BAB 10
Malam ini Ganesa akan pulang, dan Jean sudah membuatkan puding dua rasa untuk suaminya itu. Ia baru tahu jika Ganesa ternyata orangnya tidak mau ketinggalan juga. Sehabis mendengar keponakan-keponakannya menyukai puding buatan Jean, ia juga jadi penasaran ingin mencoba. Dan dengan telaten, Jean membuatkan puding dengan porsi yang lebih banyak. Tahu sendirilah, Ganesa kalau makan kan tidak kenal berapa piring. Asal perutnya sudah mencapai batas.
Jean sudah akan bersiap-siap turun ke bawah, ingin segera menjemput suaminya itu bersama mas Bagas dan mami di bandara. Tapi saat baru berada di anak tangga ke lima, Jean melihat ruang tamu seperti kuburan yang begitu sepi. Walau pun semua anggota keluarga berada di sana, tapi yang Jean tangkap justru ketegangan yang menyelimuti ruangan itu. Karena penasaran, Jean segera melanjutkan menuruni tangga dan mencoba ikut bergabung dengan keluarga barunya itu. Jean mendekat ke arah mami yang terlihat memasang wajah tegang sekaligus memancarkan kemarahan. Tanpa babibu lagi, Jean menepuk bahu mami. Mami pun menoleh. Ekspresi yang bisa Jean lihat dari wajah mami sesaat setelah ia menepuk bahunya adalah ekspresi kaget. Begitu pun yang lain.
Jean tersenyum kikuk lalu mengedarkan pandangannya. Di sudut sofa yang berlawanan dengan mami sudah ada sosok yang tadinya akan ia jemput bersama mas Bagas dan mami, Ganesa –suaminya. Jean tersenyum sumringah lalu berjalan mendekat ke arah Ganesa.
"Loh, Mas? Kok nggak bilang kalo udah sampai?" tanya Jean seraya mendudukkan dirinya tepat di samping Ganesa. "Tadi rencana aku sama Mami dan Mas Bagas mau jemput. Atau aku yang salah memperkirakan waktu kedatangan pesawat kamu, ya? Hehehe..."
Sesungguhnya, Jean berusaha melemparkan guyonan yang memang dia akui sama sekali tidak pantas dianggap guyonan, tapi melihat ketegangan yang tercipta di antara keluarga ini membuatnya merasa asing. Ia seperti berada di tengah orang-orang yang tidak mengenalinya dan begitu pun sebaliknya. Ganesa yang notabene adalah suaminya pun terasa... jauh tak terjangkau. Ia seperti bukan Ganesa yang sebelumnya. Ada apa ini?
Mas Radit berdehem pelan, mungkin ia paham melihat ekspresi kebingungan dari wajah Jean, jadi ia memutuskan menjadi orang pertama yang memecah kesunyian. "Aku mau ke kamar. Mau liat anak-anak dulu." ujarnya seraya beranjak dari sofa yang tadi ia duduki. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia mendekat ke arah Ganesa dan menepuk bahu adiknya itu. "Kamu pikir baik-baik, Ga. Apa yang kamu lakuin itu benar?" ujarnya kemudian berlalu.
Jean melirik Ganesa yang terlihat menegang. Ia pun berinisiatif untuk mengelus pelan bahu Ganesa, berusaha untuk menenangkan laki-laki itu walau pada kenyataannya ia sama sekali tidak tahu menahu apa yang sedang terjadi. Ingin bertanya, tapi sepertinya waktunya tidak tepat.
"Ga." panggil mas Bagas. "Jangan pernah kamu membawa dia lagi untuk datang ke rumah ini."
Ucapan mas Bagas begitu mengyiratkan ketidaksenangan. Jean sampai benar-benar dirundung rasa penasaran.
Aku tanya sama mas Gaga aja nanti. Pikir Jean.
***
Setelah semua anggota keluarga itu bubar, Jean terus mengekor di belakang Ganesa. Menenteng tas kecil yang diyakini tas yang berisi oleh-oleh untuk keponakannya. Jean tersenyum tipis, mengingat tujuh bocah yang akan berteriak girang saat nanti dibagikan oleh-oleh yang dibeli Ganesa.
Sesampainya di kamar, Jean segera menaruh tas kecil itu di atas nakas. Sementara Ganesa sudah melepas bajunya yang terasa lengket.
"Mas, udah solat isya belum?" tanya Jean berbasa-basi.
Ganesa melirik ke arah Jean sekilas. "Udah, Je. Tadi sempet singgah dulu di masjid."
Jean mengangguk singkat lalu menyerahkan handuk untuk dipakai Ganesa. Entah mengapa hari ini Ganesa terasa... berbeda. Tak ada semangat yang terpancar di wajahnya, bibir yang biasanya menampilkan senyum jail itu pun seolah menghilang.
Jean menghela napas pelan saat melihat Ganesa berbalik dan berjalan menuju kamar mandi. Sementara Ganesa masih membersihkan diri, Jean mendekat ke arah koper yang berisi baju-baju milik Ganesa selama berada di Bali. Ia pun dengan segera membuka koper tersebut dan mengeluarkan isinya. Pakaian kotor ia bawa dan menaruhnya ke dalam keranjang yang berisi pakaian kotor lainnya. Sedangkan satu pakaian bersih yang masih tersisa ia taruh di tempat biasanya.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Ganesa yang sudah memakai kaos putih polos dan celana panjang berwarna abu-abu. Ia menggosok-gosok pelan rambutnya yang basah menggunakan handuk, lalu menggantungnya setelah merasa rambutnya sudah cukup kering.
Ganesa melirik Jean yang terlihat sibuk merapikan baju-bajunya. Mungkin perempuan itu tidak menyadari kehadirannya. Ia pun berjalan mendekat, lalu tanpa aba-aba memeluk pinggang Jean dengan pelan.
Jean terkesiap. Ia segera memegang kedua tangan Ganesa yang melingkari pinggangnya. Kepala laki-laki itu pun ia taruh tepat di bahu Jean. Sedikit geli, karena nafas panas Ganesa tiba-tiba menerpa kulit bahunya.
"Kenapa, Mas?" tanya Jean gugup.
Ganesa menggeleng.
Jean menutup pintu lemari itu dan menguncinya. Ia pun berbalik dan menatap wajah Ganesa yang terlihat sayu.
Kening Jean mengerut. Kayaknya ada yang salah sama mas Gaga. Batin Jean.
Jean menaruh punggung tangannya tepat di kening Ganesa. Awalnya ia hanya iseng, karena tidak biasanya suaminya itu bertingkah aneh, namun yang didapat justru panas yang cukup tinggi setelah punggung tangannya sukses menyentuh kening Ganesa.
"Ya Allah, Mas. Kamu demam." ujar Jean dengan nada khawatir. Jean segera menggiring Ganesa menuju kasur dan menyuruhnya untuk berbaring. "Mas sudah makan?" Ganesa mengangguk.
"Ya udah, Mas tidur, ya. Aku mau ambil air kompresan dulu."
Baru saja Jean akan beranjak menuju dapur, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Ganesa. "Kenapa, Mas? Mau nitip sesuatu?"
Ganesa lagi-lagi menggeleng. Ia pun menaik Jean mendekat dan membiarkan istrinya itu ikut beebaring dengannya di kasur. "Peluk..." ujar Ganesa dengan nada pelan.
Jean mengerjapkan kedua matanya terkejut dengan permintaan suaminya itu. Tenang, Je. Dia itu suami kamu, tidak sepantasnya kamu malu. Malu itu kalo peluk-pelukan sama yang bukan mahram kamu. Batin Jean menenangkan dirinya.
Dengan gugup, Jean melingkarkan tangan kirinya pada bahu Ganesa, sementara tangan kanannya digunakan sebagai bantal oleh Ganesa. Jean pun hanya bisa sedikit menggerakkan tangan kanannya untuk mengelus pelan kepala Ganesa.
"Mas istirahat aja ya. Besok nggak usah masuk kantor." ujar Jean pelan. Ganesa pun hanya bergumam tidak jelas. Ia merasa nyaman dengan pelukan Jean saat ini, walau berbeda dengan pelukan Feby.
Feby?
Ganesa kembali teringat dengan kejadian beberapa jam yang lalu, saat Feby ikut masuk dan menyapa mami serta saudara dan iparnya. Alasan Feby ikut masuk ke rumahnya memang murni karena ingin menemani Ganesa yang mengaku pusing selama di perjalanan, takut terjadi apa-apa, ia pun memutuskan untuk menemani laki-laki itu. Dan selama perempuan itu kembali menginjakkan kaki di rumah Ganesa, kelihatan sekali penolakan yang diperlihatkan oleh keluarganya terhadap kehadiran Feby tadi. Tapi yang patut ia syukuri adalah, Jean tidak berada di ruangan itu sebelum Feby pergi.
Maaf, Je. Maaf.
"Mas, aku pernah denger, kalau sakit itu bisa menggugurkan dosa. Semoga..." ucapan Jean tiba-tiba menghilang dari indra pendengaran Ganesa. Yang ada di benaknya saat ini adalah kejadian di mana ia dan Feby menghabiskan waktu bersama Feby selama di Bali kemarin.
Dosa? Apa ini teguran karena aku udah ngehianati Jean?
Jean yang merasa ucapannya tidak didengarkan oleh Ganesa pun menghentikan ucapannya. "Mas? Aku banyak bicara ya? Maaf ya. Ya udah, Mas istirahat saja. Kalau Mas butuh apa-apa, aku di sini kok."
Dia... sebaik itu.
***
Fiuhhh, akhirnya apdet ya. Hehehe...
Gimana sama part ini? Kerasa nggak Kriuk kriuknya? Hihihi.
Mas Gaga sakit, huhuhu. Siapa yang sedih?
Yuhuu, ditunggu vote, komen, kritik dan sarannya, guys.
Dan jangan lupa follow IG-ku (@windyharuno) untuk info buku Kekasih Halalmu yang nantinya akan diterbitkan.... yey!
Jean lagi natap apa sih? hihihi...
Nih, yang penasaran Feby gimana orangnya. Feby yang bisa mengalihkan dunia mas Gaga :')
Xoxo,
Windy Haruno penulis amatir yang suka makan pedes
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top