J-19; Erika Pantau, Bukan John Pantau

"Kemarin kamu interview dimana?"

"PT Wira, perusahaan yang berkecimpung di bidang persawitan."

"Kenapa tidak dari dulu kamu cari kerjanya?"

"Ceritanya panjang, sudah jangan dibahas. Mending makan."

"Aku mau mendengarkan ceritamu meski itu panjang."

Jack diam, dia mengambil piring, mengisinya dengan nasi goreng dan telur dadar. Setelah piring itu terisi penuh, Jack memberikan piring itu untukku. Selesai dengan piringku, kemudian perempuan itu mengambil sarapannya sendiri.

"Sudah aku bilang, nggak usah dibahas. Mending makan."

Aku hanya bisa mendengus, kenapa sih perempuan ini suka sekali menyembunyikan sesuatu dari aku? Memangnya aku tidak boleh tahu kehidupannya selama dia tidak bersama dengan aku?

"Jangan memikirkan yang aneh-aneh. Kalau aku sudah siap, aku akan ceritakan semuanya, Erika. Sekarang, makan nasi goreng kamu. Keburu dingin, nanti nggak enak."

"Iya, iya."

Kami makan dalam diam. Aku sangat menikmati nasi goreng olahan tangan Jack, sudah lama sekali aku tidak makan masakan perempuan itu. Dulu sewaktu masih kuliah, Jack suka sekali membawakan aku bekal untuk makan siang. Aku pernah melarang Jack membawakan aku bekal makan siang, namun Jack tidak pernah mau mendengarkan. Dia tetap membawakan aku makan siang.

"Ohya, nanti habis ini aku mau ke tempat Jenya. Ada hal yang harus aku urus. Boleh?"

Sembari mengunyah aku memperhatikan Jack ketika mendengar nama yang sangat asing bagi telingaku.

"Jenya?"

"Jenya itu temen aku, yang kemarin jemput di pelabuhan."

"Oh. Urusan apalagi?"

"Biasalah, urusan pekerjaan. Kan aku berencana mau keluar dari pekerjaan yang sekarang, jadi aku harus mengurus banyak hal."

Dahiku mengernyit, aku heran sebenarnya Jenya itu memiliki pangkat apa, kenapa harus dengan Jenya? Apa dia bosnya?

"Jenya itu bos kamu?"

Selesai dengan sarapannya, Jack meminum air putih. Setelah menghabiskan satu gelas air, kemudian dia menjawab pertanyaanku.

"Bukan. Dia itu tangan kanannya Berlin, Ayah tiriku. Kan aku kerja sama Berlin."

"Kerja apa?"

Jack hanya tersenyum, senyuman yang tidak dapat aku artikan.

"Jadi boleh atau tidak?"

"Ya silakan. Aku tidak pernah melarangmu bertemu dengan siapapun."

"Oke kalau begitu. Aku mandi dulu ya."

Dengan terpaksa aku mengangguk. Sebelum pergi, Jack memberikan kecupan pada puncak kepalaku, lalu setelahnya dia berlalu pergi dari hadapanku dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Aku yang memperhatikan punggungnya menghilang hanya bisa menghela nafas.

Karena tidak ingin terlalu memikirkan, aku melanjutkan makanku. Aku yakin Jack tidak ada main dengan perempuan bernama Jenya itu. Aku yakin Jack orang yang setia. Ah tapi.. Sial! Pikiranku tidak bisa diajak berteman!

Mau bagaimanapun juga, aku tetap merasa Jack ada main dengan Jenya. Apa aku harus memastikannya sendiri? Ah, jangan bercanda!

≠≠≠≠

"Gimana kabar lo sama Jacqui? Udah baikan?"

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Ruddy. Saat ini aku sedang berbaring nyaman di sofa ruang tamu milik Ruddy. Hari ini, aku memang sengaja membiarkan cafe diurus oleh Nana--salah satu karyawan yang aku percayai setelah Ruddy--karena aku ingin memastikan sesuatu.

"Terus agenda hari ini apa? Kok tumbenan lo ke rumah gue?"

Aku membenarkan posisi dudukku, bantal yang tadinya aku pakai untuk bantalan kini berpindah untuk aku peluk.

"Aku masih penasaran sebenarnya Jackie itu ada hubungan apa sama Jenya."

Sembari menaruh segelas jus apel dihadapanku, Ruddy duduk di depanku.

"Jenya?"

"Jenya itu cewek yang kemarin kamu lihat bareng sama Jackie."

Ruddy mengangguk mengerti, "Lo yakin pingin tahu? Nanti lo nyesel."

Aku menghela nafas, "Aku yakin, firasatku buruk. Aku harus tahu apa yang sebenarnya Jackie sembunyikan dari aku."

"Yaudah, jadi gimana rencana lo?"

≠≠≠≠

Sesuai rencana yang sudah aku susun, hari ini aku sengaja mengajak Ruddy untuk bertandang ke rumah Rara. Dengan alasan bahwa aku ingin bertemu dengan Joy, kucing tanpa bulu kesayangan Rara.

"Kalau ada pergerakan, kasih tahu aku."

"Siap 86, Nyonya."

Aku hanya bisa tertawa mendengar Ruddy mengatakan hal itu. Saat ini Ruddy sedang duduk di samping jendela untuk memantau rumah bercat merah yang letaknya berhadapan langsung dengan rumah Rara. Sedangkan aku menunggu sambil bermain dengan Joy, dan sesekali memperhatikan Rara yang sedang sibuk di dapur.

Tepat pukul 5 sore, Rara meminta Ruddy untuk mengantarkannya ke mini market karena ada bahan masakan yang harus dia beli. Karena tidak ingin melarang Ruddy, jadi aku mengijinkan dia pergi.

Kini giliran aku yang berjaga di samping jendela. Tenyata sudah satu jam aku lewati dengan hasil nihil. Tidak ada pergerakan di rumah bercat merah itu. Mungkin perempuan itu belum kembali dari kesibukannya.

Setelah dua puluh menit semenjak kepergian Ruddy dan Rara, mereka akhirnya kembali. Ruddy menenteng dua kantong plastik berwarna putih, sedangkan Rara masuk dengan menenteng satu kantong plastik.

"Banyak banget, beli apaan deh?"

Sembari berjalan ke arah pantry, Ruddy mendengus menjawab pertanyaanku, "Biasa, perempuan kalau belanja mesti beranak. Tadi mau beli apa malah jadi beli apa."

Rara yang berdiri di samping Ruddy memukul bahu Ruddy dengan kesal. "Jangan bawa-bawa gender. Kalau memang baru ingetnya pas di tempat belanja gimana? Dasar laki-laki sukanya protes."

"Loh yang protes siapa? Gue kan cuma bilang."

"Udah, udah hoi. Kok malah jadi berantem. Kan pertanyaanku sederhana banget, kok jawabnya pakai berantem, macam komentar netizen di postingan instragram artis aja."

Kedua insan beda gender itu hanya saling tatap, lalu setelah membantu Rara menyimpan semua belanjaan yang tadi dibeli, Ruddy kembali mendekatiku. Dia mengulurkan satu kaleng susu putih bergambar beruang kepadaku.

Setelah menerima kaleng itu, aku berterimakasih. Kini Ruddy ikut memandangi ke luar jendela, dia berdiri disampingku dengan tangan kanan yang bertopang nyaman di atas bahu kiriku.

"Masih belum ada tanda-tanda kehidupan?"

"Belum."

"Kalian daritadi ngelihatin rumah Jenya buat apa sih? Kalian lagi belajar jadi penguntit apa?"

Secara serentak, aku dan Ruddy menoleh kearah sumber suara. Rara yang sedang duduk di sofa hanya memandangi kami dengan tatapan bingung.

"Ini nih, si kucrit. Pengen tahu si Jacqui itu selingkuh apa enggak."

"Jacqui? Jacqui yang tingginya se-kamu? Yang kalau Erika kemana-mana selalu ngikutin itu?"

Ruddy mengangguk, aku hanya hanya bisa memukul lengan Ruddy karena dia membocorkan niatku datang ke rumah Rara. Ohya, Rara ini dulunya satu kampus dengan aku, hanya beda jurusan. Aku psikologi, dia ekonomi. Sedangkan Ruddy ini beda kampus dengan kami, hanya saja Ruddy suka sekali menjadi mahasiswa penyusup yang selalu ikut kelasnya Rara. Mereka bertemu di komunitas pencinta CR-V Jakarta.

Rara ini memang sudah mengetahui orientasi seksualku. Pertama mengetahui bahwa aku sedikit menyimpang, Rara tidak mau dekat-dekat dengan aku karena dia tidak mau tertular, namun karena selalu diberi pengertian oleh Ruddy akhirnya Rara bisa menerima aku hingga sekarang.

Dulu waktu di bangku kuliah, kalau aku mengajak pergi Ruddy, Rara tidak pernah absen untuk ikut. Aku selalu kesal dengan Ruddy kalau aku ingin bertemu dengannya tapi dia malah membawa Rara, niat awal yang ingin curhat jadi tidak bisa karena malu Rara mendengar ceritaku tentang Jack.

Rara tahu Jack juga karena waktu itu kita tidak sengaja bertemu di food festival. Yang awalnya ingin single date malah jadi double date.

"Jack emang suka ke rumah Jenya, sih. Aku sering lihat dia dateng pas aku lagi ngajak Joy jalan-jalan sore."

Dahiku mengernyit mendengar hal itu. Jack suka ke rumah Jenya?

"Tapi kayaknya mereka nggak ada hubungan apa-apa kok, aku nggak pernah lihat mereka gandengan atau melakukan hal romatis lainnya. Tapi aku sering lihat mereka didatengin anak-anak muda bermobil mahal gitu. Biasanya sebelum magrib mereka udah pulang."

Aku hanya bisa mengerjap mendengar penuturan Rara, kenapa tidak daritadi dia menjelaskan itu? Jadi untuk apa aku memantau selama satu jam lebih hanya untuk sebuah kesia-siaan?

"Udah gue bilang dari awal, sebaiknya elo itu ngomong ke Rara. Elo sih sok-sokan main rahasia-rahasian. Daritadi kalau elo ngomong niat lo ke rumah Rara, dia kan bisa jelasin. Jadi gue nggak perlu duduk manis di deket jendela, Rik!"

Aku hanya bisa meringis mendengar kekesalan Ruddy, laki-laki itu berjalan mendekati Rara, sudah tidak lagi berdiri disampingku. Aku pun mengikuti Ruddy menjauhi jendela.

"Aku malu tahu, masa aku cerita kalau mau mantau Jack. Macam aku ini cewek labil yang punya penyakit posesif akut."

Ruddy mendengus, Rara terkekeh, aku meringis--malu.

"Gaya lo, Rik. Kayak punya malu aja."

"Yaudah, sambil nunggu gimana kalau kita bikin camilan? Aku udah beli bahan buat bikin nugget ayam tuh."

"Berangkat!"

Secara serentak, aku dan Ruddy meneriaki kata-kata yang sama. Mungkin memasak camilan tidak ada salahnya. Lupakan sejenak tentang memantau rumah Jenya. Kenapa tidak mencoba mengisi perut dengan amunisi yang cukup agar aktifitas menunggu tidak membosankan?

-0000-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top