BAB 1
Jean menatap dirinya pada pantulan cermin, ia sudah rapih dengan baju kebaya dan make up yang dibuat tidak terlalu tebal sesuai keinginannya. Hari ini adalah hari berbahagia bagi Jean. Hari yang ditunggu-tunggu untuk setiap orang, hari pernikahan.
Jean tersenyum sumringah saat mengingat Zaki –kekasihnya telah melamarnya beberapa bulan yang lalu. Jean sendiri tak pernah menyangka Zaki akan melamarnya di saat hubungannya masih bisa dikatakan seumur jagung. Ya, hubungan antara Jean dan Zaki saat itu memang masih berjalan dua bulan.
Lagi, Jean mengecek make up, baju dan hijabnya –memperbaiki jikalau saja ada yang berantakan. Jean benar-benar ingin tampil sempurna dihari bahagianya ini. Jean kemudian menghela napas pelan, untuk menenangkan debaran jantungnya yang sudah menggila.
Suara ketukan pada pintu membuat Jean tersentak, ia melihat Gea dari pantulan cermin –sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman resenya. Adiknya itu memang selalu menyebalkan, berbeda dengan mas Tama –kakak sulungnya yang selalu terlihat berwibawa dan tegas. Tapi suatu saat nanti senyuman rese itu akan ia rindukan.
Gea memegang kedua bahu kakaknya itu dan tersenyum simpul –kali ini bukan senyuman rese atau pun jailnya, tapi benar-benar senyuman yang tulus, senyuman yang menyiratkan rasa haru dan bahagia. Bagaimanapun, Jean adalah sosok kakak yang tangguh baginya. Walau pun kadang sering bertengkar dan berselisih paham, ia tetap menyayangi kakaknya itu. Ia akan merasa kesepian dan kehilangan setelah ini. Jean memang selalu memperingatinya, bahwa pernikahannya itu tidak akan menjadi dan menimbulkan jarak di antara mereka. Gea selalu meyakini itu, tapi bagaimana pun juga, selalu ada rasa kehilangan yang menyergap batinnya saat mengingatnya.
"Ada apa, hm?" Jean tidak cukup bodoh untuk meyakini raut kesedihan dari wajah adiknya itu, tapi ia tetap berusaha terlihat tegar di depan Gea. Adiknya itu tak boleh tahu, bahwa dirinya sendiri sebenarnya tidak ingin meninggalkannya. Tapi hidup terus berjalan, bukan? Hidup untuk ditinggal dan meninggalkan.
"Nggak, nggak papa kok. Kakak mau makan sesuatu? Atau minum sesuatu?" tawarnya
Jean tersenyum simpul, kemudian memegang tangan adiknya yang berada di bahu sebelah kanannya, "Nggak kok, dek. Tadi udah makan. Kalo makan lagi, nanti lipstik aku rusak lagi."
Gea memutar kedua bola matanya dan mendengus pelan, "Ya, kan bisa pake lipstik lagi ribet amat."
"Nggak ah, maunya si Zaki yang rusakin lipstiknya." Ujar Jean sambil terkekeh pelan
Gea menoyor kepala kakaknya itu, tidak keras seperti biasanya –takut make up yang dibangga-banggakan kakaknya itu rusak.
"Yee, dasar mesum! Tau jawabannya gitu, gue ma ogah nawarin makan. Jijik."
Jean tertawa, ia tahu adiknya itu mulai kesal karena Gea mulai memakai gue-lonya yang selalu terdengar kasar. Makanya, Ibu selalu ngomel kalau mendengar Gea memakai gue-lo di rumah. Kecuali sama Jean pastinya. Ia satu-satunya anggota keluarga yang tidak keberatan Gea memakai gue-lo jika bersamanya.
"Jijik-jijik. Lo juga ketagihan nantinya."
Gea mendengus kasar, kakaknya itu memang terkenal dengan mulut kotornya. Sekasar-kasarnya saat ia berbicara, mulut kakaknya itu lebih kasar daripada pasir di sungai.
"Udah, ah. Bikin ilfeel aja." Ujar Gea sambil memberenggut sebal
Baru saja Jean akan membalas ucapan Gea, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Memperlihatkan nama Zaki di jendela pop-upnya. Jean kemudian mengambil ponselnya itu dan menggeser ikon gembok untuk membuka layar ponselnya yang terkunci.
Jean membaca kata perkata dari pesan singkat yang di kirim Zaki untuknya. Kedua tangan Jean gemetaran. Gea yang melihatnya sedikit cemas.
"Ada apa, kak?"
Jean tak menjawab, ia hanya menatap layar ponselnya dengan pandangan kosong. Gea yang merasa khawatir dengan sikap Jean, mengambil alih ponsel itu dan membaca pesan singkat dari Zaki.
Gea sama terkejutnya dengan Jean. Namun Gea berusaha untuk menenangkan dirinya. Gea kemudian memegang lengan Jean, membalikkan tubuh kakaknya itu yang entah sejak kapan sudah berubah suhu menjadi sedikit dingin. Gea tidak ingin bermasa bodoh, ia segera menarik tubuh kakaknya itu ke dalam pelukannya. Meski Jean sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan membalas pelukannya, Gea tetap memeluknya dengan erat. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya memeluk Jean dan berusaha untuk menenangkan kakaknya itu dalam diam, membiarkan gemuruh AC yang semakin membuat suasana menjadi semakin mendingin.
"Ya, dia... bercanda kan?" gumam Jean
Gea terdiam cukup lama, memikirkan jawaban yang tepat agar kakaknya itu bisa menerima kenyataannya, meski Gea tahu itu cukup sulit.
"Ehem, kak... Jodoh itu udah ditentuin sama yang di atas. Kalo beneran jodoh, sejauh apapun jaraknya, sesulit apapun, pasti akan ada jalan. Tapi kalo nggak jodoh, sedekat apapun dan segampang apapun hubungannya, nggak akan berjalan dengan lancar." Ujar Gea panjang lebar
Jean mulai terisak, dan Gea semakin mengeratkan pelukannya. Membiarkan kakaknya itu menumpahkan semua keluh kesahnya.
"Tapi, Ya. Kenapa Tuhan musti nunjukin kalo Zaki bukan jodoh aku di saat semuanya sudah di depan mata? Kenapa?" isakan Jean semakin menjadi-jadi. Sama sekali tak ada di dalam pikirannya bahwa semua ini akan terjadi. Kemungkinan ini tak muncul dibenaknya, yang ada dipikirannya hanyalah rasa bahagia yang membuncah, perasaan bahwa dunia ini hanya miliknya dan Zaki. Tapi, apa? semuanya hancur hanya karena pesan singkat sialan itu.
"Tuhan nggak serta merta ngasi cobaan ini, kak. DIA akan ngeganti yang lebih baik lagi."
Jean memang bukan manusia super yang bisa menerima pernyataan Gea barusan dengan lapang dada. Ia tak meminta apa-apa selain meminta agar menjadikan semua ini hanya mimpi belaka.
"Tapi gimana dengan Ibu, Ayah, Mas Tama, para undangan yang sudah hadir. Gimana, Ya? Aku yakin semuanya akan malu."
Gea mengelus pelan lengan kiri kakaknya, berusaha untuk menenangkan. Namun nyatanya, Jean tetap gusar dan semakin bertingkah seperti cacing kepanasan. Jean bahkan sudah menggenggam erat tangan kiri Gea yang bebas.
"Kak, tenangin diri kakak. Biar aku yang urus semuanya. Kakak disini aja dulu. Aku akan keluar ngasi tau Ayah dan Ibu. Untuk para undangan, nanti aku dan mas Tama yang urus. Kakak nggak usah khawatir ya."
Ini yang Jean sukai dari Gea. Gea yang dewasa, dan bisa berpikir tenang meski sedang dalam suasana yang buruk. Berbeda dengan dirinya, yang gampang panik dan gampang kepikiran dengan masalah-masalah yang di hadapi.
Jean masih terisak. Make up yang sedari tadi dibangga-banggakan akhirnya rusak karena air mata yang terus bercucuran. Berkali-kali ia menyekanya, namun air mata itu terus menerus mengucur. Jean jadi kesal sendiri.
Selagi Gea memberitahukan kabar buruk ini pada Ayah, Ibu dan mas Tama. Jean berusaha untuk menelpon Zaki. Meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya. Ia tak terima jika Zaki membatalkan semuanya dengan segampang itu. Proses yang di lalui seolah tak berarti apa-apa baginya.
Jean terus mencoba menghubungi Zaki, namun laki-laki itu sama sekali tak mengindahkan panggilannya. Jean benar-benar merasa frustasi.
Dasar laki-laki sialan!
Tak perlu menunggu lama, Gea kembali. Kali ini Gea bersama Ibu. Ayah dan mas Tama entah kemana.
"Kak. Kakak tenang ya, Ayah dan mas Tama lagi ngurus semuanya di luar." Ujar Gea menenangkan
Jean menatap Gea dan Ibunya bergantian. Ada rasa bersalah dan malu ketika melihat keduanya.
"Maafin, Jean. Bu." Jean memeluk perut Ibunya dengan sangat erat, mencari ketenangan dari sana.
Hani –Ibu Jean mengelus pelan rambut anaknya itu, menenangkannya. "Sudah, nak. Kamu nggak perlu tangisi laki-laki seperti dia. Bagus kalau dia sadar diri untuk tidak menikahimu. Daripada dia sadarnya pas nanti kamu sudah menikah. Itu berarti dia sadar bahwa dia belum cukup baik untuk bisa mendampingi kamu."
Isakan Jean semakin menjadi-jadi. Ia belum bisa menerima semuanya. Sampai suara Rudi –Ayahnya menginterupsi kegiatan Gea dan Hani yang sedang menenangkan Jean.
"Je. Ayah mau ngomong." Rudi menatap anak keduanya itu dengan sorot mata tegas, sama sekali tak menampakkan rasa malu atau pun canggung karena batalnya pernikahan anaknya itu, "Di luar ada anak teman Ayah. Namanya Ganesa. Ganesa Pradipta. Katanya, dia mau ketemu kamu." Rudi memanggil Tama agar menyuruh orang yang bernama Ganesa itu untuk masuk ke dalam ruangan dimana keluarga Rudi berada.
Jean mengira semua ini hanya settingan. Mengira Zaki akan memberinya sureprise, tapi nyatanya setelah lima menit orang yang bernama Ganesa itu masuk ke dalam ruangan bersama mas Tama, sama sekali tak ada yang berubah. Laki-laki itu justru mengatakan hal yang sama sekali tak di duga oleh Jean.
"Jeannisa Deandra Rudi. Maukah kau menikah denganku?"
🤗🤗🤗
Oke, masih bab 1. 😌
Gimana menurut kalian?
Lanjut or not? 😅😄
Xoxo
Windy Haruno🐥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top