Chapter 13

Double up! Ingat vote dan komen kalian berarti untuk authornya♥️

Follow IG: anothermissjo

"OM VELVEEEEENNN!" Suara teriakan yang cukup keras keluar dari mulut Belle. Gadis kecil itu sedang berebutan boneka Barbie dengan Phoebe.

Di bagian kakinya dipegang oleh Phoebe, sementara bagian kepala dipegang oleh Belle. Mereka ingin boneka berambut pirang karena satunya lagi berambut cokelat.

"OM VELVEN!" teriak Belle lagi.

Velven yang sedang memasak dibantu Prelove langsung menoleh ke belakang. Dua gadis itu berada di pinggir meja makan sambil berusaha menarik boneka ke sisi mereka.

"God... kenapa mendadak kayak di hutan sih," gumamnya sebal.

"Kak, masa Belle nggak mau ngalah! Aku duluan yang pilih boneka ini," adu Phoebe.

"Ya, Tuhan... Phoebe kamu kan lebih besar. Ngalah aja sama Belle," balas Velven.

Raut wajah Phoebe berubah sedih. Hanya sepersekian detik Phoebe menangis kencang, melepas tangannya dari boneka Barbie hingga Belle jatuh tersungkur. Belle yang jatuh pun ikut menangis kencang. Alhasil, keduanya menangis sesegukan.

"Kamu urus mereka berdua dulu sana. Aku yang masak," kata Prelove.

"Kenapa nggak kamu aja? Sumpah... saya takut lihat perempuan nangis. Kamu aja deh," tolak Velven.

Prelove bertolak pinggang. "Mereka adik-adik kamu dan anaknya sepupu kamu. Yakin deh, mereka tuh caper sama kamu. Buktinya manggil nama kamu mulu, aku kayak nggak dianggap."

Velven mengacak rambutnya frustasi. Mau tidak mau dia terpaksa menghampiri kedua bocah yang masih menangis. Velven berjongkok, menyamakan tubuhnya dengan kedua gadis itu. Dia menolong Belle lebih dulu, lalu menariknya dalam pelukan dan disusul menarik Phoebe. Dia memeluk kedua gadis kecil itu sambil mengusap-usap punggungnya.

"Cup... cup... jangan nangis lagi ya. Kita main petak umpet aja. Mau nggak?" bisik Velven setengah membujuk.

Kedua gadis itu masih menangis. Karena tak ada satu yang berhenti, Velven melepas pelukan. Dia menyeka air mata Phoebe lebih dulu, lalu memegang kedua sisi pundaknya.

"Phoebe, kamu kan lebih tua dari Belle jadi udah seharusnya mengalah. Boneka Barbie yang kamu mau itu punya Belle. Punyanya Phoebe ada di kamar kakak. Jangan berebutan sesuatu yang bukan milik kamu ya? Kasihan Belle sampai jatuh. Katanya tadi janji nggak nakal sama Mama." Velven menasihati dengan hati-hati. Kalau salah bicara adiknya bisa nangis atau ngambek.

Phoebe mengangguk.

"Anak pintar. Kak Velven bangga sama Phoebe," lanjutnya. Kemudian dia mengusap kepala adiknya. Baru setelah adiknya berhenti menangis, dia beralih pada Belle. Dia menatap gadis kecil itu yang terlihat lebih sedih ketimbang Phoebe. Dia memeriksa siku Belle karena takut terluka. Belum mengatakan apa-apa, Belle kembali memeluknya.

"Maafin Belle ya, Om," bisiknya pelan.

Hati Velven mencelus. Rasa kasihannya terhadap Belle semakin besar. Gadis kecil itu terlihat paling membutuhkan kasih sayang. Andai saja Belle bukan anak Marco, dia sudah mengadopsinya.

"Iya, Belle," balasnya pelan. Kemudian, dia memegangi tangan Belle. "Apa tangannya sakit pas jatuh tadi?"

Belle menggeleng. Senyum di wajah cantiknya muncul sedikit demi sedikit.

"Syukurlah. Main yang akur sama Kak Phoebe ya," kata Velven. Lalu, dia menggamit tangan Phoebe dan menyatukannya dengan tangan Belle hingga kedua gadis itu berpegangan tangan. "Jangan berantem lagi. Kalian harus akur. Oke?"

Kedua gadis itu mengangguk. Dengan sendirinya mereka berbaikan dan berjanji akan akur. Lalu, berpelukan seperti para teletubies. Velven menarik senyum lega.

Baru berdiri sebentar, tangannya sudah ditarik Kellan. Mau tidak mau dia mengikuti Kellan menuju ruang tamu. Alangkah terkejutnya Velven saat melihat dindingnya dicoret-coret dengan crayon yang dibawa Kellan dari rumah. Kalau saja dia punya riwayat penyakit jantung, dia bisa mati mendadak.

"Kak, gambarku bagus, kan?" tanya Kellan tanpa dosa.

Velven mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. "Iya, bagus. Belajar gambar dari mana?"

"Kata Papa, Kak Velven suka gambar. Jadi aku iseng gambar biar kayak Kak Velven," jawab Kellan dengan senyum polosnya.

Perasaan kesalnya mendadak hilang. Dia tidak pernah tahu ayahnya membicarakan tentangnya pada Kellan. Dia lebih tidak menyangka ayahnya masih ingat hobinya soal menggambar. Apa pun dapat dia gambar jika suasana hatinya sedang baik.

Velven mendaratkan tangannya di atas kepala Kellan, lalu mengacak-acak rambutnya. "Gambar Kak Velven belum sebagus Kellan. Adik kakak hebat. Tapi, lain kali gambarnya di buku gambar ya biar kelihatan bagusnya."

Kellan tersenyum semringah, lalu memeluk kakaknya. "Iya, Kak. Kellan sayang Kak Velven."

"Kak Velven juga sayang sama Kellan."

Detik selanjutnya Kellan menarik diri, kemudian berlari menuju dapur menyusuh dua bocah perempuan yang mengabaikannya karena tidak boleh ikut main Barbie. Ketika Velven berbalik badan, dia melihat Prelove melempar senyum. Pacarnya itu berjalan mendekat hingga tubuh mereka berhadapan.

"You did a great job. Kamu nggak marahin mereka," kata Prelove.

"Mau sih, tapi katanya kalo kasih tau yang benar atau salah nggak boleh pakai emosi."

Prelove maju selangkah, melingkarkan tangan di leher Velven sambil tersenyum. "Katanya sih begitu. Berarti kamu udah siap nih jadi ayah?"

"Hm... gimana ya?" Velven pura-pura berpikir, tapi tangannya sudah bergerak menyentuh pinggang pacarnya. Ketika tubuh tak lagi berjarak, dia mulai mendekati wajah Prelove.

"Om sama Tante lagi apa?" Belle yang muncul tiba-tiba berdiri di samping keduanya sambil menatap bingung.

"Ini anak tuyul ganggu aja," gumam Velven pelan. Prelove tertawa geli mendengarnya.

Sebelum Belle bertanya lebih banyak lagi, Prelove sudah menjauhkan diri dari Velven, lalu mengajak Belle ke ruang makan. "Vel, ayo makan!" teriaknya.

"Iya, Sayang," sahutnya, yang kemudian segera menyusul dari belakang.

💋 💋 💋

Setelah lelah menemani kedua adiknya dan Belle bermain, akhirnya ketiga bocah itu jatuh terlelap. Di rumahnya terdapat dua kamar khusus anak-anak yang sengaja dibuat jika sewaktu-waktu kedua adiknya menginap. Pasalnya rumah yang ditempati masih memiliki empat kamar kosong yang tidak dipergunakan sama sekali.

Setelah menceritakan dongeng dan memberi kecupan selamat malam, Velven dapat bernapas lega. Dia kembali ke kamar, lantas duduk di bibir ranjang.

Velven menepuk-nepuk bagian punggungnya dengan kepalan tangan. Ternyata selelah ini mengurus anak kecil. Belle dan Phoebe tidak mau gantian naik ke atas punggungnya. Kedua gadis kecil itu memaksa naik ke atas punggungnya berdua. Sungguh, kalau punggungnya bisa bicara soal betapa sakit dan beratnya menerima beban, mungkin punggungnya sudah mengatakan sejak awal.

Prelove menghampiri Velven, lantas duduk di sampingnya. Sambil menyunggingkan senyum, dia memperhatikan pacarnya.

"Gimana hari ini, Sayang?" tanya Prelove.

"Capek. Pijitin dong. Rasanya punggung saya mau patah," jawab Velven, yang kemudian segera berbaring telungkup di atas ranjang.

Prelove memijat punggung Velven, memukul pelan dengan kepalan tangannya. Sambil memijat, dia bertanya, "Besok mereka masih nginap, kan?"

"Mungkin. Tapi besok saya mau pulangin Belle ke rumah neneknya. Bodo amat deh Marco mau ngamuk. Manusia laknat itu nggak kasih kabar apa-apa. Kasihan Belle kalo terus-terusan di sini. Mending diurus sama kakek dan neneknya," jawab Velven. Suaranya terdengar seperti tertahan karena posisinya yang telungkup.

"Marco udah sering ya ninggalin anaknya?"

"Iya. Dari lahir."

"Ibunya ke mana?"

Velven tidak menjawab. Dia malah mengatakan kalimat lain yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan Prelove. "Pijatnya agak keras dikit deh. Punggung saya bener-bener sakit."

Prelove mengerti kalau ada sesuatu yang tidak ingin dibeberkan pacarnya. Lalu, dia melakukan pijatan sesuai yang diinginkan pacarnya dan mengubah topik. "Btw, aku pulang ya setelah ini."

Detik itu pula Velven berbalik badan, menarik Prelove hingga jatuh di atas tubuhnya. "Nggak boleh. Nginep lagi aja. Saya nggak mau kesepian karena nggak ditemenin kamu."

"Halah... bilang aja ini siasat minta jatah secara halus!" cibir Prelove.

Velven tertawa terbahak-bahak. Dia mengecup pipi Prelove berulang kali sampai menciptakan bunyi 'muah' yang jelas. Setelah itu, dia memeluk Prelove dengan erat.

"Besok aku harus kerja. Kamu nggak inget kalo aku sibuk? Kalo kamu kan lagi nganggur, belum ada album baru," ucap Prelove.

"Iya, tau. Besok saya antar ke kantor sekalian antar Belle pulang. Mau ya nginep di sini?"

"Nggak." Prelove menjulurkan lidahnya. Dia berusaha melepaskan pelukan Velven, tapi tak bisa. "Vel... ayo dong. Udah jam sebelas malam nih. Takut kalo keluar lebih malam digondol kutilanak."

"Hahaha... siapa sih yang mau gondol kamu? Cuma saya aja yang mau." Velven semakin mengeratkan pelukan, lantas kembali menciumi pipi Prelove dengan gemasnya. Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Eh, iya. Kamu punya kenalan seseorang yang pernah kerja sebagai asisten pribadi nggak?"

"Asisten pribadi?" ulang Prelove.

Velven melonggarkan pelukan agar Prelove dapat menatapnya. "Iya. Saya baru ingat beberapa bulan lalu sebelum kita ketemu, ibunya Marco minta dicariin asisten pribadi untuk Marco. Soalnya asisten pribadinya kebanyakan lembek gitu. Mau carinya yang agak galak, tegas, dan kompeten."

"Ada."

"Siapa?"

"Kak Lulove. Dia galak, tegas, dan kompeten."

💋 💋 💋

Jangan lupa kasih vote dan komen ya semuanya🤗😘♥️

Dari cerita ini awal mula cerita Marco dan Lulove. (Maksudnya awal bangetnya soalnya aku nggak akan ulang lagi di cerita My Boss's Problem nanti wkwk)

#BOYBANDSERIES adalah projek romansa bersama author lain sephturnus. Di mana karakter utama prianya tergabung dalam satu boyband: Victory. Ardeen & Velven bakal membawa kalian ke kisah mereka yang beragam rasa. Bercampur aduk. Ber- rollercoaster.

Jadi, apa kamu siap mengikuti kisah keduanya? 🎶

Kisah Velven (It Starts With A Boxer), available di work aku😘🤗

Kisah Ardeen (It Starts With Hello) ada di lapak sephturnus ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top