4 - Subuh Pertama

"Allahu Akbar ...."

Air mata Umma nyaris saja kembali bergulir ketika mengucap takbiratul ihram. Bagaimana tidak, diimami oleh lelaki yang dicintainya seperti ini adalah salah satu impian terbesarnya. Tuhan mengabulkan doanya, menghadirkan Adam sebagai penyempurna ibadahnya. Namun, kenapa harus ada nama perempuan lain di antara mereka?

Di akhir salat, Umma berdoa lebih panjang dari biasanya. Alih-alih mempertanyakan takdir macam apa yang sedang Tuhan timpakan kepadanya ini, dia malah meminta agar Tuhan senantiasa menuntunnya dalam melangkah, memberinya kesabaran dan kejernihan pikiran sebelum mengambil keputusan.

Umma selalu ingat pesan ibunya, Tuhan tidak pernah salah menjatuhkan takdir. Barangkali saat ini ada yang ingin Tuhan sampaikan padanya. Atau, bisa jadi dia tengah dipersiapkan untuk sesuatu yang luar biasa di masa mendatang.

Hanya dengan menancapkan pemahaman-pemahaman itu dalam benaknya Umma bisa merasa lebih baik. Selesai berdoa, dia meraih dan mencium tangan suaminya sebagaimana mestinya.

Tindakan itu malah membuat hati Adam semakin kuyu. Betapa mulia hati perempuan ini. Setelah air matanya nyaris terkuras habis, dia masih saja menjaga sikap hormatnya.

Adam menyentuh pucuk kepala sang istri, menatap ke dalam matanya lamat-lamat. "Maafkan aku ...." Dia meraih tangan sang istri, mengecupnya berkali-kali. Rasa bersalah membuncah di dadanya. Seharusnya dia berpikir ribuan kali sebelum menggores hati perempuan sebaik Umma.

Umma merasakan ada yang menetes di punggung tangannya. Dia mengangkat kepala Adam untuk memastikan. Benar saja, suaminya sedang menangis.

"Maafkan aku ...," mohon Adam sekali lagi. Dia terlihat sangat menyesal.

Umma diam saja. Entah respons seperti apa yang harus dia berikan. Perkara ini bukan sebatas memohon dan memberikan maaf. Semuanya jauh lebih kompleks dari itu.

"Aku janji, pernikahan keduaku nggak akan mengganggu pernikahan kita." Adam berusaha meredam tangisnya. "Setelah semua keinginan Amel tercapai, kami akan bercerai dan aku pastikan nggak ada lagi yang akan mengganggu hubungan kita."

"Sebaiknya jangan mengucapkan janji yang nantinya sulit kamu tepati."

Adam memegang kedua pundak istrinya. "Sayang, lihat ke mataku, apakah ada sesuatu yang meragukanmu?"

Saat ini saja, hati Umma berdenyut sakit setiap kali mendengar nama Amel keluar dari mulut Adam. Bagaimana nanti kalau perempuan itu benar-benar harus hidup di antara mereka? Dada Umma mendadak sesak setiap kali membayangkannya.

Namun, di sisi lain cintanya sudah teramat besar terhadap Adam. Selama ini tidak pernah ada getaran sedikit di hatinya untuk laki-laki lain. Dia menghabiskan waktunya bertahun-tahun hanya untuk menunggu seorang Adam. Sekarang dia mulai terenyuh melihat lelaki itu memasang tampang bersalah. Bagaimana kalau yang dia butuhkan benar-benar sebuah kesempatan? Bagaimana kalau ternyata dia benar-benar bisa bertanggung jawab atas semua keputusannya?

"Mas, aku mau bantu-bantu Ibu di dapur, pasti masih banyak banget sisa pekerjaan kemarin."

Adam hanya bisa mengangguk. Umma tampak menghindarinya, tapi itu tindakan yang sangat wajar. Saat ini dia pasti butuh ruang untuk memproses apa-apa yang masih tersangkut di otaknya.

Umma pun berdiri dan melepas mukenanya. Dia menghadap ke cermin sebentar, hanya untuk merapikan jilbab dan memastikan tidak ada bekas air mata di pipinya.

Hingga Umma benar-benar meninggalkan kamar itu, Adam masih bersimpuh di atas sajadah. Dia kembali merenungi setiap keputusannya.

(。•́︿•̀。)

Sesuai dugaan Umma, pekerjaan masih menumpuk di dapur. Entah sedari kapan ibu, kakak, serta dua orang sepupunya sibuk di sini. Mereka berbagi tugas. Ada yang mencuci perabotan, menyapu, mengepel, dan aktivitas khas beres-beres seusai pesta lainnya.

Di keluarga Umma, mereka memang tidak pernah menggunakan jasa WO, catering, party planner, atau apa pun itu setiap kali menggelar acara pernikahan atau hajatan khusus lainnya. Semuanya dikerjakan sendiri. Kebetulan di kampung ini budaya gotong royongnya juga masih kental. Hal semacam itu sekalian mereka jadikan ajang untuk mempererat tali silaturahmi.

"Loh, kok, pengantin baru udah keluar kamar, sih?" sambut Ulfa, kakak Umma yang memang super jail.

"Masa mau di kamar terus, sih, Kak?" Umma berusaha terlihat ceria seperti biasanya, meski saat ini isi kepalanya sangat riuh.

Ulfa malah mendekat dan menatap sang adik dengan mata setengah memicing.

"Apaan, sih, Kak?"

Bukannya menjawab, kejailan Ulfa malah makin kumat. Dengan gerakan cepat, dia menyingkap jilbab Umma untuk mengecek kondisi rambutnya. "Cieee ... basah ...."

"Ih ... Kakak!" Umma buru-buru mengelak tangan kakaknya.

Bukannya berhenti, Ulfa malah makin menjadi-jadi. "Udah jebol, kan?" tanyanya sambil menyolek dagu sang adik.

Umma langsung menoyor pundak kakaknya dengan mata setengah melotot.

"Ulfa, udah, dong, jangan digangguin terus adiknya." Sang ibu yang sedang menggosok penggorengan berusaha melerai. "Kasian, tuh, mukanya udah merah."

Ulfa masih sempat menaik-turunkan kedua alisnya ke arah Umma, sebelum kembali meraih gagang pel dan melanjutkan pekerjaannya.

Umma memilih mendekat ke ibunya, soalnya di sekitarnya masih banyak tumpukan piring kotor. Dia menyingsingkan lengan baju, duduk tepat di sebelah sang ibu, lalu meraih spons dan mencelupkannya ke cairan pembersih.

"Kamu beneran nggak perlu ikut bantu-bantu, loh." Ibunya membuka obrolan.

"Nggak apa-apa, Bu. Lagian, masa aku diam di kamar aja sementara di sini masih banyak kerjaan?" Umma menjawab tanpa menatap ibunya. Dia fokus ke piring-piring kotor di depannya. Bukan apa, ibunya sangat ahli membaca mimik anak-anaknya. Tidak menutup kemungkinan ibunya pun akan tahu aura negatif yang saat ini menyelubungi hatinya.

"Adam mana?"

"Tadi baru selesai subuhan. Mungkin masih di kamar, Bu."

Ibunya hanya ber-o tanpa suara.

(。•́︿•̀。)

Setelah hari mulai terang, Adam keluar kamar. Dulu, dia sering main ke sini, tapi sebatas sebagai teman Umma. Dia sudah kenal baik dengan semua anggota keluarga ini. Bahkan, untuk keluarga-keluarga jauh Umma dia juga lumayan kenal, karena dulu dia memang sering terlibat jika ada acara keluarga.

Namun, tadi malam adalah malam pertamanya menginap di rumah ini sebagai menantu. Wajar jika sekarang dia merasa agak canggung.

Adam keluar ke teras, mendapati ayah Umma, kakak laki-laki, kakak ipar, serta beberapa sepupu dan tetangga yang sedang mengobrol dengan topik random sambil tertawa-tawa.

"Eh, pengantin baru udah keluar," sambut Hakim, suami Ulfa, yang kadar jailnya tidak jauh beda. Dari dulu mereka memang jodoh dalam segala hal.

Adam tersenyum sambil mengangguk samar menanggapinya.

"Sini, duduk." Hakim bergeser, menyediakan ruang yang cukup untuk Adam.

Adam pun bergabung di bangku panjang itu.

"Umma mana?" tanya Hakin pura-pura. Itu murni untuk menggoda saudara iparnya itu.

"Kayaknya lagi bantu-bantu di dapur, Bang."

"Gimana, lancar, kan?" tanya Hakim lagi. Kali ini setengah berbisik, sambil mencondongkan tubuhnya.

Adam hanya nyengir.

"Dam, kok matanya sayu gitu? Kurang tidur, ya?" Kali ini sepupu Umma yang bertanya.

"Pengantin baru mah emang nggak perlu tidur." Dan Hakim pun menimpalinya penuh semangat.

Seisi teras pun tertawa.

Obrolan di teras itu terjeda saat Umma dan dan dua orang sepupunya datang membawakan teh dan beberapa piring kue-kue khas pengantin.

Tatapan Adam tidak lepas dari sang istri. Hatinya kembali mencelus. Terlihat jelas bagimana perempuan itu berusaha tampil baik-baik saja di depan keluarganya, sementara hatinya saat ini mungkin saja sudah tidak berbentuk.

"Silakan, Mas." Umma meletakkan secangkir teh di depan Adam, mempersilakan sambil tersenyum manis.

Adam terkesiap. Suara lembut dan senyuman menenangkan itu menariknya dari kelebat lamunan yang beberapa detik lalu menguasai benaknya.

Adam balas tersenyum, sambil berusaha membaca tatapan Umma. Semoga tampilan cerianya ini tidak terlalu timpang dengan perasaan yang sesungguhnya.

( ・ω・)☞

[Bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top