🐼 26 🐼

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part 26

||🌺🌺🌺||


Duduk, diam, menghadap ke depan dengan pandangan kosong. Itulah yang dilakukan Altha saat ini. Duduk sendiri di bangku kayu taman rumah sakit. Sebenarnya, dia tak benar-benar sendiri. Ada Liam dan Dani yang berada tak jauh darinya. Sedangkan Danish, dia tengah pergi ke kantin untuk membeli minuman. Jangan lupakan ketujuh bodyguard yang memang ditugaskan menjaganya.

Meski Altha sudah melarang mereka untuk mengikutinya, tidak mungkin mereka menuruti begitu saja. Mereka tak ingin terjadi apa-apa pada Altha.  Sesekali pemuda itu mengembuskan napas dalam. Menikmati embusan angin yang saat ini hanya bisa dia rasakan tanpa bisa dilihat keindahannya. Bohong jika dia tak memikirkan kondisinya.

Danish datang dengan beberapa botol minuman. Dia membaginya pada Dani dan juga Liam. "Tadi gue lihat bokap nyokapnya Altha ke ruangan Dokter Ricky," ucap Danish setelah meneguk minumannya.

Dani menatap Danish. "Pasti ngomongin soal donor mata buat Altha." Danish mamang sempat mendengar orang tua Altha meminta pada Dokter Ricky agar mencarikan donor mata untuk Altha.

"Semoga bisa cepet nemuinnya, ya. Gue bener-bener nggak tenang lihat Altha kek gini. Secara nggak langsung, gue juga ikut andil dengan kebutaannya." Liam menunduk menyesali. Dia selalu berandai-andai, andai saja dia menuruti Dani. Andai saja dia tidak mudah memberikan kunci motornya pada Altha. Semua ini, tidak akan pernah terjadi.

"Percuma juga kalau lo menyesali terus. Nggak ada gunanya juga." Dani menepuk pundak Liam. "Yang penting, kita harus selalu berada di samping Altha." Liam dan Danish mengangguk membenarkan ucapan Dani.

"Gue mau nemuin Om dan Tante dulu, kali aja ada perkembangan soal pendonor Altha." Liam dam Danish kembali mengangguk, dan Dani pun meninggalkan keduanya.

Sepanjang lorong, Dani hanya diam. Pikirannya masih memikirkan soal penyakit apa yang diderita Sisy. Ya, sejujurnya, inilah yang sejak kemarin mengganggu pikirannya. Sejak dia mendapati keberadaan mereka dengan Sisy yang berpakaian seperti pasien. Ingatannya kembali pada hari di mana Sisy baru masuk sekolah. Bukankah Sebelumnya Sisy juga izin dari sekolah? Apa karena Sisy memang  sudah sakit sebelum dia masuk? Dani menggeleng, lebih baik dia memikirkan kondisi Altha lebih dulu.

Dalam langkahnya Dani melihat seseorang yang dia kenal tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Itu Naira, pasti ingin menemui Sisy. Tak jauh berbeda, Naira pun melihat keberadaan Dani. Saat jarak antara keduanya sudah dekat, Naira yang merasa dipandangi oleh Dani berhenti dan membalas tatapan itu dengan pelototan. "Apa lo liat-liat?" tanya Naira dengan nada songongnya.

Sedangkan Dani, dia hanya menaikkan satu alis merasa tidak mengerti dengan kemarahan Naira.

"Eh, ditanya diem aja," gerutu Naira. Dia memandang Dani penuh curiga. Tangannya menunjuk Dani dan tatapannya memicing. "Lo ngikutin gue, ya?"

Kali ini Dani berdecak. Dia lebih memilih berlalu daripada harus mendengar ocehan tidak berfaedahnya Naira. "Dasar sinting. Ditanya malah pergi." Dani masih bisa mendengar ucapan Naira. Memilih mengabaikannya dia melanjutkan langkahnya.

🌺🌺🌺

Seorang lelaki paruh baya berjalan di lorong rumah sakit dengan tatapan datar dan  pandangan lurus ke depan. Aura mengintimidasi begitu kentara di sekitarnya membuat beberapa orang enggan melihatnya secara langsung. Langkahnya berhenti ketika dia telah sampai di sebuah kamar rawat inap. Membuka dan langsung mendapati wanita yang umurnya dua tahun lebih muda darinya tengah duduk di sisi bangkar. Wanita itu menoleh saat mendengar pintu terbuka.

"Kamu?" Terlihat jelas wajah terkejut dari wanita itu. Wanita itu berdiri dan menghampirinya. Kedua tangannya dia tangkup dan menatap penuh permohonan pada dirinya.

"Aku mohon. Selamatkan putriku. Dia satu-satunya yang aku punya." Ucapan itu disertai tetesan air mata. "Aku tidak akan sanggup jika harus kehilangan dia."

"Kamu tenanglah dulu. Aku sedang berusaha." Suara tangis itu kian menjadi. Masih dengan menangkup tangannya, dia ingin meluruhkan tubuhnya.

"Jangan! Jangan seperti ini. Dia akan semakin terluka jika melihatmu begini." Tubuh kekar itu menarik sang perempuan pada pelukannya untuk memberikan kekuatan. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya. Dia pun sama hancur dengan perempuan itu melihat sang putri yang tertidur tak berdaya.

🌺🌺🌺

Sisy mengerjap, matanya terasa berat untuk dibuka. Namun, dia harus. Sisy mendapati Aidan duduk di sampingnya dengan tatapan yang fokus pada gawai. Ingin dia memanggil Aidan, tetapi terasa sulit mengeluarkan suaranya. Sekuat tenaga dia berusaha. "K—kak Aidan," lirihnya.

Beruntunglah Aidan mendengarnya, dia pun menoleh. "Hey, udah bangun?" Sisy memberikan senyum manisnya. "Mau apa?" tanya Aidan.

"Aku mau ke taman." Aidan segera menggendong Sisy untuk dipindahkan pada kursi roda. Berbeda dengan sebelumnya yang hanya dibantu, Kali ini tidak lagi. Tubuhnya sudah terasa sangat lelah.

Setelah mendudukkan Sisy di kursi roda, Aidan mengamati sejenak seperti ingin menanyakan sesuatu. "Ada apa, Kak?" Suara Sisy menyadarkan Aidan.

"Mengenai kema—"

"Kak— Sisy ingin ke taman," potong Sisy. Aidan hanya mengembuskan napasnya. Dia segera mendorong kursi roda Sisy dan membawanya ke taman rumah sakit.

"Hai," sapa Naira saat mereka baru saja membuka pintu ruang rawat Sisy. Naira yang baru saja datang tampak memasang senyum manisnya.

"Kalian mau ke mana?" tanya Naira.

"Biasa. Ke taman rumah sakit," jawab Aidan, "mau ikut?" Naira mengangguk. Setelah meletakkan beberapa bawaannya di ruangan Sisy, ketiganya melanjutkan langkah.

Sesampainya di sana, pandangan keduanya tertuju pada seorang pemuda yang tengah duduk sendiri. Pandangan kosong terlihat jelas dari matanya. Sisy yang melihat itu merasa bersalah. Karena dirinyalah, pemuda itu tak lagi dapat menikmati indahnya dunia. "Sy ... Altha." Sisy mendongak menatap Aidan lalu mengangguk.

"Kak, antarkan Sisy menemui Kak Altha." Sisy menatap Aidan penuh harap.

"Kamu yakin?" Sisy mengangguk pasti. "Kakak takut kamu diapa-apain sama dia."

"Nggak papa, Kak. Bagaimanapun juga, Sisy yang udah buat Kak Altha seperti itu." Aidan menarik napasnya dalam. Namun tak ayal mendorong kursi roda milik Sisy mendekati Altha. Saat mereka sampai di dekat Altha, ketiganya masih bergeming. Merasa bingung apa yang harus dilakukan. Sedangkan Sisy, dia memandang Altha dengan mata berkaca. Dari arah berlawanan, Liam dan Danish juga mendekat, menghindari sesuatu yang tidak mereka inginkan. Termasuk para bodyguard Altha.

"Kak Altha," panggil Sisy.

Altha yang sebelumnya tampak diam kini menegang. Raut kemarahan mulai tampak di wajahnya. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. "Ngapain lo ke sini?" sentak Altha pada Sisy.

Meski Altha tak memandang tepat pada Sisy, gadis itu tahu jika kemarahan itu ditujukan kepadanya. Melihat itu, Lagi-lagi rasa bersalah Sisy mencuat. Biasanya, Altha yang marah padanya akan menatap nyalang. Menatap penuh intimidasi yang bisa dilihat dari sorot matanya. Namun, kini semuanya berbeda. Tak lagi takut, Sisy semakin terluka melihatnya.

Sisy menatap Altha dengan mata berkaca. "Kak—"

"Gue tahu lo mau ngetawain gue, kan? Lo puas, kan, lihat keadaan gue yang udah buta? Udah cacat. Ha? Lo puas, kan?" teriaknya menggebu. Altha seolah meluapkan semua amarahnya. Menumpahkan seluruh kekecewaannya.

Sisy menggeleng. Air matanya kini sudah jatuh. "Lo pasti seneng, kan, sekarang? Orang yang selalu bikin lo susah sekarang udah nggak bisa apa-apa. Lo pasti bahagia lihat gue cacat, kan?" ucap Altha lirih dan terdengar pilu.

"Nggak gitu, Kak. Sisy ...," Sekuat tenaga Sisy mencoba bangkit dari kursi rodanya. Meski susah karena tubuhnya yang sudah tak bertenaga lagi, dia tetap memaksakannya.

"Sisy sedih lihat Kak Altha kayak gini," sambungnya. Tangannya terulur untuk menyentuh Altha. Namun sayang, baru saja dia menyentuh tangan, Altha sudah menghempaskannya begitu saja dengan keras. Membuat Sisy jatuh terduduk kembali pada kursi rodanya.

Aidan dan Naira yang melihat itu tentu saja terkejut. "Altha!" teriak Aidan.

Melihat itu, Liam dan Danish langsung siaga. Aidan baru saja maju. Namun, tak dapat melanjutkan ketika Sisy menahannya.

Altha yang mendengar suara Aidan tersenyum miring. "O ... jadi lo bawa pacar lo ini untuk ngetawain gue? Lo berdua emang pecundang, ya. Nyamperin gue saat gue udah buta. Lo emang pengecut sejati, Dan. Dan pacar lo itu, memang bicth." Aidan tak tahan lagi. Dalam keadaan lemah pun Maheshali satu ini tetaplah sombong. Tak menghiraukan Sisy, Aidan segera meraih kerah baju Altha. Liam dan Danish tentu saja tak tinggal diam. Keduanya mencoba melepaskan cengkeraman Aidan pada Altha.

"Kak Aidan udah," lerai Sisy. Namun, lagi-lagi keduanya tak menghiraukan.

"Jaga ucapan, lo." Nada tegas Aidan tak membuat Altha takut. Dia malah memasang senyum miringnya.

"Kenapa? Emang dia bicth, kan? Lo tahu apa yang udah gue lakuin ke pacar lo di Rooftop kemarin? Lo mau tahu?" Mata Sisy membulat seketika. Tidak sanggup jika Altha benar-benar mengatakan apa yang terjadi di antara dirinya dan Altha di Rooftop beberapa hari lalu.

"Dia, ud—"

"Altha."

🌺🌺🌺

Dani sampai di depan ruangan dokter Ricky bertepatan dengan orang tua Altha yang keluar. Dia memandang wajah keduanya yang terlihat seperti sedang bahagia.

“Dani?" panggil Farhan. "Kamu ngapain di sini? Altha mana?"

"Altha lagi di taman, Om. Sama Liam dan Danish. Para bodyguard suruhan Om juga," jelas Dani. Farhan hanya mengangguk.

"Ada perkembangan mengenai Altha, Om?"

"Ah, iya. Dokter Ricky sudah menemukan pendonor untuk mata Altha," ucap Lili dengan wajah bahagianya.

Embusan napas lega keluar dari Dani. "Syukurlah kalau begitu Om. Kalau gitu, Dani mau ke taman lagi nemenin Altha.” Farhan mengangguk.

Dani kembali ke arah taman rumah sakit. Baru saja langkahnya menapaki taman, dia mendapati sesuatu yang tak beres. Matanya memicing kala melihat keberadaan Sisy di dekat Altha, lalu melotot kala melihat Altha yang menghempaskan Sisy. Belum lagi lagat Altha seperti orang yang sedang marah-marah. Tak ingin terjadi sesuatu, dia pun segera menghampiri mereka.

Semakin dekat, dia melihat Aidan yang saat ini mencengkeram kerah baju Altha. Samar-samar dia bisa mendengar percakapan Aidan dan Altha. "Dia, itu—"

"Altha," panggilnya yang menghentikan ucapan Altha.

"Ada apa ini?" sambungnya. Cengkeraman Aidan pun dilepas. Dani mendekati Altha dan berdiri di dekat Altha.

"Para pecundang mau ngetawain kecacatan gue," ucap Altha yang menghadap entah ke mana.

"Enggak, Kak. Ini salah paham." Sisy memandang Dani penuh kejelasan. Dia menghela napas dalam lalu menatap Altha yang tampak diam.

"Al, kontrol emosi lo, nggak baik buat kesehatan, lo. Gue ke sini dapat kabar bagus buat lo."

"Apa?"

"Lo udah dapat pendonor mata." Altha melihat ke arah Dani mengandalkan pendengarannya. Tatapan butuh kejelasan.

"Besok lo bisa operasi dan lo bakal bisa ngeliat lagi." Altha tersenyum miring. Keluarganya memang tidak akan membiarkan dia terus seperti ini. Apalagi, dia adalah pewaris Maheshali. Dengan kekayaan yang keluarganya punya, pasti dia bisa mendapatkan donor mata dengan cepat. Hmm, di dunia yang egois ini uanglah yang berkuasa.

"Lebih baik kita ke ruangan lo sekarang," imbuh Dani. Altha mengangguk dan berbalik badan.

Namun, langkahnya terhenti dan melirik sejenak ke arah Aidan, Sisy dan Naira. Seolah ia memang bisa melakukannya. "Sebentar lagi gue bisa lihat. Tunggu pembalasan dari gue nanti. Karena Maheshali, tidak akan pernah tinggal diam."

Altha melanjutkan langkahnya didampingi Danish dan Liam. Sedangkan Dani, dia sempatkan menoleh sejenak pada Sisy lalu melanjutkan langkahnya lagi.

🌺🌺🌺

Hari ini Altha akan melakukan operasi mata. Dia sangat berharap semuanya bisa berjalan lancar dan bisa melihat kembali. Saat itu telah tiba, sesuatu yang sangat ingin dilakukan akan segera dilaksanakan. Bangkar Altha didorong menuju ruang operasi. Kali ini, hanya ada Dani dan kedua orang tua Altha yang menemaninya. Sedangkan Danish dan Liam masih berada di sekolah. Lili memegang erat tangan Altha, menggantungkan harapan besar akan kelancaran operasi mata putranya.

Genggaman itu terlepas saat Altha memasuki ruang operasi. Namun, pintu belum juga ditutup sempurna sehingga mereka bisa melihat Altha yang tengah dipersiapkan. Dani mendekati kedua orang tua Altha. "Om, Tante, kalau boleh tahu, siapa yang menjadi pendonor mata untuk Altha?"

Farhan menoleh pada Dani lalu menggeleng. "Data para pendonor sangat dirahasiakan, Dan. Kita tidak diberi izin untuk mengetahuinya." Dani tampak terdiam.

Hingga ucapan Farhan selanjutnya membuat dia menoleh. "Anehnya, keluarga pendonor menolak uang yang kita berikan."

Kening Dani terlipat pertanda bahwa ia merasa bingung. "Kok bisa gitu, Om?"

Farhan hanya menggeleng. "Kami juga tidak tahu. Benar-benar berhati malaikat dia dan keluarganya." Dalam hati, Farhan mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada seseorang yang sudah dengan besar hati mendonorkan mata untuk putranya.

"Pa, Mama takut," ucap Lili dalam pelukan suaminya. Farhan juga merasakan tubuh Lili yang gemetar. Badannya terasa dingin. Mungkin, saking takutnya.

"Ma, kita cari minum dulu, ya?" tawar Farhan pada istrinya.

Lili menggeleng. "Mama mau di sini, Pa. Nungguin operasi Altha." Rasa khawatir sebagai ibu membuat Lili tidak bisa tenang. Dia takut, teramat takut.

"Ma. Mama berdoa saja yang terbaik untuk anak kita. Sekarang kita cari minum dulu untuk nenangin Mama. Dani akan di sini selagi kita nggak ada. Nanti kita juga langsung ke sini setelah mendapat minum."

Dani yang mendengar pun turut berucap, "Iya, Tante. Tante tenang aja, semuanya pasti lancar. Tante cari saja minum dulu untuk menenangkan diri Tante." Lili pun mengangguk. Dia menuruti suaminya untuk ke kantin rumah sakit sekedar untuk mencari minum.

Selepas kepergian kedua orang tua Altha, Dani melihat Dokter Ricky. Dia segera mendekatinya. "Dok. Kalau boleh tahu, siapa yang mendonorkan mata untuk Altha, Dok?"

Dokter Ricky tersenyum. "Maaf Dani, data pendonor sangatlah dirahasiakan."

Dalam hati Dani mendesah frustrasi. "Saya mohon, Dok. Saya ingin mengetahui siapa dia. Apalagi saya mendengar dari Om Farhan kalau dia tidak mau menerima uang dari kami." Ricky memandang Dani dalam.

"Ayolah, Dok," pinta Dani kembali. Ricky pun menghela napas dalam.

"Sebentar lagi dia dan keluarganya akan memasuki ruang operasi. Kamu bisa menemui mereka secara langsung." Dani mengangguk.

"Ah, itu mereka." Dani pun menoleh. Dia melihat brankar yang tengah didorong oleh beberapa perawat dan juga satu orang yang Dani yakini keluarga dari pendonor itu. Hingga jarak semakin dekat, Dani pun bisa melihat mereka. Akhirnya, Dani bisa bertemu dengan keluarga pendonor mata untuk Altha.

||🌺🌺🌺||

Selamat sore semua.

Apa kabar kalian semua? Sehat bukan?

Semoga, ya


Hai. Menurut kalian, siapa pendonor mata untuk Altha?

😋😋😋😋😋


Hai. Cerita ini sudah tersedia dalam bentuk buku. Ready stok, ya. Siapa yang mau bukunya, bisa langsung chat ya😘😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top