J-8; I Fucking Hate You, Jack!

"Nyanyiin lagu yang kamu tulis dong."

Jack yang kala itu sedang meminum kopi hitamnya tiba-tiba tersedak ketika aku menyuruhnya menyanyi. Memang salah ya kalau aku ingin dengar lagu ciptaannya? Sebegitu kagetnya.

Karena merasa bersalah, aku menepuk-nepuk pundaknya agar bisa rileks lagi. Jack terbatuk-batuk lalu berdehem.

"Kok kaget banget sih? Jangan bilang kamu malu nyanyi depan aku, Jack."

Setelah Jack kembali normal dari keterkejutannya, dia menatapku.

"Ya malu lah! Suaraku tidak sebagus Dua Lipa."

"Halah, suara kamu bagus kok. Ayolah."

"Tahu darimana kalau suara aku bagus?"

"Kamu lupa kita sudah kenal berapa tahun? Kan kamu suka nginep di rumah aku, ya aku selalu denger kamu nyanyi di kamar mandi dong."

Jack menghela nafas, dan menepuk jidatnya.

"Enggak ah, kapan-kapan aja. Sekarang lebih baik kita makan dulu."

"Apaan orang makanannya aja belum dateng. Mau makan apa, hayo?"

"Yo, ini Mbak, 2 bubur ayam spesial buat pelanggan spesial!"

Aku mendengus ketika melihat Jack tersenyum. Aku sangat tahu arti dari senyumannya barusan. Senyuman mengejek. Dia merasa menang karena tidak jadi menyanyi. Datangnya Neng Nita dengan nampan berisi dua mangkuk penuh bubur ayam membuat Jack dapat dengan mudah mengubah topik pembicaraan. Huh dasar tidak seru!

"Haturnuhun, Neng Nita!"

Setelah Neng Nita, si penjual bubur ayam itu berlalu dari hadapan kami. Aku menoleh menatap Jack, lalu memukul kepalanya dengan sendok.

"Duh, kenapa dipukul sih?"

"Karena kamu genit!"

Sambil mengaduk bubur ayamnya, Jack menggerutu. Memang gerutuannya tidak jelas, tapi aku yakin pasti dia sedang membicarakan tentang aku.

"Kalau ngomongin orang itu yang keras, jangan berbisik seperti itu."

Aku memakan bubur ayamku dengan santai, tangan Jack yang hendak menyuapkan bubur ke dalam mulutnya berhenti di udara.

"Aku tuh nggak ngomongin kamu, honey bunny sweetieeeee! Kamu loh daritadi sinis banget sama aku, lagi PMS ya?"

Dengan santai aku mengangguk. Habis aku masih kesel sama perempuan yang satu itu. Entah mengapa aku bisa jatuh hati dengan perempuan semacam Jack. Mungkin dia pakai pelet kali ya?

Jack mendengus, dan tidak ada lagi yang kami bicarakan. Kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setelah selesai menghabiskan semangkuk bubur ayam, aku meneguk teh panasku dengan tenang. Jack yang duduk di hadapanku sedang sibuk dengan ponselnya, sampai-sampai dia lupa menghabiskan buburnya.

Jack memang seperti itu, dulu aku suka memarahi Jack kalau sedang makan, karena Jack selalu bermain ponsel sambil makan.

"Jackie, kalau lagi makan jangan main ponsel. Habiskan dulu makanan kamu baru pegang ponsel. Nanti kamu nggak kenyang kalau seperti itu caranya kamu makan."

"Sebentar, ini penting."

Sembari menjawab perkataanku, Jack masih sibuk dengan ponselnya. Aku mendengus melihat pantulan cahaya ponsel yang memancari kaca mata yang dia kenakan.

Karena kesal, dengan paksa aku mengambil ponselnya, lalu ponsel itu aku masukan ke dalam tas yang aku bawa.

"Erika!"

Jack menatapku dengan kesal, karena tidak ingin kalah, aku menaikan daguku menatap tajam kearah Jack. Mencoba menatangnya.

Jack menghela nafas, "Okey, okey, fine!"

Akhirnya fokus Jack kembali kepada mangkuk berisikan bubur ayam yang masih banyak itu. Padahal kalau Jack tadi tidak diganggu oleh ponsel, pasti dia sudah selesai makan terlebih dahulu. Karena sebenarnya Jack itu tipe orang yang makan cepat. Hanya saja benda kotak sialan itu selalu menghambat kecepatan makan Jack.

Setelah bubur ayam dalam mangkuk Jack tandas, dia menyesap kopi hitamnya. Sedari perempuan itu makan hingga sekarang dia sedang menghirup aroma kopi, tidak pernah sedetikpun aku memalingkan pandanganku.

Jack selalu menarik di mataku. Kelihatannya Jack itu seperti orang yang cuek terhadap penampilan, karena Jack selalu keluar dengan hanya menggunakan celana jeans yang dipadukan dengan kaos polos.

Padahal kalau mau diperhatikan dari head to toe, semua yang melekat di tubuh Jack itu bermerk dan original. Jadi jangan salah, Jack itu salah satu orang yang sangat peduli dengan penampilan.

Kalau dia cuek dengan penampilannya, mana mau dia menghambur-hamburkan uang hanya sekedar untuk membeli kaos, celana, sepatu bahkan topi yang bermerk dan original. Tapi nyatanya Jack selalu menghabiskan uangnya untuk itu. Ya begitulah Jack, perempuan penggemar barang-barang branded.

"Daritadi kamu ngeliatin aku seperti ingin memakanku, tahu nggak?

Mataku mengerjap, suara Jack mampu menyadarkan lamunanku.

"Dih siapa juga yang mau makan kamu, nanti aku kena racun."

"Yakin? Terus yang kemarin teriak-teriak karena bisa memakan aku itu siapa?"

Aku melotot menatap Jack, bisa-bisanya dia membicarakan perihal ranjang dengan nada suara yang sangat keras. Dia paham tidak sih kalau di tenda bubur ayam ini tidak hanya ada aku dan dirinya?!

"Shut up, Jackie!"

"Jangan malu gitu, sudah merah itu muka. Macam kepiting rebus kau."

Dengan tanpa dosa Jack tertawa terbahak-bahak, dia seperti sedang menonton acara komedi. Dasar sial!

"I fucking hate you, Jackie!"

≠≠≠≠

"Kamu mau kemana?"

Sore itu, aku sudah rapi dengan blouse dan a-line skirt. Sedangkan Jack masih memakai kaos dan celana boxer. Dia memandangku dengan penuh tanda tanya. Aku yang baru saja keluar dari kamar seperti seorang artis jika Jack menatapku seperti itu.

"Jackie ini hari minggu, mau kemana lagi kalau bukan ke gereja?"

Jack mengangguk-anggukkan kepala.

"Kamu sudah mandi belum? Mau ikut nggak?"

Jack yang tadinya sedang berbaring malas di sofa, sekarang merubah posisinya menjadi duduk ketika aku duduk di samping sofanya untuk memakai heels.

"Sudah mandi, sih. Tapi aku ini pendosa, Erika. Aku tidak pantas datang ke gereja."

Setelah selesai mengaitkan pengait heels-ku, aku menghela nafas menatap Jack.

"Akupun juga seorang pendosa, Jackie. Tapi aku tetap tidak mau melupakan kewajibanku sebagai umat pemeluk agama. Aku tahu Tuhan tahu apa yang aku lakukan, apa yang aku rasakan. Bahkan tetesan air mataku saja Tuhan tahu maknanya.

Aku tidak akan memaksa kamu, mau kamu itu pendosa apa bukan, Tuhan tetap mau mendengarkan keluh kesahmu. Beribadah itu sebagai tanda ucapan syukur karena sudah diberi kesempatan hidup, Jackie."

Jack menghela nafas, dia menundukkan kepalanya.

"Aku mau berangkat, kamu jadi mau ikut nggak?"

Jack mengangkat kepalanya, menatapku, lalu mengangguk.

"Ya sudah sana ganti baju, aku tunggu."

Kemudian setelah itu, Jack bangkit dan berjalan kearah kamar. Sambil menunggu Jack berganti pakaian, aku sempatkan untuk membuka ponselku, melihat notif yang masuk.

Kalau hari minggu seperti ini, seluruh kegiatan cafe memang aku serahkan ke Rofi, karena khusus dihari minggu aku meliburkan diri. Hari minggu aku pakai untuk ke gereja.

Iya, aku sadar aku seorang pendosa. Tetapi sebagai pendosa, aku tetap tidak ingin melupakan kewajibanku sebagai orang yang percaya adanya Tuhan.

Soal ibadahku diterima oleh-Nya atau tidak, semua itu aku kembalikan lagi kepada-Nya. Yang terpenting aku sudah melakukan dengan sadar, dengan sepenuh hati untuk datang kepada-Nya, dan berserah sepenuhnya kepada Tuhan.

Jadi, masih tidak ingin beribadah karena merasa dirinya adalah pendosa?

-0000-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top