🐼 13 🐼
Izinkan Aku Bawa Cinta Ini
Part / 13
||🌺🌺🌺||
"Mau mampir dulu, Kak?" Altha hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sisy. Keduanya turun dari mobil dan berjalan menuju rumah Sisy. Kedatangan Sisy tentu saja membuat Sinta terkejut. Pasalnya, sekarang bukanlah waktunya jam pulang Sisy.
"Sisy, kok kamu sudah pulang, Nak?" tanya Sinta dengan mendekati Sisy.
Sisy tersenyum. "Assalamualaikum, Bu," ucap Sisy sembari mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Ibunya.
"Eh, Wa ‘alaikumsalam." Sinta memberikan tangannya untuk dicium Sisy.
"Jadi, kenapa kamu sudah pulang?" Sinta kembali mengulang pertanyaannya.
"Sisy nggak enak badan, Bu. Jadi Sisy izin pulang." Ibu mana yang tidak langsung merasa khawatir saat mendapat jawaban seperti itu dari putri satu-satunya. Belum lagi, akan sakit yang diderita oleh putrinya.
"Sakit kamu kambuh, Sayang? Kamu lupa minum obatnya?" tanya Sinta khawatir, dan pertanyaan Sinta pun membuat Altha melipat keningnya. Bertanya-tanya akan apa yang dimaksud oleh ibunya Sisy.
"Enggak kok, Bu. Sisy minum rutin obatnya. Sisy lagi kecapean aja," ucap Sisy dengan senyuman. Membuat Sinta menghela sedikit napas lega
Tatapan Sinta kini beralih pada seseorang di belakang Sisy. Sisy yang menyadarinya pun segera memperkenalkan Altha pada ibunya. "Oh, iya, Bu. Kenalkan, ini Kak Altha. Dia yang udah nganterin Sisy pulang." Sinta menjabat tangan Altha dengan menautkan kedua alisnya. Sinta merasa, bahwa ia pernah melihat sosok laki-laki di hadapannya ini.
Hingga sesaat kemudian, ia mengingat siapa Altha. "Kamu yang kapan lalu memborong dagangan Tante, kan?" tebak Sinta.
Altha tersenyum dan mengangguk canggung. Sedangkan Sisy, ia menampilkan wajah tak mengertinya. "Maksud, Ibu?"
"Kapan lalu yang kue kamu jatuh ituloh, Sy. Dia ini datang kesini memborong habis kue kita. Katanya dia nggak kebagian di sekolah. Mungkin karena kue kamu jatuh kali, Sy," ucap Sinta dengan senyuman.
Sedangkan Sisy, ia menatap Altha penuh tanda tanya seolah meminta penjelasan. Namun Altha, ia hanya memalingkan wajahnya tak ingin menatap Sisy. "Eh, kenapa kita malah ngobrol di sini? Masuk yuk, Nak Altha," ajak Sinta sembari menarik tangan Altha. Sedangkan Sisy, ia membulatkan matanya melihat tingkah ibunya.
"Sebenernya anaknya ibu itu aku apa Kak Altha, sih?" gerutu Sisy yang mengikuti Ibunya serta Altha. Altha yang mendengar gerutuan Sisy pun hanya menarik senyum tipis. Lucu.
"Kamu duduk saja, Nak Altha. Ibu siapkan kue dulu sama minuman."
"Tidak perlu repot-repot, Bu," ucap Altha tak enak.
"Ah, nggak repot, kok. Tunggu, ya." Tatapan Sinta kembali tertuju pada Sisy. "Kamu, kan lagi nggak enak badan. Kamu duduk saja di sini temani Altha, ya?" Sinta meninggalkan Altha dan Sisy.
Setelah kepergian Sinta, tak ada obrolan apapun dari Altha dan Sisy. Keduanya sama-sama tak memiliki bahan untuk mereka obrolkan. Hingga Sinta kembali pun, keduanya tetap diam. Setelah 30 menit kemudian, Altha memilih pamit dari rumah Sisy.
🌺🌺🌺
Di pagi ini, Sisy sudah duduk tenang di bangku kelasnya. Namun, pikirannyalah yang tidak tenang. Sembari menopang dagu, pikiran Sisy mengingat kejadian tadi malam di rumahnya. Di mana saat ia akan mengeluarkan bukunya dari dalam tas, ia juga mendapati buku sejarah yang sempat hilang dan membuat ia mendapat hukuman. Sisy yakin, saat ia mencari buku itu kemarin, buku itu memang tidak ada. Tapi, bagaimana buku itu tadi malam bisa ada di dalam tasnya?
Naira yang baru saja datang tampak bingung melihat Sisy. Di pegangnya pundak Sisy yang berhasil membuat Sisy terkejut. "Eh, Naira? Kamu udah datang?"
Naira mendengus sambil berujar, "Udah dari tadi. Lo lagi ngelamunin apa, sih? Sampai gue dateng aja lo nggak tahu?"
Sisy melirik ke atas untuk mempertimbangkan. "Ra. Kamu lihat sendiri, kan kemarin kalau buku sejarah aku nggak ada?" Naira mengangguk. "Tapi, tadi malam buku itu ada di dalam tas aku," sambung Sisy.
Lipatan kening Naira terlihat. "Ah, masak?" Sisy mengangguk. "Apa kita kelewatan pas nyari?"
"Kan, aku keluarin semua dari dalam tas aku."
"Ta—"
"Hay Sy." Suara Aidan membuat ucapan Naira terpotong.
"Eh, Kak Aidan." Sisy merasakan Naira menyenggol lengannya sembari tersenyum menggodanya. "Ada apa, Kak?"
Aidan duduk di depan Sisy dan Naira. "Kakak dengar, kemarin kamu sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?"
"Sudah lebih baik kok, Kak," jawab Sisy.
"Iyalah baik. Apalagi, sekarang lo samperin Sisy. Pasti Sisy bakalan cepet sembuh," sambung Naira. Tak peduli dirinya yang mendapat pelototan dari Sisy dan tangannya yang dicubit kecil di bawah bangku.
Aidan tersenyum. Dia meletakkan bungkusan di hadapan Sisy dan Naira. "Tadi Mama Kakak buatin kamu puding. Rencananya, pulang sekolah nanti Kakak mau jenguk kamu. Tapi, karena kamu sudah masuk, Kakak kasih aja sekarang."
"Terima kasih ya, Kak." Aidan mengangguk dan tersenyum saat Sisy menerima pemberiannya.
Naira menautkan kedua tangannya di depan dada. "Wah, lo romantis bener sih. Gue juga mau dong, punya pacar yang kayak lo." Naira berucap dengan memasang wajah imutnya. Mendengar itu, Aidan hanya tertawa.
"Naira ih."
"Lo mau gue romantisin? Tenang. Nih, gue juga bawain buat lo." Aidan memberikan sebuah bungkusan pada Naira.
"Wah, cakep bener dah kalau kek gini. Makasih, ya." Aidan mengangguk.
"Ya udah. Kakak ke kelas dulu ya, Sy." Aidan meninggalkan kelas Sisy. Naira tersenyum saat melihat Sisy yang masih betah melihat arah kepergian Aidan.
"Apa gue bilang. Mendingan, lo sama Aidan aja, Sy." Sisy melihat Naira yang sudah memakan pudingnya. "Dia beneran cinta tuh sama lo. Dijamin, lo bakal bahagia terus." Naira kembali menyuapkan puding ke dalam mulutnya.
"Buat apa lo pertahanin perasaan lo buat Altha yang nggak tahu diri itu," sambung Naira kemudian.
Sisy menghela napas. "Ra, perasaan cinta itu nggak bisa dipaksa."
"Gue tahu. Tapi, belajarlah menempatkan cinta pada tempat yang sesuai. Lo orang baik. Jadi, cintailah orang baik juga."
"Kamu mau Kak Aidan aku buat pelarian?"
"Kalau awalnya memang gitu, nggak papa. Gue yakin lama-lama lo bakal cinta beneran sama dia." Sisy tak lagi membalas ucapan Naira. Seandainya bisa, ia pun ingin mengakhiri perasaannya pada Altha yang tidak mungkin terbalaskan.
🌺🌺🌺
"Sisy." Panggilan itu membuat langkah Sisy dan Naira terhenti. Terlihat Aidan yang berjalan cepat ke arah keduanya.
"Iya, Kak?" tanya Sisy. Aidan belum ingin menjawab. Ia melirik Naira yang berada di samping Sisy. Naira yang mengerti lirikan itu pun tersenyum.
"Sy, gue pulang dulu, ya? Gue udah laper." Tanpa menunggu jawaban Sisy, Naira pun berlalu begitu saja.
Dalam hati, Aidan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya pada Naira atas pengertiannya. "Ada apa, Kak?" Suara Sisy membuat Aidan kembali menatap Sisy.
"Tadi, Mama Kakak nelvon Kakak, dia tanya soal Kakak yang mau ke rumah kamu sepulang sekolah ini. Tapi, Karena kamu udah masuk, Kakak bilang nggak jadi," jelas Aidan. Ada hal lain yang sebenarnya ingin Aidan sampaikan. Namun, Aidan ragu untuk mengatakannya. Untungnya, Sisy menyadari hal itu.
"Lalu?"
Aidan tersenyum. "Mama Kakak minta Kakak ngajak kamu ke rumah," ucap Aidan ragu. Sisy tampak menimbang. Melihat Sisy yang tak kunjung menjawab, Aidan memahaminya. "Kalau kamu nggak bisa, nggak papa, Kok."
"Eh, Siapa bilang? Sisy ikut Ke rumah Kakak." Aidan tersenyum. Ia segera menggandeng tangan Sisy menuju ke parkiran. Bagi Sisy yang memang memandang Aidan seperti teman yang lainnya, dia merasa biasa saat tangan keduanya saling bertaut. Untuk Aidan, entahlah. Siapa yang tahu.
Dan jangan lupakan seseorang yang berada tak jauh dari keduanya berada. Memandang tak suka akan interaksi keduanya.
🌺🌺🌺
"Assalamualaikum. Ma, Mama." Aidan masih menggandeng tangan Sisy saat memasuki rumahnya.
"Mama," panggilnya lagi.
"Mama di dapur sayang." Mendengar itu, Aidan menggiring Sisy ke arah dapur.
"Ma, Aidan bawa Sisy." Mama Aidan yang mendengar itu, sontak saja mengalihkan pandangannya. Ia memasang wajah cerianya.
"Sisy!" teriaknya. Rani, mama Aidan memeluk Sisy sebentar lalu melepaskannya kembali. "Kamu tambah cantik aja."
"Terima kasih, Tante." Senyum Sisy mengembang.
"Sudah lama kamu nggak main ke sini." Tatapan Rani beralih pada sang putra. "Pantesan kamu suka banget kalau cerita soal Sisy. Makin cantik gini anaknya," ucap Rani bermaksud menggoda Aidan.
Aidan melotot. "Mama!" panggil Aidan geram yang hanya dibalas cekikikan oleh Mamanya.
"Aidan mau ganti baju dulu, Ma."
"Ya udah. Sana." Mengembuskan napas, Aidan berlalu dari dapur.
"Kamu duduk dulu ya, Sy. Tante mau lanjutin masak dulu. Habis itu kita makan siang bareng."
"Biar Sisy bantu, Tante," tawar Sisy.
"Eh, jangan. Kamu, kan baru aja sembuh," tolak Rina akan bantuan yang ditawarkan Sisy.
"Sisy udah sembuh kok, Tan. Sisy bantuin ya?"
"Ya udah kalau gitu." Keduanya mulai memasak bersama. Sisy membantu Rina dengan menggoreng ayam. Sedangkan Rina menangani supnya.
"Kabar ibu bagaimana, Sayang?"
"Alhamdulillah Baik, Tante."
"Kamu tahu nggak, Sy? Aidan itu suka banget ngomongin kamu. Sisy cantik, Sisy baik, Sisy pinter. Ada aja yang dia omongin tentang kamu." Rina mulai bercerita.
"Masak sih, Tan?" tanya Sisy tak percaya.
"Iya. Nggak pernah loh, Aidan kayak gitu. Kayaknya, dia suka sama kamu," ucap Rina dengan tawa renyahnya. Sisy hanya menimpalinya dengan senyum tipis. Dalam hati, ia bertanya soal kebenaran hal itu.
Tak lama, masakan telah matang. Aidan juga sudah turun dari kamarnya. Ketiganya makan dengan suara ramai candaan antara Rina dan Sisy. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi Aidan melihat hal ini. Dua wanita yang ia sayangi dan cintai, tampak bercanda bersama di depan matanya.
Ya. Aidan mengakui kalau ia mencintai sosok Sisy. Tapi, akankah cintanya terbalas?
🌺🌺🌺
Aidan membawa nampan berisi minuman dan cemilan ringan ke taman belakang rumahnya. Menghampiri Sisy yang tengah asyik bercengkerama dengan kelinci peliharaan Mamanya.
Setelah meletakkan nampan pada meja, Aidan duduk di samping Sisy yang memangku salah satu kelinci. "Suka kelinci juga?" tanya Aidan.
"Nggak terlalu sih, Kak. Cuma bawaannya gemes aja lihatnya," jawab Sisy masih dengan membelai kelinci di pangkuannya.
Untuk beberapa saat, hanya ada hening di antara keduanya. Hanya Sisy dengan kegiatannya dan juga Aidan yang betah memandangi wajah cantik Sisy. Hingga sesaat kemudian, Sisy mengingat percakapannya dengan Rina. "Kak," panggil Sisy ragu.
"Iya?"
"Sisy mau tanya. Tapi, Kakak jangan marah, ya?" ucap Sisy dengan menggigit bibir bawahnya.
Aidan tersenyum dan mengangguk. "Apa?"
Sisy masih tampak ragu. "Apa benar, Kakak suka sama Sisy?" cicit Sisy. Senyum yang sebelumnya ada di wajah Aidan kini tampak sirna. Aidan memilih memandang ke lain arah daripada wajah Sisy.
"Maaf, Kak. Buk—"
"Apa kalau Kakak bilang iya kamu bakal nerima cinta Kakak?" Belum selesai Sisy berucap, Aidan sudah memotongnya. Kalimat Aidan pun, mampu membuat Sisy melotot.
"Kak—"
"Apa kalau Kakak bilang iya kamu bakalan berhenti mencintai Altha dan memilih Kakak?" Lagi-lagi Aidan memotong kalimat Sisy. Membuat Sisy menundukkan wajahnya.
Melihat reaksi Sisy seperti itu, Aidan memahami apa jawaban Sisy. Ia pun tersenyum miris. Menghela napas dalam, Aidan memasang senyum baik-baiknya.
"Lupakanlah, Sy. Asal Kakak bisa berteman dengan kamu saja, Kakak sudah senang." Seperti biasa, Aidan akan menepuk pelan kepala Sisy.
Sisy mendongak, menatap Aidan dengan penuh penyesalan. "Maaf," lirih Sisy.
"Sudah. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti kamu malah terus mimpiin Kakak." Aidan tertawa yang tentu saja menular pada Sisy. Biarlah, asal bisa selalu berada di samping Sisy, sudah cukup untuk Aidan. Karena cinta Aidan, bukanlah Cinta egois.
||🌺🌺🌺||
Selamat malam semuanya
Masih ada yang bangun? Atau sudah pada tidur?
Cus sini teriakkan suara kalian
😁😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top