BAB 24

Jean menutup kedua matanya. Saat ini, ia sedang menunggu mami di taman belakang rumah. Ia sudah bertekad untuk memberitahukan perihal rencananya yang akan bercerai dengan Ganesa.

Keputusan Jean sudah bulat. Ia akan bercerai. Meski pun berat, itu satu-satunya pilihan yang tepat. Pelbagai macam pertimbangan sudah dipikirkan Jean matang-matang. Termasuk kondisi hatinya nanti setelah berpisah dengan Ganesa.

Untuk saat ini, biarlah hanya mami yang tahu perihal keputusannya untuk berpisah dengan anaknya itu. Selebihnya, masih ada satu hal yang harus ia pastikan.

Soal kebenaran kehamilan Febi.

Lamunan Jean buyar kala sebuah tangan menepuk pelan bahunya.

"Maaf ya, Nak. Mami lama. Soalnya habis nina boboin cucu-cucu Mami dulu."

Jean tersenyum tipis. "Mereka baru tidur siang, Mi?"

"Iya, Je. Tau sendirilah. Mereka main sampai lupa waktu."

Jean terkekeh pelan mendengar ucapan mami. Kelakuan tujuh cucunya itu memang ajaib, tapi lucu. Dijamin rumah langsung sepi kalau mereka tidak ada. Mami bahkan kadang sering lupa waktu kalau sudah bermain dengan cucu-cucunya.

"Ada apa, Je? Kamu kok murung?" tanya mami seraya mendekat ke arah Jean.

Jean memeluk tubuh mami. Sejenak ia ingin mencurahkan semua isi hatinya pada sang mertua agar tidak menjadi beban hingga ia pisah nanti.

"Aku sayang, Mami."

Mami mengelus pelan punggung Jean. "Mami juga sayang Jean."

"Mi..."

"Hm?"

"Mami seneng nggak Jean ada di rumah ini?"

Mami melepas pelukan Jean dan menatap kedua mata Jean yang mulai memerah karena menahan tangis.

"Kamu ngomong apa sih, Je? Ya jelas lah Mami seneng. Kamu itu salah satu pembawa kebahagiaan di hidup Mami."

Ada rasa bersalah yang muncul di dalam hati Jean saat mendengar ucapan mami. Sampai tak terasa kedua air mata Jean meluncur membasahi gamis yang dipakainya.

Mami mengusap pelan pipi Jean. "Kamu kenapa nangis, Je? Mami salah ya?" tanya mami dengan penuh sayang.

Jean menggeleng. Saat ini ia tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. Pasalnya, kalimat yang akan ia ucapkan pasti akan sangat menyakiti mami. Dan salah satu kelemahan Jean adalah melihat mami sedih.

"Mi, aku mau minta pendapat Mami."

"Hm, pendapat apa?"

"Mi, bagaimana menurut Mami kalau aku dan Mas Gaga... cerai?" tanya Jean penuh kehati-hatian.

Kening mami berkerut. Jean bahkan sudah menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis.

Cukup lama mami terdiam, hingga ia mengambil tangan Jean untuk ia genggam.

"Je. Mami kaget kamu ngomong kayak gini sama Mami. Kenapa? Apa karena masalah yang kemarin?" Jean mengangguk. "Je, mungkin Mami terdengar egois. Tapi Mami nggak pernah berharap kamu akan pisah dengan Gaga. Serumit apapun masalah kamu. Soal Feby, kita belum tahu kebenarannya."

Jean menatap tangannya yang digenggam erat oleh mami. "Mi, tapi Jean ragu. Sepertinya... Sepertinya Feby benar. Waktu Mas Gaga akan berangkat ke Bali, aku sempat melihat nama Feby ada di ponsel Mas Gaga. Mungkin saja itu benar, bahwa mereka bersama selama mereka berada di Bali."

"Je, jangan berandai-andai. Lebih baik kamu tanyakan pada Gaga. Atau kamu mau Mami yang tanyain? Je, jangan mengikuti bisikan setan agar kalian bercerai."

"Tapi, Mi. Bagaimana kalau janin yang ada di dalam rahim Feby benar anak Mas Gaga? Aku... Aku nggak tau harus gimana, Mi."

"Je, kamu juga harus pikirin. Gimana kalau janinnya bukan anak Gaga?"

Benar. Mami benar. Jean kembali bimbang. Sepertinya Jean harus segera mencari kebenaran perihal siapa anak yang berada di dalam rahim Feby. Tapi bagaimana caranya?

Selama memikirkan cara-cara untuk mencari tahu kebenaran itu. Jean tak sadar bahwa kini Ganess berdiri tepat di hadapannya dan juga mami. Tepat saat merasakan kepalanya sedikit terdorong kebelakang karena Ganesa tiba-tiba mencium keningnya, Jean pub tersadar. Jean mendongak dan melihat Ganesa yang tersenyum ke arahnya. Mami pun berdiri dan memukul pelan lengan Ganesa.

"Suka nyosor ya kamu!" omel mami pada Ganesa saat melihat tingkah tiba-tiba anaknya itu. Ganesa cengengesan.

"Mi, aku mau ngambil istriku dulu. Bye." Ganesa menggandeng tangan Jean meninggalkan mami yang menggeleng pelan.

Jean menatap tangannya yang bertautan dengan tangan Ganesa. Terasa hangat. Apa begini yang dirasakan Feby saat mereka bergandengan tangan?

Ganesa tiba-tiba berhenti, membuat Jean ikut menghentikan langkahnya. Jean baru sadar bahwa saat ini mereka sudah berada di dalam kamar mereka saat ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan.

"Je," panggil Ganesa.

Jean tak menjawab, hanya menatap Ganesa yang hari ini entah mengapa terlihat awut-awutan.

"Aku tahu kamu sedang ngomongin apa tadi bareng Mami. Tapi please banget, Je. Aku nggak mau cerai dari kamu."

Jean masih terdiam. Kali ini ia akan membiarkan Ganesa mengungkapkan semua apa yang selama ini tengah mengganggunya. Termasuk alasan kenapa Ganesa memilih untuk berselingkuh darinya.

"Je, ayo ngomong."

"Kamu yang harus ngomong, Mas. Kalo kamu nggak mau kita cerai, cerita semuanya. Apapun itu. Termasuk alasan kamu kenapa memilih selingkuh dari aku."

Ganesa tersentak mendegar nada tegas Jean. Tapi itu benar, di sini dia yang harus berbicara.

"Je, aku tau aku salah. Aku ternyata belum bisa lepas dari bayang-bayang seorang Feby. Asal kamu tau, Febi itu dulu adalah tunanganku. Dan sebentar lagi kami akan menikah. Tapi dia... Dia pergi tanpa ada alasan. Dan mungkin itu yang membuatku terdorong untuk menggantikan posisi calon suamimu dulu. Karena aku tau perasaanmu gimana. Dan soal selingkuh, ia Je, aku selingkuh. Tapi aku yakin bahwa janin yang ada didalam rahim Febi itu sama sekali bukan anakku. Tolong percaya, Je."

Jean menatap nanar ke arah Ganesa. Ada rasa sakit yang muncul di dalam hatinya. Ia terluka mendengar penjelasan Ganesa. Ternyata ia benar, pernikahan ini dari awal saja sudah salah. Lalu untuk apa dipertahankan?

"Je, aku mohon. Jangan berpikir apa-apa sampai aku menyelesaikan dan mendapat bukti bahwa janin itu bukan anakku. Oke?"

Jean terlihat berpikir lama. Tidak ada salahnya memberi Ganesa satu kali kesempatan kan?

"Oke. Tapi, Mas. Aku mau ke rumah Ibu. Boleh? Aku akan menunggu kabar darimu di sana."

Awalnya Ganesa ingin menolak, namun akhirnya ia mengangguk lemah. Menyetujui keinginan Jean. Ia patut bersyukur karena setidaknya Jean masih memberinya kesempatan untuk membuktikan semuanya.

Ya Allah, aku mohon lancarkan urusanku untuk membuktikan pada Jean bahwa janin yang ada di rahim Feby benar bukan anakku. Batin Ganesa.

***

Assalamualaikum. Apa kabar? Semoga baik semua ya.😊
Udah hampir ramadhan ini. Sudah persiapin apa aja untuk menyambut bulan suci ramadhan? Hehehe.

Oh ya, turut berduka atas kejadian yang menimpa saudara-saudara kita di Surabaya. Semoga yang berpulang ke rahmatullah bisa diberikan tempat yang layak oleh Allah. Dan yang ditinggalkan diberi ketabahan dan kesabaran. Yang pasti, stay save guys. Dan jangan lupa berdoa kepada Allah agar dilindungi olehNYA. Aaamiiin.

Untuk menyambut bulan suci ramadhan, saya ucapkan mohon maaf lahir dan batin. Mohon maaf kalau di tulisan saya kadang ada yang menyinggung atau bahkan menyakiti hati teman-teman semua. Atau balasan komentar saya ada yang tidak berkenan, mohon dimaafkan ya. 🙏

Yuk, fokus memperbaiki diri dan fokus untuk menggapai ridhoNYA selama Ramadhan dan untuk seterusnya. 😇

Semoga puasanya lancar yaaa😊❤️

Part depan aku private yes!💃

P.s: cek Typo guys☺️

Love,

Windy Haruno yang saat ini berada di balik selimut tebal untuk menghalau rasa dingin.😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top