BAB 7


Sudah sebulan ini Ganesa merasa hidupnya jadi lebih bersemangat. Meskipun setiap harinya juga ia keseringan lembur, bukan jadi masalah baginya untuk selalu merasa bahagia. Orang-orang rumah pun merasa terheran-heran saat mendapati raut wajah Ganesa seperti mendapat jakpot setiap hari. Semua orang pun hanya bisa beranggapan bahwa kerjaan Ganesa selama sebulan ini mungkin sedang lancar-lancarnya tanpa ada hambatan sedikit pun, makanya setiap berangkat atau pulang kantor ia selalu terlihat bahagia.

Perubahan mood Ganesa yang cukup drastis itu pun tak luput dari perhatian Jean. Ia merasa... aneh saja dengan tingkah suaminya itu. Ia tak menampik, melihat Ganesa dengan wajah berseri-seri juga bisa menjadi alasan ia merasa bahagia. Tapi, apakah Ganesa tidak berniat bercerita hal-hal apa saja yang terjadi selama sebulan ini?

Pernah suatu ketika, Jean mencoba bertanya. Diikuti rasa penasaran yang luar biasa, Jean ingin berbagi cerita dengan suaminya itu. Wajar saja kan, seorang istri juga ingin tahu keseharian suaminya. Tapi, Ganesa justru memberikan respon yang tidak diinginkan oleh Jean. Seperti ia sedang ingin tidurlah, atau sedang ingin bermain dengan keponakan-keponakannyalah. Jean pun berusaha untuk tidak terbawa perasaan kesal. Kesal karena Ganesa seperti selalu saja menghindarinya.

Jean menatap Ganesa yang sedang menikmati makan malamnya. Di sampingnya sudah ada Raka yang juga terlihat lahap menyantap masakan buatan Jean. Hari ini, mami dan saudara-saudara Ganesa yang lain serta cucu dan menantunya sedang keluar kota. Berhubung cucu-cucu mami sedang libur, jadilah mereka memutuskan untuk liburan. Mami sudah menawarkan pada Ganesa, Raka dan juga Jean untuk ikut, tapi Ganesa dengan segudang pekerjaannya di kantor serta Raka dengan tugas kuliahnya membuat mami megurungkan niatnya untuk memaksa mereka untuk ikut. Jelas saja Jean juga tidak ikut, dengan alasan siapa yang akan mengurus mereka berdua jika ia harus ikut? Memang di rumah ini sudah ada ART, tapi kewajiban Jean sebagai seorang istri tidak memungkirinya untuk meninggalkan Ganesa.

"Je, besok aku ada acara kantor di Bali. Kemungkinan aku di sana tiga hari. Kamu tidak papa kan kalo aku tinggal?"

"Hmm, nggak papa kok, Mas."

"Ehem, aku minta oleh-oleh Bali ya, Bang." ujar Raka penuh antusias.

"Boleh. Kamu juga mau oleh-oleh, Je?"

Jean tersenyum senang. "Boleh, Mas. Hehehe..."

"Asal pulangnya nggak bawa cewek Bali ya, Bang." timpal Raka yang langsung dihadiahi jitakan oleh Ganesa.

"Kamu ini kalau ngomong..." ujar Ganesa sambil mendelik sebal ke arah Raka. Jean hanya tersenyum melihat tingkah kakak beradik itu.

***

Ganesa tengah sibuk memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil hingga tidak menyadari kehadiran Jean di sampingnya.

Jean kemudian mendudukkan dirinya di atas kasur. "Sini biar kubantu, Mas."

"Oh, nggak usah, Je. Ini juga udah hampir kelar."

Jean pun mengurungkan niatnya untuk membantu Ganesa. Kedua matanya sibuk menatap Ganesa yang tengah memasukkan baju-baju serta perlengkapan lainnya ke dalam koper.

Mas Gaga kalo masang tampang serius gini cakep juga, ya. Hihihihi...

Lamunan Jean terganggu ketika ponsel Ganesa tiba-tiba berbunyi. Ganesa pun menghentikan sejenak pekerjaannya dan melirik ponselnya yang terletak begitu saja di samping Jean.

"Tolong dong, Je. Hapeku."

Jean mengambil ponsel Ganesa dan melihat siapa yang menelpon suaminya itu malam-malam begini. Kening Jean mengerut membaca nama penelpon di layar ponsel Ganesa.

Feby? Humm, kayak pernah denger.

"Siapa, Je?" tanya Ganesa ketika Jean tak kunjung menyerahkan ponsel itu padanya.

"Oh, ini, Mas. Feby?"

Ganesa menghentikan pekerjaannya sejenak dan mengambil ponselnya dari tangan Jean. Ia pun berjalan menjauh dari tempat Jean berada.

Setelah sampai di balkon kamarnya, Ganesa akhirnya men-dial panggilan Feby. "Halo?"

"Halo, Mas. Gimana? Udah packing?"

"Udah. kamu?"

"Udah doong. Eh, Mas. Besok jemput aku, ya."

"Hmm. Jam 7 ya. Nggak pake lama."

"Iyaaaa. Aku kan orangnya on time. Yang ada Mas tuh yang kudu on time."

Ganesa terkekeh pelan. "Iyaaa. Udah ya. See you."

"See you."

Ganesa mematikan ponselnya, senyum di bibirnya tak kunjung hilang hingga Jean muncul di hadapannya. "Kenapa, Mas?"

"Oh? Nggak. Itu, temen." Ganesa berlalu dan kembali merapikan pakaiannya.

Entah mengapa perasaan Jean jadi tidak enak. Buru-buru ia menggelengkan kepalanya agar pikiran-pikiran negatif itu menghilang. Hingga pagi menjelang, pikiran itu ternyata masih menghantui pikirannya. Tidak bisa dipungkiri, senyum Ganesa semalam membuatnya merasakan keanehan.

Setelah sholat subuh, Ganesa memutuskan untuk segera mandi dan bersiap-siap. Sedangkan Jean sudah berada di dapur untuk memasak.

"Je, si Raka udah bangun?" tanya Ganesa yang tiba-tiba sudah muncul dengan tampilan casual. Ya, acara kantor yang dibilang Ganesa memang bukan acara formal, semacam acara refreshing begitulah dengan teman sekantor.

Mungkin beberapa orang bingung saat Feby ikut padahal ia bukan karyawan kantor. Hei, itu bisa diatur. Ia tinggal beli tiket ke Bali dan beres, kan?

"Tadi udah bangun sholat subuh, Mas. Cuma mungkin dia lanjut tidur." ujar Jean sambil menyerahkan sepiring nasi goreng special untuk Ganesa.

Ganesa mengangguk paham dan melahap nasi gorengnya dengan tenang. Ia melirik jam tangannya dan dengan cepat ia meminum teh yang juga telah disediakan oleh Jean.

"Je, aku harus pergi. Temen-temen udah pada nunggu."

Jean ikut berdiri dan kemudian menyalami tangan Ganesa. Ganesa pun mengecup pelan kening Jean sebelum ia pamit dan menjalankan mobilnya.

Jean menghela napas gusar. Entah mengapa, kepergian Ganesa membuatnya sedikit nelangsa. Apalagi melihat nama Feby yang ia rasa tak asing menurutnya.

Tak ingin berlarut-larut dengan rasa cemas yang tiba-tiba menderanya, Jean memutuskan untuk bersih-bersih rumah saja.

***

Sejak kepergian Ganesa beberapa jam yang lalu, Jean lagi-lagi dirundung rasa cemas. Pasalnya, sampai saat ini Ganesa belum juga menghubunginya.

"Abang belum nelpon, Mbak?" Raka yang tengah mengunyah baksonya menatap Jean yang terus-terusan menatap layar ponselnya.

"Belum nih, Ka. Mungkin lagi sibuk."

"Sibuk apanya, Mbak. Orang Abang ke sana untuk refreshing."

Jean membenarkan ucapan Raka. Jean pun memutuskan untuk tidur lebih awal. Dari pada ia harus berkubang dengan rasa penasaran.

"Ka, Mbak ke kamar dulu, ya. Kamu kalo mau nambah masih ada di dapur."

Raka mengacungkan jempolnya. "Sip, Mbak. Mbak ternyata jago masak ya. Nggak sia-sia Abang nikah sama Mbak. Nanti aku request makanan boleh, Mbak?"

"Kamu bisa aja, Ka. Boleh, kok. Ya udah, ya. Mbak ke kamar dulu."

"Okay, Mbak."

Jean menutup pintu kamarnya dengan perasaan gusar. Ia pun membaringkan dirinya di atas kasur dan menatap langit-langit kamar. Jean terperanjat ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Di layar tertera nama Ganesa, senyum di wajah Jean pun terpatri. Tanpa perlu menunggu lama, Jean men-dial panggilan video Ganesa.

"Assalamualaikum, halo, Mas?"

"Waalaikumsalam. Je. Aku udah sampai di kamar nih."

Jean tersenyum. "Alhamdulillah. Mas kok lama banget sih baru nelpon?"

"Tadi hpku low dan kebetulan temen langsung ngajak jalan."

Ganesa tidak bohong. Setelah sampai di tanah Kuta, ia langsung memutuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu. Hanya bedanya, ia berjalan-jalan bersama Feby. Sudah berapa kali hari kecil Ganesa mengingatkan bahwa ini salah.

Sebut saja ia banjingan. Tapi ia benar-benar tidak bisa mengacuhkan Feby begitu saja.

"Oh, gitu ya, Mas. Ya udah. Mas istirahat aja. Pasti capek. Udah makan, kan?"

"Iya, tadi udah makan bareng temen. Kamu udah makan?"

"Udah, Mas. Sama Raka tadi."

"Oh. Oke. Aku tidur dulu, ya."

Jean mengangguk dan mengucapkan salam. Setelah Ganesa menutup panggilan videonya, Jean belum benar-benar bisa memejamkan matanya, hingga waktu menunjukkan pukul dua belas pas.

***

GANESA POV

Sumpah, gue beneran seneng hari ini. Dan mungkin untuk tiga hari kedepan. Hari ini gue jalan-jalan bareng Feby, keliling-keliling pulau Dewata ini. Sebenarnya gue nggak begitu suka jalan-jalan, tapi kalo sama Feby itu lain cerita.

Oke, gue akui ini salah. Salah banget malah. Di saat istri gue lagi sibuk mikirin gue udah sampai apa belum, gue malah asyik jalan-jalan sama cewek lain. Nggak bisa gue pungkiri, jalan bareng Feby itu asyik. Dia nggak pernah berubah soal ini. Dari dulu sejak dia jadi pacar gue, dia orangnya emang selalu asyik. Beda lagi dengan Jean. Dia itu terlalu... kaku?

Gue nggak nyalahin sikap Jean sama gue, tapi... gue ini udah dibikin pusing sama kerjaan di kantor, dan pulang-pulang... ah sudahlah.

Satu yang gue sesali, kenapa dulu gue nggak ngelamar Feby?

Gue bukan nggak bersyukur nikah sama Jean. Dan gue tahu karena tingkah sok pahlawan gue dulu sampai mau jadi pengantin laki-laki Jean itu bisa berdampak kayak sekarang. Emang, gue belum cinta sama Jean, nggak tau lah nanti.

Gila! Beneran gila! Gue suka banget sama senyumnya Feby. Ya Lord! Help me! Bahkan jalan-jalan bareng Feby berjam-jam itu nggak kerasa. Huhft... semoga besok bisa jadi hari yang menyenangkan... –lagi.

***

Mas Gaga kok gitu???

Gimana perasaan kalian kalo berada di posisi Jean?

Videocall-an euyyy sama misua... hihihihi..

cek typo, guys.

xoxo_

Windy Haruno si penulis amatir yang lagi sok sibuk 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top