New York

Saat aku sadar, aku sudah ada di dalam mobil Al, duduk di jok depan. Mobil sedang melaju dengan kecepatan tinggi menuju bandara.

Aku diam sepanjang perjalanan. Awalnya aku berpikir duduk dalam mobil ini setelah 6 bulan tak naik mobil ini, akan menjadi kenangan yang indah. Tapi kini, aku duduk tegang, mengejar jadwal penerbangan Darius ke New York.

Aku sadar sudah 1 bulan aku tak berbicara dengannya sejak aku 'kembali' pada Al. Pasti sebelumnya dia sudah jauh hari merencanakan kepergiannya itu. Tapi dia tak pernah berani mengiterupsi crush talks-ku seperti biasa.

Darius, orang yang kupikir hanya jadi tong sampah yang cuek, sebenarnya dia sangat peduli padaku. Dan terakhir, dialah yang menang; memang tak ada jalan kembali bagiku dan Al.

"Jam berapa pesawatnya berangkat?" tanya Al.

Lamunanku buyar. "Jam 17.12," jawabku, sesuai informasi dari pembantu Darius.

Al mengangguk kecil. "Sabar ya, gue coba sebisa gue," jawabnya. "Lo pasti bisa ketemu dan minta maaf sama Darius."

Dari mana dia tahu?

Al melirikku dan tersenyum sedih. "Sheil, dari kita pacaran dulu, selalu ada Darius nyempil di antara kita." Al menginjak gas lebih dalam karena jalanan lenggang. "Dari dulu sampai sekarang... gue selalu kalah dari Darius."

Aku tak merespon. Tepatnya, aku tak tahu mau merespon apa.

"Ada orang yang hatinya tertuju kepada satu orang tapi matanya tertarik sama orang lain. Tapi hati gak akan pernah bisa bohong."

Al yang terakhir kukenal adalah Al yang lemah dan tidak se-cool ini. Dalam hati kubenarkan ucapannya.

"Jadi, mungkin selama ini gue cuma macet di mata lo. Tapi Darius, dia memiliki hati lo. Dia udah berhasil menduduki hati lo. Dari awal gue udah kalah." Al memutar setir. Kami sudah ada di dalam bandara. "Itu juga alasan gue rela ninggalin lo: karena lo punya Darius buat ngejagain lo." Al memarkir dengan mulus dan terakhir, dia mematikan mobil dan melepas seat belt. Tanpa aba-aba, kami berdua berlari menghambur menuju gedung bandara.

"Ayo!" Al mengenggam pergelangan tanganku dan menarikku lebih cepat.

Seharusnya adegan 'memegang tangan' ini menjadi sesuatu yang romantis. Tapi bukan lagu romantis yang berputar di kepalaku. Hanya ada namanya saat ini.

Darius, Darius, Darius. Terulang terus seperti rekaman rusak.

Aku sadar kamu bukan sekedar sahabat. Aku sadar perasaanku selama ini tertahan karena mataku terlalu banyak mencari kesempurnaan. Aku sadar kalau selama ini semua kebahagiaan ini lebih dari itu.

Waktu yang pernah Darius berikan padaku, kebaikan yang Darius lakukan padaku... semuanya seharusnya membuatku sadar dan tidak menahan perasaanku hanya karena Darius tak punya kepribadian semenarik cowok-cowok yang selalu kukejar dan kukagumi.

"Al, gue sayang sama Darius."

Al melirikku sambil berlari. "Sebagai sahabat?" tanya Al dengan nada usil.

Aku menggeleng dan mempercepat langkahku. "Sebagai seorang yang spesial."

Aku berlari menuju ruang tunggu penerbangan itu. Tak ada Darius di sana.

"Mbak? Pesawat ke New York belum berangkat kan?" Nada itu terucap dengan sangat pathetic.

Aku terlambat menyadarinya. Kini dengan bodohnya aku berharap semua belum terlambat.

Memangnya aku ini siapa? Cinta?

Bahkan mungkin sebenarnya Darius membenciku dan berharap tak lagi bertemu denganku, setelah apa yang kuperbuat atas segala kebaikannya selama ini. Dia pasti senang melihatku patah hati karena Al menolak untuk kembali.

"Maaf, Mbak. Sudah take-off dari tadi."

Ya, ya. Itu jawaban yang sangat wajar. Bisa kuterima. Memang dari awal kami terlambat untuk berangkat.

Mau apa lagi? Semua ini harus bisa kuterima dengan kedewasaan dan kepala yang jernih, iya kan?

"Engg, Al? Jam berapa sekarang?" tanyaku dengan nada yang tenang dan emosi yang terkontrol.

Al merangkulku, seperti menahan badanku agar tidak terjatuh. "Jangan sedih gitu, Sheil," dia berbisik. "Ayo, gue anter pulang." Dia berjalan sambil menahan badanku.

Aku bersingsut menjauh dari cengkraman Al. "Gapapa, gue bisa jalan sendiri tanpa dibopong. Emang gue sakit apa?" Aku tergelak sedikit. "Ayo pulang." Aku berjalan melewati Al.

Cowok itu masih diam di sana, melihat punggungku yang menjauh.

Aku berbalik. "Kenapa, Al?" tanyaku. "Gue baik-baik aja, kok! Lihat, gue bahkan gak nangis sama sekali!" Aku menunjuk mataku sambil tersenyum lebar-lebar.

Al menatapku dengan iba. Perlahan dia menghampiriku dan memelukku erat-erat.

"Ngapain sih, Al? Gue gak sesedih itu!" pekikku sambil mendorong Al menjauh. "Masih ada sosmed untuk mengontak Darius. Gue... gue gak apa-apa!"

Al mempererat pelukannya. "Sheila!"

"Al, lepasin, ah! Lo mau Davina ngeliat lo lagi pelukan sama gue di bandara?!" Aku terus mendorong Al, tapi badannya terus menekanku.

"Sheila!" Al menyentak badanku. Aku berhenti meronta, dan dia menatapku dalam-dalam. "Elo, udah kelamaan bohong. Setelah semua keterlambatan ini, lo bahkan masih mau bohong sama diri lo sendiri?" bisik Al.

Tiba-tiba aku merasakan bahuku bergetar kuat. Pandanganku mulai mengabur. Tangisanku tak tertahankan lagi, dan aku lepas kendali.

Yang kutahu adalah aku terduduk di lantai bandara dengan Al yang memelukku. Kuteriakkan nama yang sama berulang-ulang. Tapi dia tak akan pernah kembali. Dia pasti membenciku dan keterlambatanku.

***

"Al, Darius benci sama gue kan?"

Aku sudah ada dalam mobil Al, kami dalam perjalanan ke rumahku.

"Al?"

Al diam cukup lama. Setelah 2 menit, dia berkata, "cuma 6 tahun."

"He?"

"6 tahun di New York dan dia akan pulang. Selama itu, cari tahu perasaan lo dan dia. Setelah dia pulang, tanyakan perasaan dia sama lo."

Aku menutup mataku dan jatuh tertidur di jok mobil Al.

Yang bisa kulakukan kini adalah berharap, selama 6 tahun nanti, aku belum terlambat mengatakan semuanya. Aku belum terlambat untuk berkata bahwa aku menyayanginya.

Aku tak bisa mendapatkan Al kembali, dan kini aku kehilangan Darius. Darius yang pergi ke New York tanpa berkata apapun kepadaku. Seluruh cerita selalu berputar tentang kisah cintaku yang menyebalkan itu. Bahkan Darius tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakan kepergiannya.

Kini aku tahu maksud perkataan terakhirnya kepadaku. Dia memang tidak punya lagi kesempatan untuk menemaniku menanggung kebodohanku lagi. Kebodohan untuk kembali pada Al... atau keterpurukan karena terlalu banyak berharap pada Al.

Hari ini aku bahkan lupa akan penolakan Al. Rasanya tak sebanding dengan sakitnya kehilangan Darius.

"Sheil?" Al mengguncang-guncang bahuku. "Udah sampe."

Aku terbangun dan mengucek mataku. "Hmm, makasih ya, Al." Aku tersenyum kecut. "Kalau diinget-inget, rasanya semua kejadian hari ini kayak lenyap dari otak gue. Yang ada cuma Darius."

"Ya, berarti lo sayangnya sama dia, bukan sama gue!" Al terkekeh.

"Haha. Mungkin lo bener. Ya udah, gue pulang dulu ya, Al?" Aku menyandang tasku dan keluar dari mobilnya.

"Meski gue merasa..."

"Eh, apa Al?" Suara Al yang menggumam barusan tertutup suara motor yang lewat dengan sangat kencang alias digeber.

Al buru-buru menggeleng. "Nothing." Dia menyalakan lagi mesin mobilnya. "Gue pulang, yah?"

"Bye."

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, kemudian naik ke lantai atas menuju kamarku. Setelah menyalakan lampu kamarku, aku melempar tasku asal dan menjatuhkan badanku ke kasur. Aku perlahan-lahan menutup mataku.

Meski gue merasa sedih karena sampai saat ini pun gue tetep kalah sama Darius di hati lo...

Ah, Al... lo pikir gue 100% gak denger omongan lo barusan? Aku jatuh tertidur.

***

Pagi itu adalah Minggu pagi yang melelahkan bagiku. Sambil memanggang roti, aku masih berpikir tentang kepergian Darius. Masih banyak penyesalan yang menggumpal di dalam hatiku atas kepergiannya, terutama kebodohanku akan perasaanku sendiri.

Tiba-tiba saat sedang ingin menyalakan televisi, nada dering free callku berbunyi. Aku mengangkat tubuhku untuk mengambil ponsel yang kududuki.

Darius.

"Halo?"

Suara itu masih tetap sama meski kini raganya berdiam di seberang benua sana.

"Halo, Sheil? Nyawa lo masih setengah mateng apa gimana?"

Aku merasakan mataku basah karena air mata.

"Sheila! Woy! Gue matiin nih ya?"

"Iya, iya!" jawabku kesal. "Maksa banget sih!" dengusku.

"Ya lagian, gue pikir lo belum bangun atau kesambet!"

Suara di sana sangat ramai. Bisa kubayangkan kini Darius sedang sarapan pagi di restoran New York yang padat, dilatarbelakangi oleh hiruk-pikuk manusia-manusia penghuni kota sibuk itu yang sedang berjalan menuju tujuan mereka masing-masing.

Tapi kemudian aku ingat kalau perbedaan waktu antara Jakarta dan New York cukup jauh. Mungkin Darius sekarang, lebih tepatnya sedang makan malam.

"Sheil, gimana sama Al kemarin?" tanya Darius.

Aku tak menjawab.

"Lo masih marah sama gue? Maaf ya gue gak bilang-bilang mau pergi ke New York. Gak pernah sempet sih, soalnya."

Aku tetap tak menjawab.

"Gue masih lama banget sih, pulangnya. Di sini masih harus SMA 1 tahun lagi, terus kuliah lagi 4 tahunan. Pulang sih pasti, karena biaya hidup di New York mahal dan cari kerjaan susah, lebih susah dari di Jakarta."

Aku tetap tak menjawab.

"Sheil? Lo beneran masih marah sama gue?"

Aku tak menjawab.

"Lo balikan sama Al? Cerita dong sama gue gimana."

Aku tak menjawab.

"Sheil, jangan sampe gue switch ke video call ya? Biar gue puas ngeledekin muka lo yang buluk abis bangun tidur itu!"

Aku masih terdiam.

"Sheil, lo kenapa sih?"

Kurasakan bahuku bergetar. Entah menangis karena merindukannya, menangis karena tahu dia tidak membenciku, atau menangis karena perasaan tak terdeteksi lainnya.

"Sheil, lo nangis?" Nampaknya Darius bisa mendengar suara isakanku. "Maafin gue dong, jangan cengeng kayak begitu!"

"Hiks... elo... pergi... elo tinggalin gue di sini... jahat banget lo, Dar!" Kalimatku berantakan.

Suara helaan napas Darius terdengar di telingaku. "Lo masih bisa curhat soal cowok yang lo suka via LINE, kok. Soal cowok-cowok bermuka pas-pasan itu!" candanya.

"Gak, gue gak akan pernah curhat lagi."

"Yah, ngambek nih ceritanya?"

Aku menyeka air mataku dengan tanganku. "Gue gak akan pernah cerita sama lo karena gue sibuk."

"Songong banget lo ya?"

"Iya. Gue songong. Gue akan sangat, sangat sibuk untuk bisa curhat lagi sama lo."

"Sibuk apa? Sibuk jadian lagi sama Al?"

"Bukan," sebentuk senyuman malu muncul dari bibirku. "Gue bakalan sibuk nungguin orang yang gue suka nyelesain sekolahnya dan balik ke Indonesia. Jadi gue gak ada waktu buat curhat sama elo!"

Darius diam cukup lama di sana. Dia pasti mengerti artinya, dia pasti mengerti makna perkataanku ini. Kini jantungku berdebar menunggu respon darinya. Hening itu seperti sejuta tahun, menunggu jawaban dan respon darinya.

"Dia gak akan lama-lama kok perginya. Selama di sini pun, dia akan jadi orang yang paling merindukan lo. Tunggu dia pulang, ya?"

Aku mengangguk meski Darius tidak bisa melihatnya. "Ya, gue bakal nunggu dia pulang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top