J-9; Sisi Lain
Karena gereja tempat aku bertumbuh itu berada di dalam mall, jadi setelah selesai beribadah, aku dan Jack mendatangi food court mall untuk mencari makan malam.
Malam itu aku memilih untuk makan ramen, sedangkan Jack memilih untuk makan nasi goreng seafood. Karena Jack pernah bilang kalau dia makan malam tanpa nasi itu tidurnya tidak akan nyenyak.
"Temenin aku ke Sumatera, yuk. Mau nggak?"
Hampir saja aku tersedak kuah ramen ketika mendengar permintaan Jack. Selama ini aku tidak pernah meninggalkan Cafe Teapilog, kalau aku ke Sumatera otomatis aku harus meninggalkan Teapilog, bukan? Ya, meskipun tidak selamanya aku meninggalkan Teapilog, tapi....
"Aku kangen Damang, pengen nengokin."
Dahiku mengernyit, sudah lama sekali aku tidak mendengar sebutan Damang. Damang atau Amang dalam bahasa Batak bermakna Ayah.
"Ke Sumatera?"
Sambil memakan nasi gorengnya, Jack mengangguk. Aku masih ragu jika ingin meninggalkan Jakarta begitu saja.
"Kalau kamu nggak mau, yaudah nggakpapa kok. Aku bisa ke sana sendiri."
Jack tersenyum pahit, lalu dia memalingkan pandangannya kearah nasi gorengnya. Aku menghela nafas berat. Ya sudahlah, tidak apa-apa aku meninggalkan Teapilog, hitung-hitung untuk refreshing. Lagiankan ada Rofi yang bisa meng-handle.
"Aku mau kok."
Jack mendongak, matanya berbinar, "Serius?"
Dengan ragu aku mengangguk. Mana bisa aku membiarkan perempuan itu pergi sendirian. Tunangan macam apa aku ini kalau tidak mau menemani calon istri menjenguk Ayahnya di kampung halaman?
"Baiklah, besok kita berangkat. Oke?"
Aku melotot tidak percaya mendengar Jack mengatakan kata 'besok'.
"BESOK?!"
Jack terkekeh dan mengangguk kikuk. Sial! Kenapa harus secepat itu sih?!! Kan aku belum persiapan!
Huh, Jack menyebalkan sekali!
≠≠≠≠
Perjalanan dari Jakarta ke Sumatera Utara itu menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam lewat. Karena tidak ada lampu merah di udara, jadi penerbangan kami tidak mengalami kemacetan. Untung saja kami bisa turun di Bandara Silangit dengan selamat. Thanks God!
Dari bandara ke Dolok Sanggul menghabiskan waktu kurang lebih 47 menit. Kami menaiki mobil milik Tulang Yobel--pamannya Jack--dari bandara hingga menuju ke tempat tinggal Jack.
Selama di perjalanan Tulang Yobel tidak henti-hentinya bercerita tentang perkebunan kopi milik Jack. Sesekali aku akan ikut ke dalam percakapan jika ada yang mengusik telingaku atau kalau Tulang mengajak bicara.
Saul Simamora--Ayah Jack--memang asli Sumatera Utara, tetapi ketika kuliah di Jakarta, Om Saul bertemu dengan Sheila--Ibunya Jack--lalu mereka menjalin kasih dan berakhir dengan Om Saul menetap di Jakarta. Jack lahir di Jakarta, jadi dia tidak bisa berbahasa Batak dengan fasih. Dia hanya mengerti sedikit-dikit.
Setelah kami sampai di rumah panggung beratap daun ijuk yang berbentuk seperti pelana kuda itu, kami disambut baik oleh Ompung Doli dan Ompung Boru--kakek, nenek dalam bahasa Batak--mereka ini adalah orang tua kandung dari Om Saul.
Karena sudah melewati perjalanan udara dan darat yang sangat melelahkan, dengan terpaksa kami harus menolak ajakan makan dari Ompung Doli dan Ompung Boru. Kami lebih memilih untuk beristirahat di kamar, dan untungnya Ompung Doli dan Ompung Boru tidak keberatan dan memaklumi.
"Aku berasa di planet lain tahu nggak. Ya ampun, aku bener-bener nggak paham tadi waktu denger Ompung Doli ngomong sama Tulang kamu."
Jack tertawa, sekarang aku sedang bersandar nyaman di atas dada Jack. Tangan kanan Jack mengusap-usap kepalaku, dan tangan yang lainnya memeluk perut bagian sampingku.
"Jangankan kamu, aku aja juga pusing."
Aku mendongak menatap Jack, dia masih mengusap-usap kepalaku dengan lembut.
"Kamu gimana sih orang Batak kok nggak bisa ngomong Batak?"
Jack kembali tertawa, "Halah kayak kamu nggak aja. Kamu mojang Bandung juga nggak bisa bahasa Sunda, selain; kumaha damang, aya-aya wae, kumaha atuh, hatur nuhun, wilujeng sumping."
Bibirku mengerucut ketika mendengar perkataan Jack yang ada benarnya. Dia sedikit menunduk untuk melihat wajahku. Jack tersenyum.
"Ya kan aku bukan asli Bandung, cuma numpang lahir aja di sana. Dan kebetulan orang tuaku tinggal di sana juga karena pekerjaan. Tapi kan aslinya aku dan orang tua dari Jakarta."
Jack mencubit gemas pipiku, "Kamu nih bisa aja cari-cari alasannya."
"Ih, itu bukan alasan tapi kenyataan tahu!"
"Ya sudahlah terserah kamu, aku percaya aja deh."
"Ih!"
"Ah ih ah ih mulu kamu, aku cium loh."
Kembali bibirku mengerucut mendengar perkataan Jack. Lalu aku membenarkan posisi tidurku agar tidak bersandar lagi pada dada Jack. Tangan Jack juga sudah tidak memelukku lagi. Kini aku tidur telentang menatap atap rumah Adat Bolon yang terbuat dari daun ijuk.
Jack pun merapatkan tubuhnya mendekati tubuhku. Posisi kami sama-sama telentang, namun sisi kanan tubuhku saling bersentuhan dengan sisi kiri tubuh Jack. Tangan kiri Jack aku pakai sebagai bantal.
"Aku merindukan masa kecilku, aku merindukan kebersamaanku dengan Damang. Dulu kalau libur sekolah, aku pasti di ajak ke Sumatera sama Damang. Selama liburan, Damang selalu mengajari aku tentang cara merawat perkebunan kopi."
Terdengar helaan nafas dari Jack, aku menoleh menatap perempuan itu. Dia masih menerawang menatap lurus ke atas sana. Karena merasakan kesedihan Jack, aku memeluknya dari samping, kepalaku kembali bersandar di atas dadanya.
"Jangan di lanjutkan kalau kamu tidak kuat, Jackie."
Jack tertawa hambar. Dulu selama pacaran, Jack memang jarang menceritakan tentang keluarganya. Yang aku tahu hanyalah Jack sangat dekat dengan Ayahnya dibanding dengan Ibunya.
"Karena Damang, aku jadi mencintai kopi. Bahkan sangat mencintainya. Sebenernya, setelah selesai rehabilitasi, aku ingin menjadi petani kopi, namun takdir berkata lain. Aku harus mencari separuh jiwaku yang menghilang sebelum aku memantabkan diri menjadi petani kopi dan meninggalkan mimpiku sebagai penulis lagu."
Aku tertegun mendengar perkataan Jack. Terkadang Jack menjadi orang yang sangat mellow seperti ini. Dibalik wajahnya yang suka tersenyum, ada secercah rasa sakit yang harus dia simpan.
"Siapa belahan jiwamu?"
Jack menghembuskan nafasnya, lalu mencium kening ku agak lama.
"Kamu adalah belahan jiwaku, Erika."
Aku menelan ludahku mendengar ucapan Jack. Kembali aku merubah posisiku supaya tidak tidur bersandar pada dadanya. Posisiku berubah menjadi menyamping, kini aku dapat melihat wajah bagian samping kiri Jack.
"Itukah alasanmu melamarku setelah setahun tidak bertemu?"
Jack ikut merubah posisinya, dia tidur menyamping ke kiri. Kini kami tidur saling berhadapan. Tangan kanan Jack terulur untuk merapikan poniku, kemudian tangan itu menangkup pipiku.
"Aku tahu kenapa kamu memutuskan aku waktu itu. Kamu putus denganku bukan karena kamu sudah tidak sayang lagi, tapi karena kamu ingin menghukumku bukan?"
Aku tersenyum, sebelah tanganku meraih tangan Jack yang berada di atas pipiku, lalu aku membawa tangan itu agar bisa aku dekap dan ku cium.
"Aku tahu kamu masih menyayangiku, Erika. Begitu juga dengan aku. Aku masih tetap menyayangimu, kamu adalah definisi bahagiaku. Maafkan aku yang dulu, aku yang bodoh, aku yang lebih memilih barang haram, dan tidak melihat ada malaikat yang begitu baik yang mau menemani aku di masa-masa suramku."
Aku kembali mencium tangan Jack yang berada dalam genggamanku. Aku paling benci ketika aku tidak bisa membendung air mataku sendiri. Jack berkata begitu tulus, tatapan nanarnya membuat air mata ini turun dengan sendirinya.
Ingatan dimana Jack menggila karena ditinggal pergi oleh Ayahnya kembali terputar dalam benakku. Dulu ketika memasuki tahun kedua masa pacaran kami, Jack harus menerima kenyataan bahwa Ibu dan Ayahnya sudah tidak bisa bersama-sama lagi.
Waktu itu Jack marah pada kenyataan, kekecewaannya yang tidak bisa dibendung membawa dirinya menjadi seorang pemabuk dan perokok berat. Waktu itu tidak ada satu niatpun untuk aku pergi meninggalkannya, aku ingin berada di sampingnya, agar Jack kembali pada jalannya.
Hingga memasuki dua setengah tahun masa pacaran kami, Jack kembali harus mendengar berita duka. Setelah semua urusan perceraian itu selesai, Ayah Jack kembali ke Sumatera, namun sayangnya pesawat yang ditumpangi oleh Ayah Jack harus mengalami kecelakaan, dan nyawa Ayah Jack tidak bisa tertolong.
Jack memarahi Tuhan kala itu, dia merasa sangat terpukul. Dan tahun itulah tahun paling terburuk yang harus dialami oleh Jack. Entah darimana, Jack diperkenalkan dengan narkoba.
Jelas, ketika aku mengetahui itu, aku marah besar. Namun amarahku hanya dianggap angin lalu oleh Jack. Saat itu aku masih setia menemani Jack, karena aku terlalu yakin bisa mengembalikan Jack ke jalannya.
Namun, hingga memasuki tahun ketiga awal. Jack tetap tidak berhenti mengkomsumsi narkoba, mabuk-mabukan, dan merokok. Semua jenis rokok sudah dicoba oleh Jack, semua jenis alkoholpun juga sudah dicoba olehnya.
Sebagai kekasih yang selalu ada untuk Jack, aku tetap tidak mau menyerah. Namun ketika Jack kembali mendengar bahwa Ibunya sudah menikah lagi, saat itulah Jack makin tidak terkendali.
Hingga memasuki tahun keempat akhir, aku memutuskan untuk berhenti dengan Jack. Aku sudah terlalu lelah, Jack tidak pernah menganggap aku ada. Dia terlalu bebal. Dia terlalu kecewa dan sakit hati karena di permainkan oleh alam semesta.
Meskipun berat, namun aku harus kuat. Tiga tahun aku mencoba merubah Jack, namun aku gagal. Karena kegagalan dan keletihan batin, gugurlah perjuanganku.
Dan sekarang, Jack kembali dengan segala rasa bersalahnya. Entah aku yang terlalu bodoh, atau aku yang terlau gila. Aku kembali menerima Jacqueline, seorang anak perempuan yang pernah membuatku gagal berjuang.
"Jangan pernah pergi lagi, Erika. Aku benar-benar membutuhkanmu. Hanya kamu yang aku miliki di dunia ini, Damang telah meninggalkan aku, bahkan Ibu kandungku yang jahat itu juga meninggalkan aku."
Air mataku terus mengalir, begitu juga dengan air mata Jack. Tidak kuasa melihat dirinya kembali rapuh, aku mendekati perempuan itu dan memeluknya dengan erat.
"Aku janji, Jackie. Aku tidak akan meninggalkan kamu. Aku sudah memaafkan kamu jauh sebelum kamu meminta maaf padaku."
"Terimakasih, Erika. Kamu memang yang terbaik."
Sore itu, tiba-tiba hujan turun membasahi tanah Dolok Sanggul. Dalam dekap erat, tubuh kami yang saling memberikan kekuatan. Air mata yang ikut menghujani setiap pipi kami, tidak menghentikan cinta kami yang bersatu. Sore itu, aku berjanji untuk tidak meninggalkan Jack.
Setiap orang pastilah memiliki kekurangan dan masa lalu yang kelam. Karena itu, janganlah saling menghakimi dan membenci satu dengan yang lain. Ingat, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Pengampun.
Jack, jangan bersedih lagi. Sekarang sudah ada aku yang siap menemani setiap detik hidupmu.
-0000-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top