🐼 10 🐼

Izinkan Aku Bawa Cinta Ini

Part / 10

||🌺🌺🌺||


Mobil Altha berhenti di depan sebuah rumah. Setelah tadi ia berpura-pura meminta petunjuk lokasi rumah Sisy, keduanya saat ini telah sampai di rumah Sisy. "Ini beneran rumah lo?" tanya Altha yang masih berpura-pura.

"Iya. Tuh, Kakak lihat. Ada banner pemesanan kue dengan nama aku di sana." Altha melihat sebuah banner yang sebelumnya belum ada saat kemarin ia datang ke sini.

"Ini rumah apa gubuk? Kecil amat." Tidak tahukan Engkau Altha? Jika perkataanmu itu sungguh sangat menyakitkan. Beruntunglah ini Sisy. Gadis yang tidak suka mengambil hati ucapan orang lain.

"Yuk, Kak masuk." Keduanya turun dari mobil Altha. Sisy melihat rumahnya dalam keadaan tertutup. Sepertinya, ibunya sedang pergi. Keadaan sepi menyambutnya saat membuka pintu. Sisy mempersilahkan Altha masuk dan berucap, "Kakak duduk dulu aja. Biar aku ambilkan minum sama kotak P3K nya." Altha hanya bergumam menjawab ucapan Sisy.

Selepas kepergian Sisy, Altha mendudukkan dirinya pada kursi ruang tamu rumah Sisy. Kening Altha melipat kala kursi itu berbunyi saat ia mendudukinya. Benar-benar tidak layak pakai. Altha mengedarkan pandangannya pada ruangan. Bingkai foto terpajang di dinding sebelah kanan. Foto Sisy dari kecil hingga dewasa bersama sang ibu. Tapi, Altha tidak mendapati foto ayah Sisy. Sisy muncul dari dalam dengan membawa kotak P3K, juga satu gelas teh. Sepertinya, itu teh panas. Terlihat kepulan asap dari gelas itu.

"Maaf, ya lama." Sisy meletakkan apa yang ia bawa pada meja yang ada di hadapan keduanya.

Terlihat Sisy yang mulai menuangkan alkohol pada kapas. "Sini, Kak." Altha mendekatkan wajahnya pada Sisy, dan mulailah Sisy menyapukan Alkohol itu pada luka Altha untuk membersihkannya terlebih dahulu sebelum ia memberikan obat merah.

"Aw, sakit. Pelan-pelan dong!" gerutu Altha.

"Maaf-maaf, Kak." Sisy memelankan sapuan tangannya pada luka Altha.

"Gara-gara lo nih gue kayak gini." Altha berucap dengan bersungut-sungut.

Sisy menatap Altha dengan bibir mengerucut. "Kok aku?" tanya Sisy tak mengerti.

"Lo lupa? Kalau gue kayak gini karena nolongin lo?" tanya Altha dengan mata melotot. Tak habis pikir dengan pertanyaan Sisy yang seolah-olah lupa dengan apa yang baru saja mereka alami.

"Ya maaf, Kak. Lagian, kalau Kakak dan yang lainnya nggak bikin ban sepeda aku kempes, aku pasti udah sampai rumah dari tadi, dan nggak akan bertemu dengan mereka," ucap Sisy yang masih mengobati luka-luka Altha. Tidak mengetahui jika mata Altha saat ini semakin melotot menatapnya.

"Lo nyalahin gue?" mendengar nada Altha yang sudah meninggi, Sisy segera menggelengkan kepalanya lucu. Membuat Altha berusaha sekuat tenaga untuk tidak tersenyum.

"Udah cepet. Obati luka gue," sambungnya kemudian. Segeralah Sisy kembali mengobati luka-luka di wajah Altha.

"Shhh." Desisan Altha yang keluar membuat Sisy meniup pelan luka yang sedang ia bersihkan. Hal itu cukup membuat Altha terkejut. Bagaimana tidak, wajahnya dan wajah Sisy saat ini begitu dekat. Pandangan Altha tidak pernah teralihkan dari wajah Sisy yang baru ia sadari memang terlihat ... cantik.

Hingga beberapa saat kemudian, Sisy telah selesai dengan kegiatannya. Membuat Altha tersadar dari kelakuannya. Segeralah ia berpura-pura merasa perih pada lukanya. "Tahan dulu ya, Kak. Sedikit perih memang, tapi bakal cepet sembuh, kok."

Sisy membereskan peralatan P3K nya. Altha yang duduk di samping Sisy tampak menikmati teh hangat buatan Sisy. Hingga suara perut Altha terdengar. "Kakak lapar?" tanya Sisy yang menahan tawanya.

Altha merutuki perutnya yang tidak bisa diajak kompromi, membuatnya merasa malu di hadapan gadis yang sangat-sangat ia benci. Ya, Altha membencinya. Belum lagi ia melihat Sisy yang menahan tawa, membuat Altha memutar bola matanya. "Menurut lo?" tanya Altha ketus.

"Asal lo tahu, ya. Tadi tuh gue mau cari makan. Gara-gara nolongin lo, gue nggak jadi makan," sambungnya kemudian.

"Kakak mau makan?" oh tidak, berada di dekat Sisy benar-benar membuat stok kesabarannya habis.

Altha meraup wajahnya kasar, kesabarannya sedang diuji. Melihat itu, Sisy hanya meringis dan tersenyum canggung. "Di mana-mana kalau orang lapar ya pasti mau makan lah." Sisy mengangguk kaku.

"Ya udah. Tadi aku lihat ada ayam di kulkas. Kakak tunggu di sini sebentar, biar aku goreng dulu ayamnya." Altha tidak menolak. Saat ini, perutnya memang terasa sangat lapar. Sumpahnya untuk memakan masakan Sisy untuk pertama dan terakhirnya dulu gagal sudah. Hari ini, ia akan memakan masakan Sisy kembali.

Bukannya mendengarkan ucapan Sisy yang memintanya menunggu, Altha memilih untuk mengikuti Sisy. Saat Sisy memasuki sebuah ruangan, tentu saja Altha mengikutinya pula. Altha merasa heran saat ia melihat ruangan itu. Sebelumnya Sisy bilang jika ia akan memasak. Tapi, yang Altha lihat saat ini bukan seperti dapur. Ada tempat tidur dan meja belajar. Seperti, kamar?

"Ini ruangan apa?" pertanyaan Altha berhasil membuat Sisy yang sedang memakai ikat rambut terkejut.

"Kakak. Ngagetin aja." Sisy berjalan mendekati Altha. "Ini kamar aku, Kak?"

"Kamar?" tanya Altha dengan mengangkat satu alisnya.

"Iya." Sisy mengangguk.

"Kecil amat. Bahkan kamar mandi gue aja lebih besar dari kamar lo ini." Sisy hanya tersenyum manis. Tak terlalu menimpali ucapan Altha. Ia sadar, Altha memanglah orang yang berada. Ucapan Altha memang ada benarnya. Jadi, Sisy tak perlu repot-repot untuk menyangkalnya.

Altha mengikuti langkah Sisy menuju ke ruangan yang Altha yakini adalah dapur rumah Sisy. Terlihat ada kompor di ruangan ini, sangat berbeda dengan dapur di rumahnya. Altha mendudukkan dirinya ketika Sisy membuka kulkas, sembari mengamati ruangan dapur Sisy.

Sebuah tudung saji di hadapannya menarik perhatian Altha, dengan berani ia membuka tudung saji itu. Terlihat sayur sop pada sebuah wadah. Perkedel dan tempe goreng di sampingnya. Juga ada sambal di sana. Pandangan Altha tertuju pada Sisy yang terlihat membersihkan potongan ayam.

"Ini ada makanan. Kenapa masak lagi?" Sisy menoleh, dan segera mendekati Altha yang memandangnya penuh tanya.

"Ini ada makanan. Kenapa masak lagi?" Altha mengulang pertanyaannya ketika Sisy sudah berdiri di sampingnya.

"Tapi ini kan cuma makanan sederhana, Kak. Nggak ada dagingnya."

"Emang kenapa? Lo pikir gue nggak bisa makan ginian?" tanya Altha. Sisy hanya diam dibuatnya.

"Ck. Gue bisa kali. Udah, ambilin gue nasi. Cepetan!" titah Altha. Bak seorang istri, Sisy segera mengambilkan nasi untuk Altha, memberikannya pada Altha yang otomatis diterima oleh Altha.

Setelahnya, Sisy duduk di hadapan Altha. Melihat itu, membuat Altha melipat keningnya. "Kenapa cuma ada satu piring yang ada nasinya?" tanyanya.

Mata Sisy mengerjap lucu. "Kak Altha mau makan dua piring?" tanya Sisy dengan tatapan tidak percayanya pada Altha. Sisy sungguh tidak menyangka jika porsi makan Altha begitu banyak.

Altha berdecak. "Lo belum makan, kan? Ambil sana sekalian. Makan sini sama gue." Sisy masih bergeming di tempatnya. Merasa tak percaya akan hal yang ia alami saat ini. "Malah bengong. Cepetan!"

"i-iya, Kak." Sisy segera mengambil piring lalu nasi untuk dirinya, kemudian duduk di hadapan Altha yang terlihat sudah memasukkan sayur dan lauk pada piringnya.

Tidak Sisy ketahui. Altha belum pernah makan makanan sesederhana ini. Altha masih ingat, masakan Sisy yang pernah ia makan memang terasa enak. Dan benar saja, meski ia makan makanan sederhana kali ini, tetap membuatnya bisa menikmati. Karena Altha mengakui. Makanan buatan Sisy memang enak.

Sisy melihat Altha makan dengan lahabnya. Hanya dengan sayur sop, perkedel, tempe serta sambal yang ia punya. Bolehkan saat ini Sisy berbahagia? Hari ini, tidak akan pernah bisa Sisy lupakan. Makan berdua dengan laki-laki yang Sisy cintai. Makan makanan sederhana buatannya. Di rumahnya. Sungguh, tak, kan sanggup Sisy melupakannya.

"Gue boleh nambah nggak?" Sisy memandang Altha sebentar, lalu mengangguk kemudian. Setelah mengambilkan Altha sepiring nasi lagi, Sisy mencuci piring bekas ia makan.

Suara seseorang mengucap salam membuat Sisy menghentikan aktifitasnya. "Aku keluar dulu ya, Kak." Altha hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

Sisy melihat seorang laki-laki berpakaian rapi berdiri di depan pintu rumahnya. "Ada perlu apa ya, Pak?" tanya Sisy.

"Benar ini kediaman Nona Sisy?" Sisy hampir saja tertawa saat seseorang di depannya ini memanggil namanya. Tapi, beruntunglah ia bisa menahannya.

"Iya."

"Saya mengantarkan sepeda ini untuk Nona." Sisy melihat dua sepeda berada di halaman rumahnya. Dua sepeda dengan model berbeda ini jelaslah masih baru.

"Loh, Pak. Saya tidak merasa membeli sepeda."

"Gue yang beli." Suara Altha yang terdengar dari belakangnya membuat Sisy menoleh.

"Kakak?"

Altha mengangguk. "Sepeda lo itu udah nggak layak pakai. Udah waktunya dironsokin. makanya gue beliin baru." Sisy memanyunkan bibirnya mendengar ucapan Altha. Seenaknya saja Altha menghina sepeda kebanggaan Sisy.

"Dua?"

"Yang satu buat gue," jawab Altha ketus.

"O." Sisy membulatkan mulutnya dan mengangguk.

"Sekarang, lo ajarin gue naik sepeda," ucap Altha

"He?" Tentu saja hal itu membuat Sisy terkejut.

"Ha, he, ha, he. Buruan ajarin gue!" mengajari Altha naik sepeda? Sungguh hal yang tidak terduga bagi Sisy. Ia masih memandang Altha yang berjalan ke arah dengan tatapan bingungnya.

Altha yang melihat Sisy hanya diam, memilih untuk menarik tangan Sisy. Oh tidak, hal yang semakin membuat Sisy tak terkendali. Jantungnya berdegup kencang memandang tangannya yang dipegang Altha.

"Ayok! Lo ajarin gue sekarang." Mengerjapkan mata, Sisy pun mengangguk.

Sore itu, mereka habiskan berdua dengan Sisy yang mengajari Altha naik sepeda. Keadaan di mana keduanya tertawa bersama. Terlepas dari hubungan mereka di sekolah. Keduanya sama-sama tertawa. Sama-sama bahagia. Tapi, entahlah untuk ke depannya. Karena sejatinya, tidak ada yang bisa membaca masa depan. masa depan adalah sebuah misteri. Dan misteri, biarlah tetap menjadi misteri.

Entah mereka akan bisa tertawa bersama, atau hanya salah satu dari mereka yang bisa tersenyum. Senyuman dengan keikhlasan.

||🌺🌺🌺||

Selamat pagi.

Ada yang sudah bangun?

Cus sini baca lalu komen, ya

🐼Salam🐼
🍓 EdhaStory🍓
💔💔💔💔💔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top