5 - Lamaran dari Keluarga Baik-Baik

Tiga bulan sebelumnya ....

Baru kali ini jantung Umma tiba-tiba berdetak kencang saat ibunya menyuruhnya menyiapkan minuman untuk tamu mereka. Pasalnya, tamu mereka kali ini adalah kedua orangtua Agung, dan Umma tahu persis maksud kedatangan mereka.

Umma lekas menuruti perintah sang ibu dengan pikiran tidak menentu. Setelah mengantarkan minumannya, Umma bertahan di balik pintu ruang tengah sambil mendekap nampan. Sebelum ini Umma sama sekali anti menguping pembicaraan orang lain, tapi kali ini dia tidak bisa menahan diri.

Umma mencengkeram tepi nampan lebih kuat ketika mendengar namanya disebut dalam obrolan yang sesekali diselingi gelak tawa itu. Dugaannya benar, orangtua Agung datang untuk melamar.

Bagaimana ini?

Umma melanjutkan langkahnya, menaruh nampan di atas meja makan, lalu masuk ke kamarnya. Di dalam kamar, dia duduk di tepi tempat tidur sambil merapalkan doa dalam hati, berharap semuanya akan baik-baik saja.

Dia tahu persis bagaimana hubungan orangtuanya dengan orangtua Agung. Dia pasti akan dihadapkan dengan situasi yang sulit setelah ini. Jangan sampai lamaran yang tujuannya untuk menyatukan dua keluarga itu, malah berdampak sebaliknya.

Dari sini, lamat-lamat Umma masih bisa mendengar obrolan mereka, dan itu membuatnya kian gelisah.

(๑•﹏•)

"Ren, kayaknya hari ini aku nggak bisa ngajar, deh. Titip salam buat anak-anak, ya."

"Kok, tumben?" Dari seberang terdengar nada khawatir. "Kamu sakit?"

"Nggak, kok. cuma lagi ada sedikit urusan."

"Oh gitu. Ya udah. Kalau butuh apa-apa langsung telepon aja, ya."

"Siap. Makasih, ya, Ren. Assalamualaikum ...."

"Walaikumsalam ...."

Umma menghela napas panjang setelah obrolan dengan sahabatnya itu terputus. Bukan tanpa alasan dia memutuskan untuk tidak ke mana-mana hari ini. Percuma juga memaksakan untuk beraktivitas kalau pikirannya sedang tidak fokus. Lagian, dia menunggu kedua orangtuanya membahas soal lamaran Agung.

Sejak masih kuliah, Umma dan beberapa teman seorganisasinya mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang beruntung di salah satu sudut pemukiman kumuh Kota Makassar. Setelah hampir enam tahun, Umma sangat bersyukur aktivitas belajar mengajar di sana masih jalan. Tidak mudah membawanya hingga ke titik ini.

Setelah makan malam, orangtua Umma sepertinya baru akan membahas soal lamaran Agung. Mereka mengajak Umma bicara di ruang keluarga.

Umma memangku jalinan jemarinya seraya mengatur pola napas agar tidak terlihat tegang. Selama ini dia tidak pernah membantah perkataan orangtuanya, tapi entah kali ini. Dia terlihat sangat hati-hati dalam bersikap.

"Bagaimana hubungan kamu dengan Agung selama ini?" Ayahnya membuka obrolan.

"Kami nggak ada hubungan apa-apa, kok. Kan, Ayah sendiri yang bilang, Umma nggak boleh pacaran."

"Hubungan tidak selamanya berarti pacaran, kan?" Perkataan ayahnya terjeda. Dia menyeruput kopinya sebentar. "Maksud Ayah gimana komunikasi kalian. Kan, kalian sering ketemu."

"Nggak sering-sering banget, Yah. Tapi kami baik-baik aja, nggak ada masalah apa-apa." Umma mencoba mengingat-ingat. Selama ini rasa-rasanya sikap Agung memang tidak pernah ada cela. Lelaki sedermawan itu mungkin tidak punya musuh sama sekali.

"Tadi orangtuanya datang. Ayah yakin, kamu tahu maksud mereka."

Detak jantung Umma meningkat.

"Agung menginginkan kamu menjadi istrinya."

Umma membalas tatapan ayahnya setenang mungkin. "Tapi, Umma belum siap, Yah."

"Belum siap, atau karena ada laki-laki lain yang kamu tunggu?"

Kalimat ayahnya tepat sasaran, membuat bibir Umma seketika terkunci.

"Memangnya, kamu masih sering komunikasi dengan Adam?" Kali ini ibunya yang angkat bicara. Dia tahu persis, bagaimana putrinya sangat mendambakan lelaki yang sedang merantau ke Pulau Jawa itu.

Umma mengangguk pelan.

"Kalian pernah membahas soal pernikahan secara serius?"

Umma masih diam. Hubungannya dengan Adam bukan tipe hubungan yang ideal untuk mengobrolkan hal semacam itu. Dengan nada bercanda, beberapa kali mereka memang pernah mengarah ke sana. Namun, tentu saja kadar seriusnya jauh dari kadar serius yang dimaksud ibunya.

"Kamu yakin di sana dia nggak punya pacar?" Ayahnya kembali bersuara.

Kali ini kalimat itu ditanggapi Umma dengan sigap. "Adam bukan tipe laki-laki yang seperti itu, Yah." Entah kenapa hati kecilnya sangat tidak rela jika ada yang berkata minus soal lelaki itu, sekalipun itu orangtuanya sendiri.

"Begini, Umma," ayahnya membenahi posisi duduknya, "menurut Ayah sudah saatnya kamu memilih yang pasti-pasti saja."

Umma paling tidak suka obrolan semacam ini.

"Agung itu lelaki yang baik, mapan, taat ibadah pula. Kurangnya apa coba?"

"Umma merasa nggak siap bukan karena Agung ada kurangnya, Yah, tapi ...." Umma gagal menemukan kalimat yang tepat. Dia tidak mungkin menerima lamaran Agung sementara di hatinya telanjur ada lelaki lain.

"Apa nggak sebaiknya dipikir-pikir dulu?" sela ibunya sambil menyentuh lengan Umma. "Keluarga Agung sudah banyak membantu kita sejauh ini, termasuk meminjamkan uang untuk biaya rumah sakit ayahmu dulu, dan itu belum kembali sepenuhnya."

Hati Umma mencelus. Tahun lalu jantung ayahnya bermasalah dan terpaksa menjalani rawat inap. Karena ada biaya-biaya tertentu yang tidak di-cover oleh jaminan kesehatan masyarakat, mereka terpaksa berutang.

Ayahnya hanya petani biasa dengan lahan yang tidak seberapa. Panen dua kali setahun dengan hasil yang begitu-begitu saja nyatanya membuat utang itu lama terbayarkan. Kakaknya juga tidak bisa terlalu diharapkan. Dia punya tanggungan keluarga sendiri. Andai saja Umma sudah punya penghasilan tetap.

"Umma, kamu tahu sendiri, kan, Ayah berteman baik dengan ayahnya Agung sejak kecil. Entah harus dengan cara apa ayah menyampaikan kalau sampai kamu menolak lamaran mereka."

Telinga Umma rasanya penuh. Dia paham betul posisi kedua orangtuanya saat ini. Dia mengerti apa yang mereka pikirkan. Namun, memutuskan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintai juga bukan perkara mudah. Banyak hal yang bisa terjadi setelahnya. Bagaimana kalau cintanya untuk Agung tak kunjung tumbuh? Bagaimana kalau dia gagal menjalankan peran istri dengan baik karena di hatinya tertanam nama lelaki lain? Sungguh, membayangkannya saja Umma tidak sanggup. Pernikahan itu disemogakan sekali seumur hidup, dan dia tidak ingin pernikahannya berlandaskan balas budi.

"Maaf, Yah, Bu ...." Hanya itu yang bisa Umma ucapkan.

Terdengar helaan napas berat dari ayahnya. Hening menggantung cukup lama kemudian. Umma memainkan jemarinya di atas pangkuan. Sekali ini dia benar-benar tidak berdaya untuk mengabulkan keinginan orangtuanya. Untuk pertama kalinya, mungkin dia telah melukai hati mereka.

Ayahnya beranjak ke kamar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hal itu membuat air mata Umma tergelincir. Dia merasa gagal jadi anak yang berbakti.

Sang ibu mengelus punggungnya, mencoba menenangkan.

"Setelah semua yang kami sampaikan tadi, pada akhirnya tidak ada yang lebih berhak memutuskan apa pun selain kamu. Ini hidupmu, kamu yang akan menjalaninya."

"Tapi Ayah marah, Bu." Umma menyeka air matanya.

Ibunya menggeleng. "Dari dulu Ayah dan Ibu sudah sepakat, tidak akan memaksakan perihal pendamping hidup ke anak-anak kami. Saat ini mungkin Ayah hanya sedang bingung bagaimana menyampaikannya ke orangtua Agung, tanpa mencederai hubungan baik yang terjalin selama ini."

Umma merebahkan kepala di bahu sang ibu. Agung dan keluarganya orang-orang baik. Semoga mereka bisa mengerti.

( ・ω・)☞

[Bersambung]

Assalamualaikum ....

Sejauh ini ceritanya gimana?

Komen, ya.

Makasih.

Salam santun 😊🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top