Kembali
"Kamu tau gak?"
"Tau apa, Al?"
"Kamu itu cewek paling cantik di mata aku."
"Najis, gombalnya kerenan dikit dong, Al!" sanggahku. "Gue berantakan, urakan... cantik apanya?"
Tawa Al menggema, berdenting dalam ruang waktu yang bergerak melambat.
"Sheila, I love you so much."
Al meraih pundakku dan mendekatkanku padanya. Kemudian dia mencium pelipisku. Lama, penuh penghayatan.
Kemudian aku terbangun dari mimpi itu dengan dada sakit dan napas sesak.
Ya, Al pernah bilang kalau dia mencintai aku. Sangat-sangat mencintaiku.
Apakah secepat itu dia melupakanku?
Aku tak yakin dia begitu. Dahulu dia pernah mencintaiku dan mungkin kini dia masih memikirkanku.
Ya, ya! Itu benar!
Mungkin masih ada jalan bagiku untuk kembali kepada Al.
***
Darius mengernyit menatapku, seperti melihat alien atau mahluk dimensi lain yang keluar dari kolong tempat tidurnya atau tiba-tiba ada di kamar mandinya.
"Lo udah sakit parah ya, Sheil?"
Kata-kata Darius sama sekali tak merubah kelanjutan perkataanku.
"Gue yakin ada jalan untuk kembali, Darius."
Kalimatku membuat Darius geleng-geleng. Dia melempar kunci motornya ke meja kafe itu dan mengacak-acak rambutnya.
"Udah gila lo, Sheil. Sehancur itu Al bikin hidup lo, segamblang itu dia bilang 'gue jatuh cinta sama Davina', sedingin itu dia sama lo setelah putus. BALIKAN KATA LO?" Darius berseru hiperbolis.
Aku menunduk sedih. "Dar, selalu ada jalan untuk kembali," balasku.
"Tapi bukan kembali ke neraka yang sama!" serunya tertahan. "Lu kalau mau buang sia-sia waktu gue untuk ceramahin lo, lu buang waktu gue nemenin lo makan sana-sini... dan lo mau mengupayakan balikan sama Al? Mending waktu itu gue pake buat nonton anime!"
Darius terlihat kontra dengan ideku. Tapi memang Darius tidak paham, bukan? Darius tidak paham sama sekali maksudku.
Dari sekian banyak perkataan Al, kengototannya untuk bertahan dan segala cintanya padaku... pasti ada jalan untuk kembali.
"Darius, dukung gue, Dar. Tolong. Gue cinta sama Al."
Darius melirikku. Menatapku lama sekali. Dia mendelik dan menggeleng kecewa. "Gue pikir lo cewek kuat, Sheil. Gue pikir lo bukan cewek pathetic yang cinta sama satu cowok yang udah nginjek-injek hati lo, terus berkali-kali suka sama cowok dan bikin Al merasa gak berharga di mata lo! Ternyata... lo semenyedihkan itu. Lo masih mau balik sama bocah mulut manis menjijikkan itu!"
"Dar, denger dulu! Gue--"
"Terserah," Darius mengibas-ngibaskan tangannya. "Terserah lo mau deketin Al lagi, terserah lo mau ngapain. Tapi inget, akan ada saatnya lo ga bisa minta siapa-siapa lagi buat menemani lo menanggung kebodohan lo."
Darius pergi meninggalkanku di kafe sendirian.
Serius. Masa bodo dengan Darius. Aku tahu ada jalan untuk kembali.
Al pernah berkata padaku kalau suatu hari nanti kami putus, kami pasti akan kembali.
Kalau kami saling jadian dengan orang lain, kami pasti akan kembali.
Selalu ada jalan untuk kembali. Karena cinta adalah jalan untuk kembali pulang.
Bila dia belum bisa melupakanku, kenapa dia tak pernah menyapaku dan menghindariku?
Al, maafkan aku karena sempat menyerah. Masa bodo dengan Darius. Kini aku akan jadi orang yang menarikmu kembali ke cerita kita.
***
Sudah 2 minggu aku tak bercakap-cakap dengan Darius. Bertemu pun ogah. Aku kesal karena dia tak mendukungku. Tapi aku senang karena bisa menghajar mukanya dengan kenyataan:
Aku dan Al dekat kembali di sekolah.
Sebagai ganti Darius, kini aku menghabiskan waktu dengan Al. Ya, seperti dulu. Kantin bareng, pulang bareng, chatting berjam-jam...
Bedanya aku tidak lagi curhat dengan Darius. Cowok yang tidak mendukung sahabatnya itu tidak layak disebut sahabat lagi, apalagi disebut Abang. Puah.
Hari ini aku berjalan dengan Darius menuju kantin. Aku berpapasan dengan Darius dan Kak Fando yang sedang membawa makanan.
"Sheila, woy!" sapa Kak Fando.
"Eh, hai, Kak!" Aku menyapa balik Kak Fando.
"Udah lama gak lo berdua gak barengan lagi!" Kak Fando bicara padaku sambil menyenggol-nyenggol Darius.
Darius memasang muka datar, tak mau menjawab. Oke, jadi aku akan menjawabnya.
"Emang harus nempel-nempel sama Darius mulu, Kak?" kataku sambil melirik Darius. Ekspresinya ketus.
Darius melengos. "Fan, lu masih mau di sini? Gue duluan deh."
"Eh tunggu!" Kak Fando menahan bahu Darius. "Duluan yah, Sheil!"
Aku melambai pada Kak Fando yang berlalu bersama Darius.
Aku dan Al melanjutkan perjalanan kami menuju kantin, sampai tiba-tiba aku mendengar derap sepatu dan beberapa detik kemudian aku sadar tanganku ditarik menuju celah di antara dua pilar sekolah.
Darius.
Wajahnya terlihat serius campur kesal. Dia mengantungi kedua tangannya di celana dan menatapku ke dalam mataku.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Lo yakin kalau Al beneran masih sayang sama lo?" Darius bertanya dengan nada yang serius.
Aku mendengus dan melipat tangan di dada. "Apaan lagi sih, Dar? Lo lihat kan gue sama dia deket lagi? Kemarin dia cuma lagi oleng dan gak yakin. Kami berdua itu masih saling sayang! Apa lo terganggu akan fakta itu?"
Darius diam. Badannya yang tegang pun melonggar.
"Kenapa lo peduli, Darius? Bukannya selama ini lo juga ketus sama gue? Cuma dengerin, ngasih jawaban ketus dan pasif. Iya kan? Buat apa lo hari ini peduli banget sama gue dan Al? Merasa kehilangan fans?"
Darius tak menjawab.
Tak ada jawaban dari Darius membuatku kesal. Aku berjalan cepat meninggalkan Darius sendirian di sana.
Semua cowok sama aja, tapi aku tahu keajaiban bisa mengubah sesuatu.
"Eh, tadi ngapain sama Darius, Sheil?" tanya Al saat kususul di warung soto.
Aku melirik ke arah pilar itu. Darius baru saja beranjak dari sana sambil balas melihatku.
Aku mendengus. "Gak, Al. Gak ada apa-apa."
Al menerima soto dari Bu Yuli. "Lo gak makan, Sheil?" tanya Al.
"Gak selera. Naik aja yuk," ajakku.
"Oke." Al berjalan di sampingku menuju lantai atas. "Oh iya, Sheil!"
"Hm?"
"Lusa bisa temenin gue ke mall gak? Gue mau beli sesuatu dan lo pasti jago milihnya!"
Deg. Kembali seperti dulu. The good old time, jalan-jalan di mall sambil bercanda dan memilih-milih belanjaan.
"You'll be a good wife, you know?" kata Al waktu itu.
Aku tak sadar bahwa aku menunduk dan tersenyum malu mengingat kenangan itu lewat dalam pikiranku.
"Kenapa, Sheil?" tanya Al.
Aku cepat-cepat menggeleng. "Nothing," jawabku. "Cuma... ada satu kenangan yang indah lewat dalam pikiran gue." Aku menatap ke mata Al, berharap itu merangsang ingatannya akan kenangan kami itu.
Al hanya mengangguk.
Ya, mungkin dia agak lupa.
***
Hari yang kunantikan telah tiba. Aku sudah berdandan cantik untuk hari ini. Aku dan Al berjanji untuk bertemu di Excelso di depan Sogo. Ketika aku menuju ke sana, aku melihat Al sedang makan sandwich sambil minum secangkir cappuccino hangat.
"Lama yah?" tanyaku basa-basi. Padahal aku datang tepat waktu dari waktu yang dijanjikan.
Aku tersenyum kecil melihat kopi Al yang sudah mendingin. Dia udah lama di sini dan dateng sebelum waktu janjian...
Al menggeleng. "Gak lama, kok. Lo mau makan dulu atau kita mau langsung masuk Sogo?" tanya Al.
Aku menggeleng. "Langsung masuk aja. Yuk!" Aku bangkit dari kursi, disusul oleh Al.
Kami berjalan masuk ke dalam departement store besar itu. Jantungku rasanya mau keluar dari mulut, tanganku rasanya bisa memproduksi tambak keringat. Aku senang senang senang BAHAGIA!
Biar kutebak, pasti ekspresi riangku terdeteksi oleh Al, mengingat aku adalah orang yang terlalu jelas. Tapi apa peduliku? Sebentar lagi... cukup menunggu waktu... kami akan kembali bersama seperti dulu.
Kami berjalan melewati bagian baju-baju remaja. Ada sebuah kaus berkerah garis-garis panjang warna abu-abu putih menggantung di sana.
"Wah, lumayan nih, Sheil!" Al memegang baju itu sambil tersenyum.
Aku terkekeh sambil membayangkan Al memakai baju itu. Dia pasti akan sangat keren dengan baju itu. "Beli aja! Darius juga punya baju itu. Katanya bahannya nyaman meski berkerah!"
Al tersenyum kecil dan melepaskan tangannya dari baju itu. "Oh, gitu? Ya udah, yuk, ke tempat lain!" Al pergi begitu saja.
Aku mengekori langkah Al dengan bingung.
Dia berhenti di depan sebuah kaus putih bergambar doodle art yang lucu namun tetap boyish.
"Bagus kan, Sheil?" Al menempelkannya di badannya.
Aku mengangguk antusias. "Bagus banget!" pujiku. Tiba-tiba aku teringat perkataan Darius. "Eh, tapi jangan deh, Al!"
"Kenapa jangan? Katanya bagus?"
Aku menggeleng. "Kausnya terlalu rame buat badan lo!" jawabku.
Al menunduk dan melihat sablonannya. "Ah, iya. Ini keramean, Sheil. Ya udah, gak jadi!" Al menaruh baju itu kembali ke rak. "Lo kok bisa paham banget fashion cowok, sih? Kayaknya dulu gak kayak gini," tanya Al.
Aku angkat bahu. "Mungkin karena kebiasaan nemenin Darius beli baju?"
Al manggut-manggut. "Oh, Darius..." jawabnya dengan nada panjang yang aneh.
Sudah dua kali kusebut nama menyebalkan itu dan Al bertingkah aneh. Apa dia... cemburu? Aku tersenyum penuh kemenangan.
Kami akhirnya berhenti di rak baju perempuan. Banyak baju-baju cantik keluaran terbaru di mana-mana.
"Nah, di sinilah gue butuh bantuan lo." Al memegang sebuah baju berbahan silk yang bagus.
"Buat umur berapa?" tanyaku.
Sebelum menjawab, Al angkat alis. "Hmm... sepantaran sama lo?"
"Dia ultah yah?"
Al mengangguk.
"Warna favoritnya?"
"Cokelat."
Aku mengangguk paham. Informasi ini sudah cukup untuk membantu Al mencari baju untuk temannya yang berulang tahun ini.
In the end, kami menemukan sebuah terusan tangan buntung dengan kerah dan lubang ikat pinggang di bagian pinggang. Untuk menemani baju itu, kupilihkan ikat pinggang hitam dengan besi ikat pinggang warna perak.
"Ah, akhirnya kebeli juga. Makasih ya, Sheil..."
Kalimat selanjutnya, aku berharap tak pernah mendengarnya seumur hidup.
"Davina pasti suka sama baju ini!"
Davina.
Seluruh badanku membeku dan dadaku sesak. Kucoba menahan semua emosi yang menggumpal di kerongkonganku, dan mencoba berpikir jernih. Mungkin dia mau menghargai Davina setelah putus dengan masih memberi hadiah, atau dia masih belum memutuskan Davina karena sedang menyiapkan waktu yang tepat.
Al menatapku. Dia menghela napas panjang. "Sheil, kita ke Hong Tang, yuk?" Al menarikku lembut tanpa menunggu jawabanku.
Kami berakhir duduk di Hong Tang dengan dessert masing-masing.
"Darius suka tuh, sama dessert itu," aku menunjuk pesanan Al di depanku. "Katanya itu manisnya pas."
Al tersenyum kecil sambil mengangguk.
"Al?"
"Iya, Sheil?"
Aku menunduk.
"Menurut lo... kesempatan kedua itu apa?" tanyaku.
Al menatap ke arah lain dengan raut gusar. Raut yang sama seperti sebelum ia menyatakan perasaannya padaku dulu.
"Kesempatan kedua itu..." Al menelan ludah. "Kesempatan kedua adalah di mana orang itu membuka hatinya untuk mencoba kembali apa yang mereka rasa gagal dan tak berhasil."
Aku terdiam.
"Al?"
"Ya, Sheil?"
"Ada..." Aku merasa pelupuk mataku mulai hangat. "Apa ada kesempatan kedua buat kita?"
Al, tanpa banyak berpikir, langsung memberiku gelengan pelan. "Gak ada, Sheil."
Hatiku mencelos. "Terus buat apa, Al? Buat apa lo kembali berbuat baik sama gue dan mau main sama gue lagi?" tanyaku dengan suara lemah.
Al menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menghela napas panjang, dan menatapku. "Gue kira lo yang udah move on, Sheila. Gue pribadi masih mau jadi temen lu dan sering kangen berteman sama lo lagi,"
Berteman. Aku menunduk dalam-dalam.
"Tapi, Sheil, gak ada kesempatan kedua buat hubungan yang udah ditentang orang tua ini."
Semua percaya diriku rontok dalam sekejap mata.
Dan saat aku sadar, aku sudah mendapati diriku berlari menuju pelataran Kelapa Gading, menunggu taksi.
"Sheil."
Ternyata Al berhasil mengejarku.
"Apa lagi, Al?" Aku berkata dengan air mata meleleh di wajahku.
Aku pasti tampak sangat sangat menyedihkan. Seumur hidup mengejar cowok, berharap pada mereka, hidup dalam mimpi lovey-dovey dan merusak hidupku dengan mimpi di siang bolong. Aku sangat, sangat menyedihkan.
Al menghela napas panjang. "Maaf, kalau lo merasa gue memberikan lo harapan."
Aku menyeka air mata dan menatapnya sedih. "Mungkin gue yang terlalu berharap, Al."
Aku mengeluarkan ponselku dari kantung. Taksinya terlalu lama. Aku butuh seseorang untuk menjemputku dan bisa membawaku pergi dari sini.
Dengan segala kerendahan hati, kutelepon Darius.
3 kali kutelepon via free call, tak ada jawaban. Aneh, biasanya dia selalu membalas dalam 1 kali nada tunggu.
Aku mengirim pesan ke roomchat Darius 4 kali. Tak dibaca.
Ini sangat jarang kulakukan. Tapi entah kenapa firasatku tak enak. Dengan cepat, ku-speed dial nomor telepon rumah Darius.
"Halo, Bik Indah?"
"Halo, Mbak Sheil? Ada apa?"
"Darius kok gak ngangkat teleponku yah?"
"Mbak Sheil gak tahu?"
Aku meneguk ludah. "Tahu apa... Bik?"
"Mas Darius udah dalam perjalanan ke airport."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top