari dengan baik. Beberapa point yang akan ia bahas pun sudah dikantungi serta sore tadi pun ia sempat membahasnya dengan sang bos. Persiapannya sudah oke. Tinggal pelaksanaannya saja.
"Enak banget kopinya," kata Tata sembari menghirup aroma yang kini memenuhi indera penciumannya. Ditemani beberapa potong bolu meranti, ia benar-benar menikmati malam ini dengan sangat baik. Namun keseruannya terinterupsi sejenak dengan ketukan pintu.
"Siapa, ya?" tanya Tata dari dalam. Bodohnya, ia bisa melihat lewat lubang yang ada di pintu kamarnya! Astaga, Ta! Kenapa bodoh sekali?
"Saya, Ta."
Jagad? "Pak Jagad?" Tata berusaha mengonformasi kalau suara yang ia kenali adalah benar milik Jagad. Segera ia buka pintu dan mendapati sosok sang bos ada di sana.
"Maafkan saya ganggu kamu." Diulurkannya tablet di mana suara tangis yang cukup memekak. "Echa cariin kamu, Ta. Bisa bantu saya?"
"Oh iya, Pak." Tata segera mengambil tablet itu dan bicara dengan Echa agar gadis kecil itu menghentikan tangisnya. Agak susah, sih, tapi Tata berusaha agar suaranya bisa didengar.
"Tante?" tanyanya dengan isak di sana. Hidungnya memerah ditambah pipinya juga lembab karena air mata. "Tante."
"Iya, ini Tante. Echa kenapa harus nangis cari Tante?"
Echa segera mengusap air matanya. "Echa mau Tante."
Tata melongo.
"Echa mau Tante!!!"
Kali ini suaranya jauh lebih memekik dan tangisnya lebih keras ketimbang tadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top