10 - Malam Bergelora
"Kamu kenapa?"
Pertanyaan ibunya yang tiba-tiba itu membuat Umma terkesiap. Piring yang dipegangnya hampir jatuh. Saat ini mereka sedang membereskan meja selepas makan malam bersama.
"Ibu perhatikan sedari tadi kamu melamun terus."
"Ah, siapa yang melamun, Bu?" elak Umma disertai kekehan ringan.
"Ayo jujur sama Ibu. Ada apa?"
Gerakan tangan Umma terhenti. Dia menatap mata ibunya lekat-lekat. Ingin rasanya mencurahkan semua kegundahan hatinya saat ini, tapi itu pasti akan memperkeruh suasana. "Nggak ada apa-apa, Bu," katanya kemudian. Dengan berat hati dia terpaksa berbohong.
Sang ibu meraih piring yang dipegang Umma, meletakkannya di meja. Lalu, dia menggenggam tangan putrinya. "Ibu yang melahirkan kamu, kita punya ikatan batin yang kuat. Mulutmu bisa berkata tidak, tapi matamu tidak bisa bohong."
Umma sekuat tenaga mengelola emosinya. Jangan sampai air matanya jatuh di depan ibunya.
"Kamu sudah menikah dengan lelaki pilihan kamu, tapi kenapa kamu tidak terlihat bahagia selayaknya pengantin baru?"
Deg!
Umma tidak menyangka ibunya akan berkata seperti itu. Ikatan batin mereka ternyata tidak main-main.
"Ini pernikahan dambaan kamu. Ibu harap kamu benar-benar bahagia."
"Ibu ngomong apa, sih? Jelas, dong, aku bahagia." Umma terkekeh ringan. "Aku hanya merasa berat meninggalkan rumah ini. Selama ini aku belum pernah jauh dari Ibu dan Ayah."
Sang ibu memeluk putrinya. Dia yakin putrinya ini sedang menyembunyikan sesuatu, tapi entah apa. "Cepat atau lambat hari ini akan tiba. Saat kamu harus ikut suami dan berbakti sepenuhnya sebagai istri."
Kalimat itu nyaris meruntuhkan pertahanan Umma. Di balik punggung ibunya, bibirnya bergetar menahan tangis.
***
Sejak selesai salat Isya tadi Umma sibuk berkemas. Meski benaknya masih riuh, dia tetap saja memasukkan satu per satu pakaiannya ke koper, beserta benda-benda lain yang akan dibawanya ke Jakarta.
Sungguh, dia benar-benar akan meninggalkan Makassar dan memulai kehidupan baru yang masih serba abu-abu di Jakarta sana?
Umma termangu di depan jendela kamarnya. Meski satu koper besar bermuatan sesak sudah siap di pojok kamar, dia masih belum yakin dengan langkah besar yang akan ditempuhnya ini. Berbagai praduga bersilangan di benaknya.
"Ada apa, Sayang?" Adam bertanya sambil memegang kedua pundak istrinya dari belakang, lalu mendaratkan kecupan hangat di pucuk kepalanya.
Umma tidak menjawab. Saat ini rasanya dia ingin menanggalkan otaknya sebentar saja. Dia sudah teramat lelah berpikir.
Adam menarik kursi dari depan meja rias, lalu duduk di samping sang istri. "Sayang, aku udah jadi suamimu yang sah. Jadi, mulai sekarang kamu boleh cerita apa aja."
Umma menoleh tidak bersemangat. Harusnya memang begitu, tapi lelaki ini telah mencederai langkah awal pernikahan mereka. Bukan pernikahan seperti ini yang dia harapkan.
"Apa tanggapan orang-orang di kampung ini nantinya setelah tahu Mas beristri dua?"
Suara lemas Umma jelas menyiratkan luka. Namun, pertanyaan itu sedikit melegakan Adam. Setidaknya Umma mulai terbuka untuk membahas masalah ini. Artinya, persentase dia akan menerima semakin besar.
"Nggak akan ada yang tahu, Sayang. Aku udah memikirkannya matang-matang. Kamu nggak usah khawatir."
"Bagaimana Mas akan melakukannya tanpa sepengetahuan orang-orang?" Umma mengernyit tajam.
"Aku punya paman di Jakarta. Beliau siap menjadi saksi pernikahanku tanpa membeberkan ke siapa pun. Aku sudah bicara dengan beliau sebelum ke sini. Aku menjelaskan serinci mungkin. Dan alhamdulillah, beliau bisa ngerti."
"Ternyata persiapannya sudah sejauh itu. Kayaknya, aku setuju atau nggak, Mas tetap akan menikahi perempuan itu." Untuk kesekian kalinya air mata Umma jatuh lagi.
Adam menggeser kursinya lebih dekat sambil menghela napas panjang. Pemilihan kalimat efektif di saat-saat seperti ini memang sangat penting. Jangan sampai dia gagal meyakinkan Umma dan semuanya malah berantakan.
Adam menggenggam tangan Umma sebelum kembali bicara. "Sayang, dengan motif yang aku jelasin kemarin, aku pikir kamu pasti setuju. Ingat, ini untuk masa depan kita."
Umma menatap kedua mata suaminya lekat-lekat. Entah kenapa lelaki ini bisa seyakin itu.
"Andai bisa memilih, aku juga nggak mau ada di posisi ini, Sayang. Tapi ...." Adam tampak benar-benar kalut. "Amel juga nggak main-main dengan ancamannya. Kalau nggak dituruti, aku bisa kehilangan semua yang udah aku bangun selama ini dalam sekejap."
Adam jeda sebentar, kembali memilah kata yang tidak terkesan menuntut.
"Lagian, kalau aku bisa memiliki sebagian saham Cempaka Grup, hidup kita akan lebih terjamin. Bahkan, Ayah dan Ibu bisa ikut tinggal di Jakarta, kalau mereka mau. Mereka nggak perlu capek-capek kerja lagi."
Kedengarannya sangat menyenangkan, tapi tetap saja Umma merasa ada yang salah di sini.
Adam membelai pipi Umma. "Sayang, aku butuh banget dukungan kamu. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu, aku hanya nggak mau kehilangan pekerjaan."
Umma diam saja. Melihat mata Adam berkaca-kaca, rasa ibanya terbit dengan mudah. Kenapa dia harus selemah ini?
"Tolong kasih aku kesempatan. Aku bakal buktiin, kalau aku bisa bertanggung jawab dengan semua keputusanku."
Umma menatap nanar suaminya. "Apakah nantinya dia akan serumah dengan kita?" Rasanya seperti tercekik ketika Umma melontarkan pertanyaan itu.
Adam tidak langsung menanggapi. Seberkas kegamangan mengisi sepasang matanya. Beberapa jenak kemudian, dia mengangguk.
Hati Umma mencelus.
"Tapi kamu nggak usah khawatir, kami sama sekali nggak akan ngapa-ngapain. Nantinya kita menempati rumah berlantai dua. Dia di atas, kita di bawah. Lagian, dia tipe perempuan dengan mobilitas yang sangat tinggi. Nantinya akan jarang di rumah. Serumah hanya untuk memuluskan rencana kami, agar ayahnya tidak curiga."
Kalimat panjang yang nyaris tanpa jeda itu gagal menenangkan Umma. Perempuan mana yang bisa baik-baik saja setelah tahu akan serumah dengan madunya?
"Apakah dia cantik?" Itu pertanyaan bodoh. Secara tidak langsung sama saja Umma mengakui bahwa dia takut kehilangan Adam. Namun, dia juga tidak bisa memendamnya.
Adam tersenyum sebelum menjawab, "Mungkin cantik di mata orang lain. Tapi di mataku, dia nggak ada apa-apanya dibanding kamu."
Meski kedengarannya sangat gombal, kalimat itu berhasil menghangatkan hati Umma.
Adam mengecup kening istrinya, lalu menatap ke dalam matanya lamat-lamat. "Kamu tahu, kan, sedalam apa aku cinta sama kamu?"
Umma meneguk ludah, bingung harus berkata apa. Dan ketika Adam mengajaknya berdiri, lalu digendong ke tempat tidur, dia tidak menolak sama sekali.
Adam membaringkan istrinya dengan sangat hati-hati. Dia mengusap sisa air mata di pipinya. Lalu, tangannya beralih melepas jilbab. Akhirnya, Adam bisa membelai rambut perempuan itu dengan penuh rasa sayang.
Selanjutnya, Umma tidak menolak ketika gerakan tangan Adam bukan lagi sebatas sentuhan biasa. Sejujurnya dia belum siap melakukan ini, tapi dia juga tidak ingin zalim terhadap suaminya. Adam berhak mendapatkan apa yang memang seharusnya didapatkan oleh seorang suami.
Maka, biduk yang sempat gagal dalam pelayarannya itu, kini mulai mengarungi lautan yang bergelora. Layarnya membentang dengan sempurna. Malam yang dingin menjadi hangat di kamar itu.
***
[Bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top