BAB 11
"Je, gimana sama Gaga?" tanya mami dengan nada khawatir. Sebenarnya mami bukan tidak mau melihat anaknya yang sedang sakit, tapi kekesalan yang masih melingkupi hatinya setelah kedatangan Feby itu ternyata mengalahkan egonya. Berita perihal Ganesa yang sakit pun hanya ia ketahui melalui Jean. Jean yang merasa aneh dengan tingkah mertuanya itu pun hanya bisa terdiam, entah sadar atau tidak, Jean cukup tahu diri untuk tidak banyak bicara dulu, mengingat kejadian beberapa jam yang lalu sepertinya merupakan kejadian yang cukup serius sehingga membuat anggota keluarga di rumah ini terasa asing menurut Jean.
Jean yang tadinya sedang mengaduk pelan bubur yang ia buat itu pun berbalik dan menemukan mami sedang duduk di salah satu kursi yang ada di dapur. "Panasnya udah turun, Mi. Mas Gaga sekarang lagi istirahat."
Mami mengangguk pelan. "Besok nggak usah ke kantor aja, Je. Kasi tau dia. Dia itu kalo urusan kerjaan bisa lupa diri." Ujar mami mengingatkan.
Jean tersenyum tipis. "Iya, Mi. Tadi Jean juga udah ngasi tau kok. Besok nggak usah ngantor dulu."
Lagi-lagi mami mengangguk pelan. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Jean yang sudah menaruh piring di atas nampan untuk ia bawa ke kamarnya, namun sebelum Jean pergi, mami menahannya. Mami memegang kedua tangan Jean dan menatap Jean dengan pandangan memelas. "Je, tolong jaga Gaga ya. Dan apa pun yang terjadi sama rumah tangga kamu nanti, Mami harap kamu mau bertahan dengan Gaga."
Jean mengerutkan keningnya sedikit bingung dengan ucapan maminya. "Mami ngomong apa sih?" Jean menghela napas pelan lalu membalas genggaman mertuanya. "Mami jangan khawatir, ya. Mas Gaga baik-baik aja kok. Jean juga akan ngerawat Mas Gaga sampai sembuh. Jean nggak akan pernah ninggalin Mas Gaga." Kembali Jean menghela napas. "Karena ditinggalkan itu nggak enak banget rasanya, Mi." Lanjut Jean dengan ekspresi sedih.
Apa kamu masih bisa ngomong gitu setelah tahu semuanya, Je?. Batin mami.
***
Ganesa mengerjapkan kedua matanya setelah merasakan cahaya yang berasal dari sang surya mulai menyapa melalui celah-celah jendela kamarnya. Ia pun melirik ke sebelahnya yang ternyata sudah kosong. Sosok Jean sudah menghilang, mungkin dia sedang sibuk membersihkan atau membantu mami memasak. Entahlah.
Kepala Ganesa masih terasa berat, meski tak sesakit dan seberat semalam. Untung saja Jean dengan telaten merawatnya. Ganesa pun sampai tidak sadar, perempuan itu tidur jam berapa karena seingatnya, terakhir kali perempuan itu tengah mengganti air kompresan di kepalanya. Mungkin karena efek obat, Ganesa akhirnya tertidur dan tidak menyadari apa yang dilakukan Jean selanjutnya.
Ganesa menghela napas pelan, hari ini ia memutuskan untuk tidak ke kantor dulu. Mendengar titah dari istri yang melarangnya untuk ke kantor membuatnya mau tak mau harus bermanja-manja ria di kasur empuk itu. Belum lagi, titah Jean itu didukung penuh oleh sang mami. Yah, jadi judul hari ini adalah Ganesa dengan kasur empuknya.
Baru saja Ganesa akan menutup kembali kedua matanya, tiba-tiba ponselnya yang semalam sengaja ia letakkan di atas nakas berbunyi. Setelah berusaha cukup keras melawan rasa sakit yang mendera kepalanya, Ganesa meraih benda pipih itu. Nama Feby tertera di layarnya, dan seketika senyuman di bibir pucat Ganesa pun mengembang.
Gila, melihat namanya saja sudah membuat tubuh Ganesa seperti disuntik banyak vitamin. Bagaimana jika sudah mendengar suaranya? Mungkin sudah overdosis.
Tidak mau berlama-lama membuat Feby menunggu, akhirnya Ganesa men-dial panggilan itu.
"Halo, Feb." Sapa Ganesa.
"Halo, Mas." Ujar Feby di seberang dengan nada riang.
"Ada apa?"
"Kok ada apa? Kangen ini, Mas."
Nada merengek Feby di seberang sana mau tak mau membuat Ganesa menyunggingkan seulas senyum merekah. "Baru juga ketemu tadi malam." Balas Ganesa sambil terkekeh pelan.
"Ih, kangen tau. Nggak ngerti banget sih. Namanya juga cinta." Ucap Feby dengan nada manja. "Mas, video call-an yuk. Mau liat muka kamu. Ya? Ya?"
Ganesa mengiakan usulan Feby. Dan jadilah sekarang ia melihat wajah cantik Feby yang ditebak sedang berada di coffe shop. Mungkin sedang sarapan.
"Hmm, pagi bener kamu di coffe shop?"
Feby mengangguk pelan. "Iya, tadi aku bangun kesiangan. Makanya mampir dulu ke sini. Eh, Mas. Aku tadi ke kantormu, kata orang-orang di sana kamu nggak masuk. Kenapa?"
Ganesa tersenyum lembut. "Iya. Aku lagi sakit. Mami ngelarang aku ke kantor."
Feby memasang tampang terkejut. "Hah? Mas Gaga sakit apa? Kok nggak bilang-bilang?"
Hati Ganesa terasa menghangat kala mendengar nada khawatir dari Feby. Terakhir kalinya Feby sekhawatir itu adalah saat ia tengah kehujanan ketika tengah membeli sushi kesukaan Feby yang berlokasi tak jauh dari kantornya. Saat itu, Ganesa tidak berpikiran akan turun hujan, jadilah ia memutuskan untuk ke restoran Jepang itu dengan berjalan kaki tanpa mempersiapkan apa-apa.
"Cuma demam kok." Jawab Ganesa singkat.
"Ke dokter yuk, Mas. Aku yang nganterin." Tawar Feby dengan nada khawatir.
Ganesa menggeleng pelan. "Nggak usah. Cukup istirahat aja, nanti juga sembuh kok."
Feby cemberut dan menatap Ganesa tidak yakin. "Yakin?" Ganesa mengangguk. "Ya udah. Mas istirahat ya."
"Iyaaa."
Feby meminum white coffe-nya lalu kembali menatap Ganesa dengan intens. "Mas, i miss you so much."
Ganesa tersenyum hangat. "Too." Balasnya.
"Ya udah, Mas. Aku harus balik ke kantor. Cepet sembuh yaa."
"Yes. Thankyou."
"See you tomorrow."
"See you."
Tepat saat Ganesa mematikan panggilan videonya, Jean muncul bersama mami di depan pintu kamarnya yang tebuka. Tubuh Ganesa menegang. Melihat raut Jean yang kebingungan dan tatapan mami yang penuh selidik membuat kepalanya semakin terasa pusing.
Bagaimana kalau Jean dan mami mendengar semuanya?
"Je, tolong kamu ambilin kecap di dapur. Buburnya sini biar Mami yang bawa."
Jean mengangguk dan meninggalkan mami bersama Ganesa. Mami pun berjalan mendekat ke arah Ganesa yang kini tengah setengah berbaring, nampannya ia taruh di atas nakas. Mami lalu mengambil posisi duduk tepat di samping Ganesa yang masih memegang ponselnya dengan erat.
"Ga, mungkin kamu bisa membohongi Jean. Tapi tidak dengan Mami." Mami memegang tangan Ganesa yang bebas lalu meremasnya dengan pelan. "Nak, yang kamu jalani sekarang ini adalah pernikahan. Bukan pacaran atau apalah itu. Kamu sudah berjanji di hadapan kedua orang tua Jean, tamu undangan, dan yang pasti di depan Allah bahwa kamu sudah mengajukan diri untuk menjadi penopang Jean, melindunginya, menjadi tempatnya bersandar, berkeluh kesal, begitu pun dengan Jean. Menurutmu, semuanya hanya mainan dan kebohongan belaka? Coba kamu pikir ulang, Nak."
Setelah mengucapkan kalimat yang sukses menohok jantung Ganesa, mami langsung beranjak, meninggalkan Ganesa dengan pikirannya yang berkecamuk.
***
Wuhuiii...
Ganesa bermain api. Tiati, nanti kena loh, Ga. Sakit, pedes, nyeri dan lain-lain. Nggak bisa disembuhin dengan pasta gigi mau pun minyak gosok (loh?).
Huhft, gimana kalau kalian berada di posisi Jean? Nyess nyess gitu ye? Huhuhu.
Oh ya, sekadar info. Jadi mulai part 10 aku private acak ya. Dan khusus untuk part ini aku nggak private, nggak tau kalo next part. So, jika ada part yang nggak bisa kamu baca, berarti itu aku private. Oke? Oke?
Then, Jangan lupa, vote, komen, kritik dan sarannya guys. (Ini penting pake banget! Untuk kelangsungan mood nulis. –apaansih!-)
Dan jangan lupa, follow IG aku (@windyharuno) untuk info cerita dan info buku Kekasih Halalmu yang nantinya akan segera terbit. YEAY!
Okey, see you.
Love,
Windy Haruno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top