J-20; Jacqueline.

Karena pantauan kemarin tidak membuahkan hasil, jadi dengan terpaksa aku harus kembali ke cafe untuk membantu menutup cafe. Aku sengaja mengajak Ruddy karena tidak mau sendirian ke cafe. Lama-lama, aku bisa menaikan jabatan Ruddy nih. Sepertinya aku tidak bisa mengurus cafe sendirian.

Kemarin setelah menunggu hingga magrib, rumah Jenya masih tidak menampakkan tanda-tanda. Jack yang aku kirimi pesan untuk memastikan juga tidak membalas, dia kembali mengabaikan pesan dan panggilanku.

Aku tidak tahu sebenarnya apa yang dilakukan oleh Jack diluar sana. Apakah dia benar-benar selingkuh dengan Jenya? Atau Jack sedang merencakan sesuatu untuk aku?

Hari ini, rencananya masih sama dengan hari kemarin. Aku akan meminta bantuan Ruddy untuk menemaniku ke rumah Rara untuk memantau rumah Jenya. Aku tidak tahu mengapa aku ingin sekali memantau rumah itu, firasatku mengatakan ada yang tidak beres dengan Jack.

Rencananya setelah makan siang aku ingin menghubungi Ruddy agar menjemputku. Namun belum sempat menghubungi Ruddy, pesan dari Rara masuk terlebih dahulu. Tidak biasanya Rara menghubungiku. Karena penasaran dengan isi pesan itu, aku membuka aplikasi Whatsapp untuk mengecek pesan dari Rara.

Rupanya, isi pesan Rara mampu melemaskan tubuhku. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Setelah melihat pesan itu, makin yakinlah aku untuk mengunjungi rumah Jenya.

Kenapa Jack harus melakukan ini padaku? Mengapa dia tidak pernah jujur dengan aku? Sebenarnya aku ini dia anggap apa sih?

≠≠≠≠

Honda CR-V berwarna abu-abu tua itu berhenti di depan rumahku, tanpa mau melihat siapa yang ada di belakang stir kemudi, aku langsung keluar dan mengunci pintu rumah. Setelah itu aku menghampiri Ruddy dengan muka bantalnya.

"Bangun tidur banget?"

Sambil menguap, Ruddy mengangguk, "Kalau bukan karena elo, gue nggak bakal bela-belain motong tidur siang gue."

"Kayak anak kecil sukanya tidur siang."

"Ah nggak juga, anak kecil jaman sekarang mah udah nggak suka tidur siang. Lebih suka main hp sama temen-temennya."

Aku hanya mengangguk menanggapi perkataan Ruddy, lalu keheningan menghampiri kami. Tidak lama, Ruddy kembali membuka suara.

"Lo udah dapet foto dari Rara?"

Aku mengangguk. Ingin rasanya tidak berpikiran negatif tapi ternyata tetap tidak bisa. Pikiran negatifku terlalu mendominasi.

"Aku lelah menghadapi perempuan itu."

"Terus lo mau gimana?"

Aku mengangkat bahu berat. "Tidak tahu, belum kepikiran."

"Belum tentu Jacqui selingkuh sama Jenya, Rik."

Aku menghela nafas, kembali teringat foto-foto yang dikirimkan oleh Rara. Di dalam foto itu memperlihatkan Jack yang sedang menggandeng tangan Jenya, Jack yang sedang merangkul bahu Jenya, Jack yang berpelukan dengan Jenya.

Ketiga foto itu diambil dari tempat yang berbeda. Foto pertama Rara dapatkan di parkiran supermarket, foto kedua Rara dapatkan di dalam supermarket, dan foto terakhir Rara dapatkan di Starbucks. Di mataku, semua foto itu terlihat mesra. Jack seperti menikmati waktunya dengan Jenya.

Sial!

Aku tidak tahu alasan mengapa Jack memeluk Jenya. Perempuan itu sedang bersedih kah? Atau mereka memang suka berpelukan di depan umum? Entahlah. Aku tidak ingin berpikiran buruk tentang foto itu, aku ingin tetap berpikiran positif. Tetapi kenapa susah sekali?

≠≠≠≠

Sesampainya di rumah Rara, perempuan itu langsung menyambutku. Dia menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan foto-foto itu. Karena Rara juga ingin tahu apa hubungan Jack dengan Jenya, makanya dia sengaja mengikuti Jack ketika dia melihat Jack dan Jenya keluar dari rumah.

Siang menjelang sore ini tidak terlihat adanya kehidupan di rumah Jenya. Rumah itu nampak sepi. Rasanya saat ini aku ingin sekali menampar pipi Jack, ingin memukul lengannya dengan keras.

Sampai saat ini, Jack tidak membalas pesanku. Aku heran dengan Jack, kenapa dia harus membohongiku jika dia benar-benar ada hubungan dengan Jenya? Kalau dia bisa jujur, mungkin aku bisa segera mengakhiri hubungan ini. Aku tidak mau memiliki hubungan seperti ini. Aku tidak mau diduakan.

Perempuan itu yang sudah menyebabkan aku gagal move on, sekarang dengan tidak bertanggung jawab, Jack mengabaikan aku begitu saja setelah dia memberikan kenangan yang makin membuat aku tidak bisa melupakannya.

Sekarang aku sadar, bahwa aku memang sudah tidak waras. Kemana kewarasanku yang dulu aku miliki? Mengapa kewarasan itu harus menghilang? Dan, kenapa Jacqueline harus kembali mengisi relung hatiku?

"Rik, sini, lihat itu."

Mendengar suara Ruddy, aku bangkit dari dudukku dan menghampiri Ruddy yang sedang berdiri di depan jendela. Ruddy bergeser sedikit ketika aku sudah berada disampingnya.

Selama kurang lebih satu jam, tepat pukul lima sore, akhirnya rumah Jenya menampakkan kehidupan. Perempuan yang memakai topi merah, kaos bermotif army dan celana khaki itu keluar dari pintu kemudi. Setelah menutup pintu kemudi, perempuan itu berjalan ke arah pintu penumpang di samping pintu kemudi. Lalu lagi-lagi aku diberikan kejutan oleh Jack.

Terlihat Jack sedang membopong Jenya dengan kedua tangannya. Sedangkan kedua tangan Jenya melingkar nyaman di leher Jack.

Pemandangan itu memang tidak bisa membuktikan apakah Jack ada main dengan Jenya atau tidak. Karena tidak ada salahnya jika seorang teman menggendong temannya, apalagi kalau temannya yang digendong itu dalam posisi tertidur.

Tapi sayangnya, kepalaku keburu mendidih, hatiku keburu panas. Tidak ingin banyak basa-basi lagi, dengan penuh tekad kuat, dan amarah yang memuncak. Aku ingin menghampiri Jack. Aku tidak bisa jika terus diam begini, aku membutuhkan penjelasan.

"Mau kemana?"

Ruddy menahan langkahku, aku menoleh.

"Minta penjelasan. Aku capek diabaikan seperti ini."

Setelah melepas genggaman tangan Ruddy, aku berjalan keluar rumah untuk menghampiri Jack.

≠≠≠≠

Di depan pintu rumah Jenya, aku menghirup udara sedalam-dalamnya. Mempersiapkan mental dan hatiku untuk menemui Jack. Setelah pintu ini terbuka, aku tidak akan mau lagi menemui Jack kalau dia benar-benar terbukti selingkuh.

Aku siap.

Aku memejamkan mataku, kembali menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, kemudian mengetuk pintu itu hingga tiga kali ketukan. Menunggu dengan harap-harap cemas.

"Erika?!"

Pintu itu terbuka, seorang perempuan yang aku rindukan kehadirannya, yang tidak pernah membalas pesanku, yang tidak pernah mengabari aku, kini berada di hadapanku. Aku terpaku. Rasa rindu itu muncul dengan tiba-tiba, ingin rasanya menangis dan memeluknya. Tapi, tidak. Aku tidak boleh terlihat lemah dihadapan perempuan sialan itu.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?"

Perempuan dihadapanku itu nampak terkejut melihat kehadiranku. Tanpa ingin menjawab pertanyaan Jack, tanpa ingin menunggu dipersilahkan masuk, aku sudah menerobos masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Niatnya, aku ingin melihat apa yang dilakukan Jack dan Jenya di dalam rumah ini. Namun--lagi-lagi--untuk kesekian kalinya, aku dibuat terkejut dengan apa yang aku lihat.

Aku tidak pernah membayangkan kalau ternyata keadaan rumah ini sangat berantakan, sangat kotor, dan tidak layak disebut rumah. Banyak sekali botol-botol alkohol bertebaran, ada beberapa suntikan bekas pakai, beberapa putung rokok, bahkan ada juga 2 buah water pipe bong--alat untuk menghisap narkotika--yang tergeletak di atas meja.

Apa yang sebenarnya dilakukan Jack selama ini? Apa selama ini dia hanya berpesta narkoba dan mabuk-mabukan?

Padahal selama menghabiskan waktu bersama Jack, dia tidak terlihat seperti pecandu. Tapi  kenapa? Ah, brengsek!

"Aku bisa jelaskan ini semua, Erika."

Jack memegang bahuku, namun aku tepis. Aku berjalan kearah meja ruang tamu yang sangat berantakan itu. Mataku langsung terfokus pada tumpukan kardus--seukuran kardus mi instan--yang terlilit isolasi berwarna coklat yang berada di setiap sudut ruangan.

"Katakan padaku kalau itu bukan narkoba, Jack."

"Erika, aku bisa jelaskan ini semua."

Tidak aku sangka ternyata Jack belum berubah. Apa yang aku lihat di rumah ini sudah menjelaskan semuanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tidak percaya. Jack berkali-kali berusaha untuk memegang tanganku, namun selalu aku tepis.

"Tidak ada yang perlu di jelaskan, Jacqueline. Kita sampai disini saja. Kita sudahi saja hubungan ini. Jangan pernah temui aku lagi."

Aku menatap Jack untuk yang terakhir kalinya, perempuan itu seperti menahan tangisannya. Akupun berusaha untuk tidak menangis. Aku melepas cincin perak yang melingkari jari manisku, lalu aku serahkan pada Jack. Perempuan itu menerima cincin itu, dan menggengam tanganku.

"Dengarkan penjelasan aku dulu. Setelah itu silakan kamu ambil keputusan."

Aku memejamkan mataku, lalu akhirnya mengangguk. Jack tersenyum, lalu menarikku untuk duduk di sofa ruang tamu. Bagaimanapun juga aku perlu penjelasan.

≠≠≠≠

"Aku minta maaf karena aku tidak pernah menghubungi kamu, Erika. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Salah satunya untuk menghindarkan kamu dari masalah."

Aku mencoba untuk tidak menyela perkataan Jack, aku membiarkan perempuan itu menjelaskan semuanya tanpa terpotong.

"Sekarang kamu tahu apa pekerjaan aku. Aku menjadi seorang bandar narkoba karena Berlin, ayah tiriku. Semua itu bermula karena Ibuku. Dia memiliki hutang yang banyak dengan Berlin, karena tidak bisa melunasi, akhirnya Ibu terpaksa harus menikah dengan Berlin. Mereka menikah setelah Damang meninggal. Setelah mengetahui bahwa Ibu punya anak, Berlin membebaskan aku dari tempat rehabilitasi. Padahal masa rehabilitasiku belum selesai."

Jack berhenti berbicara, dia memejamkan matanya. Lalu setelah bisa mengatur emosinya, dia kembali berbicara.

"Pertama Berlin memaksaku menjadi seorang pengedar, aku diberikan percobaan mengedarkan di wilayah Jakarta Timur. Setelah melihat kemampuanku dalam menyelundupkan narkoba, Berlin menjadikan aku seorang bandar. Aku menguasai Jakarta Timur bersama dengan Jenya, perempuan itu sama seperti aku, dia tidak memiliki orang tua, dan diberikan kekuasaan oleh Berlin. Jenya sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Sama sekali aku tidak ada main dengan perempuan itu."

Jadi selama ini aku salah, bukan Jenya ancaman yang sebenarnya, tapi Berlin. Dia adalah ancaman yang sebenarnya. Hubunganku tidak baik bukan karena Jenya, tapi karena Berlin.

"Aku dan Jenya sudah berencana untuk meninggalkan Berlin, namun Berlin terus mengancam akan membunuh orang-orang terdekatku jika aku meninggalkannya. Apalagi hutang Ibu belum lunas. Aku takut Berlin mengincarmu kalau aku terus-terusan terlihat bersama dengan kamu, Erika."

Jack menatapku, tidak terasa air mataku mengalir dengan sendirinya. Jadi selama ini Jack mengabaikan aku karena ini? Karena dia tidak ingin aku terluka? Karena dia ingin menjauhkan aku dari masalah?

"Maafkan aku, Erika. Kalau bisa memilih, aku pasti lebih memilih hidup normal. Aku tidak suka hidup dibawah tekanan seperti ini. Aku dan Jenya adalah buronan. Setiap gerak-gerik kami pasti diperhatikan, entah itu oleh pihak kepolisian ataupun anak buah Berlin. Aku sudah tidak punya pilihan, Erika. Aku sudah terlanjur tercebur ke dalam lubang kejahatan ini."

Aku memejamkan mataku, Jack menarikku ke dalam pelukannya. Aku tidak menolak pelukannya sama sekali. Kepalaku bertopang nyaman di atas bahu Jack. Perempuan itu mengusap punggungku dengan lembut.

"Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, Erika. Alkohol dan obat-obatan yang tersebar di rumah ini bukan karena ulahku. Aku benar-benar sudah berhenti memakai, karena aku sudah bertekad untuk meninggalkannya, aku bertekad untuk hidup bahagia bersama kamu."

"Lalu itu punya siapa?"

"Jenya, dan teman-temannya. Maafkan aku karena tidak bisa mengambil sikap, Erika. Aku ingin sekali hidup bersamamu, tetapi banyak pemburu yang mengintaiku. Maaf kalau aku tidak bisa membahagiakan kamu. Maaf karena aku tidak bisa jujur. Maafkan sikapku selama ini."

Mendengar hal itu semakin menjadilah air mataku yang keluar. Selama ini aku sudah salah, aku pikir Jack selingkuh. Tetapi ternyata Jack berubah acuh karena keadaan. Keadaan yang memisahkan kami, keadaan yang membuat jarak ini semakin lebar.

"Maafkan aku karena mengira kamu selingkuh dengan Jenya. Kenapa kamu tidak memberitahu aku dari lama? Kenapa waktu kita di Sumatera kamu tidak bilang saja padaku? Kenapa baru sekarang? Kenapa?"

"Tidak semudah itu, Erika. Waktu itu hatiku belum siap menerima jawaban dari kamu. Aku takut kamu meninggalkan aku, aku takut kamu marah padaku. Tapi ternyata, cepat atau lambat, kamu pasti akan mengetahui ini semua. Aku menyesal karena tidak memberitahukan ini padamu dari awal. Maafkan aku."

Mendengar penjelasannya, aku melepas pelukan Jack. Kedua tanganku bertopang di atas bahunya. Jack tertunduk.

"Kamu memang bodoh. Lihat aku, Jackie."

Mendengar permintaanku, Jack mendongakkan kepalanya. Dia menatapku, aku balas menatapnya. Wajah perempuan dihadapanku ini terlihat sangat kuyu, dia seperti kelelahan. Apa tidurnya tidak nyenyak?

Aku mengusap lembut pipi Jack yang halus dengan tangan kananku, "kamu tahu, Jackie? Aku tidak akan marah jika kamu mengatakan yang sejujurnya. Mungkin aku bisa mengerti posisimu, mungkin aku bisa memberikan solusi yang terbaik untukmu. Kamu seperti ini juga bukan karena keinginan kamu, kan?"

Jack mengangguk, dia menggegam tanganku yang masih mengusap pipinya, Jack menutup matanya, lalu mencium lembut tanganku yang berada digenggamannya. Aku merasakan air mataku kembali turun, aku sedih.

"Maafkan aku karena tidak bisa memperjuangkan wanita sebaik kamu, Erika. Maafkan aku."

Aku membawa kedua tangan Jack ke dalam genggamanku. Mata kami bertemu untuk beberapa saat. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku merasa ini adalah hari perpisahan kami. Apa aku bisa?

"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"

Jack melepas genggaman tanganku, lalu sekarang giliran Jack yang mengusap lembut pipiku. Dia mengusap wajahku, lalu menyelipkan rambutku pada sela-sela telinga.

"Aku akan mencari cara untuk lepas dari ini semua, Erika. Kalau aku sudah bisa lepas, aku akan mencarimu. Kita akan hidup bersama."

Aku memejamkan mataku, merasakan sentuhan lembut tangan Jack. Lalu menggelengkan kepala, tidak ingin terlalu berharap. Manusia memang bisa berencana, tetapi segala keputusan tetap berada di tangan Yang Maha Penguasa.

"Bagaimana kalau kamu tetap tidak bisa meninggalkan ini semua? Bagaimana jika kamu tetap tidak bisa lolos dari jeratan Ayah tirimu? Harus berapa lama aku menunggumu?"

Jack menghela nafas, dia memejamkan matanya sejenak, lalu kembali menatapku.

"Kalau begitu, beri aku waktu satu minggu. Kalau aku belum muncul dihadapanmu, kamu boleh meninggalkan aku. Tapi, janji padaku, jangan lepaskan cincin ini lagi."

Jack mengambil cicin yang tadi aku berikan di saku celananya, lalu kembali memasangkan cincin perak itu di jari manis tangan kiriku. Setelah cincin itu terpasang sempurna. Jack menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya.

"Aku mencintamu, Erika. Aku akan mencari cara agar bisa hidup bersamamu."

Aku mengangguk, lalu setelah itu Jack mengecup lembut keningku. Untuk beberapa saat aku menikmati kecupan pada keningku. Setelah beberapa jenak, Jack melepas kecupannya, dan menarikku ke dalam pelukannya.

"Aku mencintamu, Jackie. Apa ini waktunya kita berpisah?"

"Kita masih bisa bertemu lagi. Jangan anggap ini sebagai perpisahan, Erika."

Aku mempererat pelukan ini, merasakan usapan lembut tangan Jack pada punggungku. Aku ingin menikmati momenku saat ini bersama dengan Jack. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok.

Yang jelas, saat ini, aku ingin memiliki Jack untukku sendiri. Aku membiarkan tubuh ini saling memeluk dan saling menghangatkan. Aku tidak peduli dengan seberapa deras air mata yang keluar dari mataku.

-0000-

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top