Keping. 1
Beberapa bulan lalu.
Semesta tersenyum tipis menatap hasil masakan yang baru saja selesai ia kerjakan sepagian ini. Sabtu yang cukup melelahkan, tetapi dirinya tak boleh mengeluh. Satu jam lagi ia harus stand by, memantau segala hal yang berkaitan dengan perjalanan dinas sang bos. Meski berada di rumah, tetapi sebagai wakil manajer marketing ShopaShop, ia tak bisa diam saja menunggu hasil.
"Mas ... makan dulu," tawar Tata begitu melihat sosok suaminya keluar dari kamar. Ada kernyitan di dahinya. "Mas mau ke mana?"
Sosok yang ditanya hanya melirik sekilas, memindai penampilan istrinya, lalu berdecak. "Kamu itu bagaimana, sih? Hari ini acaranya Nilam. Jangan bilang kamu lupa?"
Tata menggali dengan cepat, kapan informasi mengenai acara dalam keluarga besar suaminya itu terselenggara. Namun, nihil. Tak ia temukan satu rangkai kata mengenai acara yang dimaksud.
"Aku ... enggak tahu, Mas."
"Alah!" Sang suami, Bhumi Kaspia, mengibas tangannya penuh enggan. "Kapan kamu tahu? Acara keluargaku selalu dinomorduakan."
Wanita berambut sepunggung itu mengerjap. "Ya, enggak gitu, Mas. Aku memang enggak tahu."
"Nilam sudah kasih tahu kamu, Ta. Kamu yang enggak peduli kalau adik aku beri tahu apa pun." Bhumi menekan kata 'apa pun'. Matanya juga menatap sang istri penuh penghakiman. "Kita berangkat sebentar lagi. Aku tunggu kamu tiga puluh menit lagi."
"Tapi, Mas," sela Tata dengan cepatnya. "Setelah ini aku ada meeting. Kamu tahu, kan?"
Bhumi lagi-lagi berdecak.
"Meeting?" Ia pun menggeleng tak percaya. "Terserahlah. Kapan kamu bisa memosisikan diri sebagai istri yang baik, Ta? Selalu dengan kerja, kerja, dan kerja."
"Mas, kita sudah sepakat tentang ini, kan?"
Bhumi tak jua menurunkan sikapnya terhadap sang istri. Batinnya terlalu muak dengan sikap Tata yang terus-menerus mendebatnya. "Enggak sekali dua kali, Ta, kamu seperti ini."
Kemudian, pria berkemeja biru langit itu meninggalkan istrinya begitu saja. Seolah-olah tahu, sang istri tak akan mengimitasi langkahnya. Benar saja. Sampai kakinya ada di ujung pintu, Tata tak jua mengekorinya. Sengaja ia banting pintu rumahnya dengan keras. Suara memekak menjadi pengiring kepergiannya kali ini.
Sementara, Tata mengepalkan tangannya. Merasa kesal dan geram. Tiap kali berkaitan dengan keluarga dari pihak Bhumi, ia selalu disudutkan. Dirinya bukan orang yang serampangan terhadap satu kabar. Apa kata Bhumi tadi? Nilam mengabarinya? Kapan?
Bergegas ia ambil ponsel di meja makannya. Membuka semua pesan yang masuk, terutama dari Nilam. Tak ada pesan apa pun di sana. Termasuk di dalamnya, catatan panggilan dari Nilam. Memang benar, ada satu kali telepon tak terjawab dari sang adik ipar seminggu lalu, tetapi tak ada pesan lainnya. Lantas dari mana dirinya tahu kabar ini?
"Kalau aku debat juga tetap saja aku yang salah. Dibilang aku yang terlalu sibuk bekerja," cibir Tata kemudian. Ia mendesah pelan. Netranya sekali lagi harus puas, masakan yang sengaja ia siapkan untuk sang suami, entah kapan akan dinikmati. "Padahal Mas Bhumi tahu, aku bekerja untuk siapa."
Jemari yang masih setia memegang ponselnya adalah saksi, betapa banyak pesan 'menuntut' yang Nilam beri.
Mbak, jangan lupa biaya berobat Ibu makin besar, lo. Mas Bhumi sudah kasih jatah untuk kebutuhan rumah, tapi Mbak tahu, kan, itu enggak cukup? Ridho baru kerja, Mbak. Jangan diandalkan.
Nilam:
Mbak, obat Ibu habis. Mas Bhumi belum dapat uang. Katanya suruh minta sama Mbak aja. Untungnya Mbak kerja, ya. Baguslah. Kasihan, kan, Mas Bhumi kalau harus menanggung sendiri.
Nilam:
Mbak, Bapak mau beli alat kesehatan. Sudah aku cek harganya, dua juta setengah. Bagus kok. Nanti transfer. Sudah aku pesan.
Nilam:
Mbak, si Kay mau ada acara di sekolahnya. Dia minta sepatu baru. Mas Bhumi tadi beliin tas. Sepatunya dari Mbak, ya.
Bhumi tahu?
Jelas pria itu tahu. Justru suaminyalah yang meminta Tata untuk terus bekerja. Jangan resign dan bertahan apa pun yang terjadi di kantornya. Semua demi apa? Penunjang tambahan keluarganya yang penuh tuntut itu. Apa Tata menanggung keluarganya? Tidak. Ia telah lama menjadi yatim piatu. Menghidupi diri sendiri dan merasa gembira karena memiliki keluarga 'utuh'.
Sayangnya ....
Tata menghela pelan. Jam di tangannya sudah menunjuk pukul 10.00. Ia harus bergegas menyiapkan bahan meeting. Harus segera ia alihkan rasa menyesakkan yang menyelimuti hatinya ini. Jangan sampai ini semua mengganggu konsentrasinya. Sang bos tak pernah menyinggung kealpaan Semesta saat dinas yang sebenarnya harus ia hadiri. Sebagai ganti, dirinya diminta untuk siaga saat bosnya meminta data.
***
Mobil inventaris kantornya sudah ia parkir tepat di tepian rumah yang cukup ramai ini. Sebelum melepas sabuk pengamannya, ia lebih dulu menarik dan mengembuskan napas perlahan. Memupuk hal-hal positif, karena pastinya, berada di sana bukan hal yang mampu membuat hatinya merasa bahagia.
Batinnya disiksa.
Satu paper bag besar berlogo salah satu bakery ternama sudah ada di tangan kanannya. Pantang baginya melenggang tanpa beban untuk masuk ke dalam rumah bercat beige ini.
"Ayo, Ta. Semangat!" katanya pelan sebagai bentuk kalau dirinya pasti bisa melalui sore ini. Toh, bukan setahun dua tahun ia berada di kondisi sekarang. Benaknya menghitung ... ah, sudah sepuluh tahun rupanya. Lantas apa yang membuatnya risau?
"Tante Tata!" pekik seorang anak yang sangat ia kenali; Kayyish. Putri dari Nilam dan Ridho, adik iparnya.
"Halo, Kay."
Untuk gadis berusia 8 tahun ini, rasa sayang Tata cukup besar. Betapa ingin ia juga memiliki satu 'Kayyish' di dalam hidupnya. Namun, Tuhan sepertinya belum merestui.
"Kok, Tante datang terlambat? Acaranya mau selesai, lo," kata Kayyish dengan kerjapan sendu. "Padahal tadi seru."
Tata tersenyum tipis. "Masih ada kerjaan yang harus Tante lakukan."
"Kerja terus, ya, Mbak. Sampai lupa kalau ada acara di rumah," kata Nilam cemberut. Ia menyambut kedatangan Tata dengan tangan bersedekap.
Semesta tak ingin meladeninya, lebih memilih mengatakan, "Iya, Nilam. Maaf, ya. Ini aku bawakan bolu dan brownies kesukaan kamu dan Ibu."
Kerutan di bibir Nilam mulai pudar. Berganti dengan senyum semanis madu terutama saat paper bag itu beralih.
"Ih, ngerepotin aja, Mbak."
Kemudian, ia melenggang begitu saja. Tanpa peduli, kalau sosok kakak iparnya masih ada di pekarangan rumah. Tangan mungil Kayyish-lah yang menarik Tata untuk masuk ke dalam rumahnya. Dirinya sudah sangat terbiasa diperlakukan seperti itu oleh Nilam. Sudah tak lagi ia jadikan beban. Percuma juga hal itu ada di pikirannya. Tak jua ia mendapatkan pembelaan mengenai sikap sang adik ipar padanya.
"Hanya masalah sepele seperti itu kamu ngeluh, Ta? Wajarlah, Nilam langsung ninggalin kamu gitu aja. Dia pasti repot. Punya Kayyish juga. Andai kamu punya anak pasti tahu, rasa repotnya punya anak."
Begitu yang Bhumi pernah katakan padanya.
Ini baru dari adik iparnya. Masalah sesungguhnya ialah ....
"Wah, kamu datang di saat semuanya sudah beres, Ta," kata wanita paruh baya yang duduk di samping suaminya. Tersenyum lebar, tetapi Tata tahu, senyum itu penuh dengan kesinisan.
"Maaf, Bu. Tadi Tata masih ada sisa pekerjaan."
Rieka, nama wanita itu berdecak kesal.
"Kerja terus, Ta. Kapan enggak sibuk? Ini acara adik kamu, lo. Apa kamu enggak anggap Nilam itu adik? Begitu?"
"Enggak, Bu."
Tata mendekat, ragu untuk mengulurkan tangannya. Bukan tak mungkin ia menerima tepisan pelan dari sang mertua. Kepalanya juga sejak tadi mencari alasan yang paling tepat agar bisa keluar dari situasi ini. Suaminya, yang duduk santai sembari menikmati secangkir kopinya, mana mau untuk sekadar menenangkan hati sang ibu.
"Tapi nyatanya kamu datang setelah acara selesai. Kamu tahu, kan, Nilam punya Kayyish. Ada Ibu juga yang harus diladeni. Kamu hanya sibuk dengan urusan kamu aja. Masmu, lo, bantu-bantu di rumah ini. Dia juga kerja, kan? Sibuk juga. Masih sempat luangkan waktu. Kamu? Tinggal menikmati apa yang ada saja?"
Tata terdiam.
"Kamu menantu sulung bukannya memberi contoh ke adik iparnya, malah seperti ini. Bhumi pasti sudah kasih tahu kamu, kan? Kamu yang keras kepala pastinya. Apa kamu merasa hebat sekarang, Ta?"
"Enggak, Bu." Tata berusaha untuk membela dirinya. Tangannya sampai terkepal kuat. Buku jarinya memutih saking geram yang ia punya, besar sekali. "Maafkan Tata, Bu. Tata yang salah."
Hanya itu yang bisa ia katakan.
"Kalau sibukmu karena anak, Ibu mengerti. Sampai sekarang saja kamu enggak punya anak, kok, sibuknya sudah seperti presiden." Rieka berkata dengan nada penuh sindir. "Sudahlah. Ibu malu punya menantu macam kamu."
Format SMS tolong diubah kek gini ya, mba. tolong diubah yang bawah-bawahnya.
Kayak format WA, balon chat kanan kiri.
Kalau kitanya yang balas ada di sebelah kanan, chatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top