J-18; Selasa
Setelah selesai melakukan evaluasi, seperti biasa aku langsung masuk ke dalam ruanganku. Biasanya aku akan membuat pembukuan. Ketika jari-jariku sedang menari-nari di atas keyboard, dan mataku terfokus pada layar laptop, pintu ruanganku di ketuk.
"Masuk."
Karena fokusku masih aku berikan pada pekerjaan, jadi aku tidak sempat melihat siapa gerangan yang masuk ke dalam ruanganku. Ketika selesai mengetik, aku mendongakkan kepala.
"Jacqueline! Apa yang kamu lakukan di sini?!"
"Melihat kamu bekerja."
Perempuan itu tersenyum dan mengangkat bahu ringan. Dia duduk di sofa yang ada di dalam ruanganku. Tidak jauh dari pintu.
Aku menghela nafas, Jack terlihat hendak berdiri dari duduknya. Sebelum dia benar-benar berdiri dan mendekatiku, aku sudah terlebih dahulu menghentikan niatnya.
"Jangan berdiri, aku tidak ingin kamu dekati. Cukup duduk di situ."
"Siapa yang ingin mendekati kamu, orang aku cuma ingin membenarkan sabukku yang kendor kok."
Jack masih tetap berdiri, dia membenarkan sabuk celananya. Mendengar jawabannya, aku hanya bisa berdehem. Malu.
Aku menyimpan pekerjaanku, lalu mematikan laptop. Setelah laptop itu benar-benar mati, kemudian aku menutup layarnya. Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat pergerakan Jack dengan jelas. Tidak biasa, Jack datang dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya. Dia juga tidak memakai topi. Perempuan itu seperti habis pulang dari wawancara kerja.
"Kamu darimana kok rapi banget?"
Jack menundukkan kepalanya, memperhatikan pakaian yang dia kenakan sekarang.
"Dari interview. Kan aku juga mau punya pekerjaan tetap seperti kamu."
Dahiku mengernyit, "Memangnya pekerjaanmu yang lama kenapa?"
"Aku tidak pernah benar-benar bekerja, Erika. Ohya, kamu masih marah denganku?"
"Tergantung dari seberapa menyebalkan sikapmu sekarang."
Jack bangkit dari duduknya, dia berjalan mendekatiku.
"Sudah aku bilang jangan mendekati aku."
Jack duduk dihadapanku, dia menatapku. "Kamu sedang datang bulan ya?"
"Nah gitu tahu."
Aku tidak mengerti mengapa ketika aku sedang datang bulan, aku tidak pernah mau melihat wajah Jack. Rasanya kalau melihat wajah Jack itu bawaannya ingin marah-marah.
Perempuan dihadapanku itu terkekeh, "Kamu loh, sampai sekarang masih aja kalau datang bulan nggak suka lihat mukaku. Bisa nggak sih kebiasaan itu dihilangkan? Gimana jadinya kalau kita satu rumah, terus kamu nggak bakal pulang ke rumah gitu kalau lagi datang bulan?"
Aku hanya mengangkat bahu, "Emang kita mau nikah?"
Jack mengangguk dengan mantab, "Ya jelas dong!"
Aku mendengus mendengar keyakinannya, "Yakin? Bukannya kamu punya perempuan lain yang bisa kamu ajak nikah selain aku?"
Jack mengernyitkan dahinya, dia terlihat bingung, "Maksud kamu? Demi Dewa, Erika. Aku benar-benar tidak punya tambatan hati lain selain kamu."
Aku kembali mendengus, dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Kedua tanganku aku lipat di depan dada.
"Yakin?"
Jack kembali mengangguk dengan mantab. "Sungguh, demi Dewa."
"Terus perempuan yang kemarin kamu turunin dari mobil, dan yang jemput kamu di pelabuhan itu siapa?"
Perempuan itu malah tertawa mendengar pertanyaanku. Aku tidak tahu dimana letak kelucuannya. Kenapa Jack malah tertawa?
"Kan sudah aku bilang, Erika. Dia itu bukan simpanan aku, dia itu hanya temanku. Aku bertemu dengannya karena Ayah tiriku, kebetulan dia itu tangan kanannya Ayah tiriku."
"Pembual."
Aku memalingkan pandanganku, aku tidak mau menatap Jack. Aku masih kesal dengannya.
"Sumpah, Erika. Aku tidak bohong."
"Terus kenapa beberapa hari kemarin kamu tidak membalas pesanku, tidak mengangkat telponku?"
Jack menghela nafas, "Kan aku sudah bilang, aku ada urusan yang mengharuskan aku untuk tidak menggunakan ponsel."
"Urusan macam apa itu?"
Jack kembali mengehela nafas, dia terlihat frustasi antara ingin memberitahu aku atau tidak. Aku tidak tahu apa yang sedang disembunyikan oleh Jack. Dia terlalu abu-abu untukku.
"Aku jelaskanpun, kamu tidak akan mudah mengerti. Tapi aku bersumpah, aku tidak punya perempuan lain selain kamu, Erika."
Aku hanya bisa menghela nafas, lelah jika harus terus berdebat dengan Jack. Nyatanya dari kemarin Jack mencoba menjelaskan kepadaku, tapi akunya saja yang tidak pernah mau mendengarkan dia.
"Ya baiklah, untuk kali ini aku percaya. Tapi kalau sampai aku tahu kamu bermain di belakangku, aku tidak akan pernah mau lagi mengenalmu, Jackie."
Jack kembali terkekeh, "Untuk apa aku bermain di belakangmu kalau aku bisa bermain di depanmu bahkan bermain di atas atau di bawahmu?"
Mendengar jawaban nakalnya, aku hanya bisa melempari Jack dengan pulpen yang ada di atas meja, "Mesum!"
Jack yang bisa menghindari lemparanku hanya tertawa. Aku yang melihatnya tertawa hanya bisa ikut tersenyum. Kadang aku merindukan suara tawanya.
≠≠≠≠
Kemarin selama aku bekerja, Jack masih setia menungguku. Dia bercerita mengenai banyak hal. Mulai dari kenapa Ben 10 bisa berubah-ubah wujud, sampai mengapa Pak Jokowi memilih KH. Ma'aruf Amin menjadi pasangannya.
Untuk pembahasan politik, aku tidak mau ikut campur, karena aku memang tidak suka politik. Politik itu selalu berhubungan dengan hal-hal yang kotor. Pembesar-pembesar beruang yang sudah memiliki posisi memang tidak pernah bisa bersyukur, mereka selalu kurang dan kurang. Licik, dan picik. Aku tidak suka.
Sampai pada waktunya cafe akan ditutup, Jack masih setia menungguku. Dia juga membantuku untuk menutup cafe. Dia ikut merapikan meja dan kursi. Setelah semua selesai, barulah Jack mengantarkan aku pulang dengan mobil kesayanganku. Katanya, Jack tidak ingin membiarkan aku menyetir supaya aku bisa tidur selama perjalanan pulang.
Sesampainya di rumahku, Jack menemani aku tidur. Rasa lelah yang terasa membuat aku membiarkan Jack melakukan apapun sesukanya. Yang terpenting itu masih dalam kiblat normal.
"Erika, kamu tahu nggak kenapa aku suka hari selasa?"
"Enggak. Kenapa emangnya?"
Saat ini aku sedang berbaring di samping Jack, lengan kanan Jack aku pakai untuk bantal. Sambil menjawab, Jack mengusap kepalaku dengan lembut.
"Karena selasa di surga jika berdekatan denganmu."
Jack terkekeh, aku mendengus, gombalan itu tidak mempan untukku. Aku mendongak menatap Jack, "Oh jadi kamu menyumpahi aku biar cepat mati?"
Mendengar itu, Jack ikut menunduk menatapku, "Siapa yang menyumpahi kamu cepat mati?"
"Kamu. Kata kamu "selasa di surga", nah ini kan masih di bumi. Berarti kamu menyumpahi aku biar cepat mati."
Jack mendengus, "Itu aku lagi ngegombal, Erika. Jangan di anggap serius, ih!"
"Aku nggak suka sama gombalan kamu."
"Hiiih, yaudah, yaudah."
Kembali aku menatap langit-langit kamarku, Jack kembali mengusap-usap kepalaku.
"Jackie?"
"Hm?"
"Bagaimana ya rasanya mati itu?"
Jack merubah posisi berbaringnya, dia menarik lengannya yang aku pakai untuk bantal, kini dia berbaring menyamping kearahku. Akupun ikut merubah posisi berbaringku, aku sengaja menyamping membelakangi Jack, agar Jack bisa memelukku dari belakang.
"Jangan ngomongin mati, aku tidak suka."
"Aku hanya penasaran."
Jack memelukku, membimbing tanganku agar bisa dia genggam.
"Jangan penasaran, pada saatnya nanti pasti kamu bisa merasakannya. Untuk saat ini, kamu nikmati saja kehidupanmu. Sudah mari kita tidur."
Aku mengangguk, lalu mencium tangan Jack yang aku genggam, dan mencoba memejamkan mata.
"Selamat malam, Jackie."
"Selamat tidur, Erika."
Membicarakan perihal kematian memang selalu mengerikan. Jika waktu itu datang, apa aku sudah siap?
"Jangan memikirkan yang aneh-aneh, Erika. Tidurlah."
Loh?
"Iya, iya."
-0000-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top