"Brother"
"Darius," panggilku.
"Yo?" jawabnya.
"Kenapa sih..."
"Kenapa apanya?"
"Kenapa semua cowok sama aja?"
Darius sibuk menorehkan pulpen, menulis jurnal kelas. Kacamata persegi panjang bingkai hitam itu ditekannya agar tidak melorot.
"Darius."
"Hm?"
"Darius?!" pekikku gemas.
"Apaan sih, Sheil?" Darius kelihatan kesal.
"Jawab pertanyaan gue dong, Darius!"
"Yang mana?" Darius menekan nada kesalnya.
Aku mendengus. "Kenapa, semua, cowok, sama, aja?" ejaku.
"Karena lo belum ketemu cowok yang beda!" jawabnya simple.
"Enggak! Ini fakta! Kenapa semua cowok ngejauh pas mereka tahu gue suka sama mereka?"
Darius mendelik lagi. "Karena perasaan suka lo terlalu kelihatan!" jawabnya.
Aku merengut. "Emang iya?" ucapku kumur-kumur. "Emang kelihatan banget kalau gue suka sama... Indra?"
Tanpa ragu, Darius mengangguk. "Iya. Keliatan banget."
JDANG! Rasanya aku seperti petarung yang di-knock out, ditindih lawanku yang seberat 100 kilo.
"E-emang iya?" bisikku.
Darius menurunkan pulpennya dan menghadap aku. "Indra menjauh karena lo terlalu antusias sama dia. Kayak orang ngejar artis Korea!"
Aku manyun. "Emangnya gue seserem itu?"
"Ya. Lo seserem itu. Dia lewat, lo datengin dengan mata berbinar-binar, kayak om-om pedofil ketemu mangsa!"
JDANG! Aku seperti tertimpa gedung. Darius memang punya mulut yang terlampau jujur. Kejujuran, dan wajah datar. Itulah keahlian Darius.
Ngomong-ngomong, Darius adalah kakak kelasku. Kami saling kenal saat MOS, ketika dia menjadi penanggungjawab kelasku. Aku sedang mengisi biodata kala itu.
"Hoo... lu suka anime?"
"Huh? Hmm... iya, Kak."
"Wih, lumayan juga selera lo!" dia melihat judul-judul anime yang kutulis di biodataku.
Sejak saat itu, selama masa orientasi, kami sering berbincang tentang jejepangan, apapun itu. Darius tahu banyak dan lebih up to date dibanding aku yang fokus hanya pada yang kusuka.
Aku mulai berhenti memanggilnya Darius-niichan (Kak Darius, dalam bahasa Jepang, niichan berarti abang) karena dia merasa malu didengar teman-temannya.
Panggilan itu berubah jadi hanya Darius, tanpa embel-embel apapun.
Setiap aku merasa perlu untuk menyeretnya ke dalam percintaanku dan menjadikannya kambing hitam perasaanku yang meletup-letup, aku akan menganggunya di sudut sekolah manapun ia berada. Sebodo amat, aku tidak peduli dia sebal padaku.
"Yuk, pulang!" Darius menutup jurnal kelas dan menyandang tasnya di bahu.
Aku berdiri dan mengekori langkah Darius. Dia menaruh jurnalnya di meja guru dan keluar dari kelas.
Setiap hari aku pulang dengan Darius. Dia membawa motor ke sekolah. Awalnya aku hanya meminta dia mengantarku pulang karena ongkosku terpakai untuk patungan kelas, tapi Darius sering mengajakku pulang. Karena itu menguntungkanku, kini Darius dan aku jadi rutin pulang bersama selama satu tahun tahun.
Rumahku dan Darius sama sekali tak searah. Darius tinggal di Sunter, sementara aku di Tanjung Priok. Dekat, tapi tak sedekat itu. Banyak jalan yang harus dilewati.
Darius menyalakan motornya dan memberiku helmnya padaku. "Baru dicuci, awas bau!"
Buk! Kutendang kakinya. "Sampo gue head and tail tauk!" protesku.
Darius sok kaget dan membulatkan mulutnya dengan menyebalkan. "Ooooooh? Sampo kuda? Kok muka lo belum kayak kuda?" ledeknya.
"DARIUS!!" Aku mencubit lengannya dengan gemas bertubi-tubi.
Darius menepis semua cubitanku dan terkekeh. "Sekali lagi cubit, gue tinggalin lo di sekolahan, ya?" ancamnya.
Aku melengos. "Ancaman lo kayak emak-emak!" ledekku. Aku melompat ke jok belakang dan memeluk pinggang Darius.
"Emang gue udah suruh lo naik?"
"DARIUS! IH, RESEH!"
Darius terkekeh usil dan menjalankan motornya. Hitungan detik, kami menjauh dari sekolah.
Sesampainya di jalan raya, kami disambut penyakit parahnya Jakarta: macet.
Jalanan sesak dengan kendaraan dan udara penuh knalpot dan klakson. Tekanannya semakin tinggi, karena sudah ada beberapa kendaran yang saling senggol.
Aku melihat Darius. Dia kelihatan lelah dan mulai emosi dengan jalanan yang sesak ini. Kalau bukan karena mengantarku, Darius pasti sudah rebahan di rumah sambil nonton anime di bawah tiupan AC.
Entah kenapa aku terenyuh dengan usaha dan kerelaan Darius untuk mengantarku pulang, bahkan rela terjebak macet tak bergerak seperti ini.
"Dar?" panggilku pelan.
"Oy?"
Aku tersenyum, mendekatkan mulutku pada telinganya dan berbisik, "lo beda dari cowok-cowok lain."
***
"DARIUS, DARIUS, DARIUS!"
Darius mengangkat alis kanannya, menyambutku dengan tatapan ala Darius seperti biasa.
"Kenapa lo senyum-senyum creepy kayak gitu?" tanya Darius sambil melihat wajahku yang berseri-seri cantik.
Aku duduk di bangku panjang di depan kelas Darius itu, tepat di sebelah Darius. Aku menghadapnya dan tersenyum lebih lebar lagi.
"Nah, sekarang lo lebih creepy." Darius menyentil hidungku.
"Aduh!" Aku mengelus hidungku. "Lo gak rela banget gue seneng, ya?" keluhku.
Darius terkekeh. "Seneng, seneng! Tapi senyum lo kayak mau mutilasi gue!"
Aku meninju lengan Darius. "Dengerin dulu, gue lagi seneng, ini!"
"Oke, tentang cowok-bermuka-pas-pasan mana lagi? Indra? Al? Noel? Atau Tian?"
Aku mencubit pinggang Darius dengan gemas. "Mereka gak pas-pasan!" seruku gemas.
"Adudududuh!" Darius merintih. "Kalo bukan pas-pasan, terus apaan?"
Aku mendengus dan melepas cubitan itu. "Yaa... gak pas-pasan! Mereka ganteng, tapi bukan muka yang paling penting!" balasku defensif.
Darius mengibas-ngibaskan telapak tangannya. "Yeah, whatever. Jadi ada apa lagi di dalam Sheila Universe?"
Aku tersenyum. "Namanya Kris, Dar! Dia kelas sebelah, dan gue baru ngobrol kemarin sama dia. Anaknya seru, supel, tapi ga pecicilan..."
"...kayak Indra."
"Iya," jawabku. "Gak kayak cacing kepanasan sok jual mahal itu!" Aku masih dendam pada sikap jijik dan sombong yang Indra lakukan padaku sejak dia tahu kalau aku menyukainya.
"Tuh, kemarin katanya Indra cuma cowok bersahabat yang suka menghibur. Sekarang, ikut menghina. Hidup lo labil banget sih, Sheil?"
Aku menggembungkan pipiku. "Lu nyebelin banget sih, Dar!" keluhku.
Darius terkekeh. "Udah gitu baperan pula!" imbuhnya lagi.
Aku merengut. Selalu, bila dengan Darius, aku merasa sebal dan senang secara bersamaan.
Keistimewaan Darius: mau mendengarkan celotehan gak mutu dari adik kelas ababil yang berkali-kali jatuh cinta pada cowok yang berbeda.
Dia memang terlihat cuek, menjawab seenaknya, dan terlalu jujur. Tapi entah kenapa aku tahu, bahwa meski menyambi pekerjaan lain setiap aku curhat, sesungguhnya Darius selalu mendengarkan curhatanku.
"Eh, ada Sheila!" sapa Kak Tyas, teman sekelas Darius.
"Hai, Kak!" sapaku balik.
Kak Tyas menghampiri aku dan Darius sambil tersenyum. "Dari dulu sampe sekarang sama aja yah, Dar?" Kak Tyas terkekeh. "Sheila selalu aja nempel sama lo. Elo juga selalu ada sama dia."
Darius tersenyum miring. "Iya nih, fans gue!" Dia mengacak-acak poniku.
"Ih, najong!" tolakku sambil menepis tangan Darius dari kepalaku. "Darius itu bodyguard gue, Kak Tyas!" Aku menjulurkan lidah pada Darius.
"Yang ngedatengin tiap hari siapa, yang dibilang bodyguard siapa!" sungut Darius.
Aku meninju bahunya dengan kesal. "Oh iya. Lo kan lemah, mana bisa jadi bodyguard!" balasku ofensif.
"Terserah lo, Sheil! Terserah!" jawab Darius. "Lo kan fans sejati gue! Ngoleksi foto-foto gue di tembok terus lu kasih sajen tiap hari!" ledeknya.
"Najong!"
"Udah, Sheil, akui saja obsesi lo pada gue. Gue tahu gue keren dan ganteng, paling ganteng seangkatan!"
"Iiih, DARIUS!" Aku menerjangnya, tapi ia menahan kepalaku dengan telapak tangannya menekan ubun-ubunku. Si sialan itu ngakak melihatku mau menyeruduknya dengan muka siap menelan.
BRAK! Darius tak sengaja melepas tangannya dari kepalaku. Aku yang sedang bergerak hiperaktif itu pun terantuk kursi dengan sangat keras.
Gelap.
***
Darius menghentikan motornya di depan rumahku. Dia mengguncangku yang tertidur di punggungnya.
"Udah sampe, Sheil!" panggilnya.
"Engh..." aku menggumam. Kepalaku yang diperban kini berdenyut ngilu. Karena itulah aku dipulangkan.
"Dar, makasih ya udah anter gue pulang, meski lo harus batalin janji lo sama temen-temen komunitas lo--"
"Halah, ga penting. Ini salah gue, dan intinya sekarang lo udah di rumah!" Darius melepas helmnya dari kepalaku. "Sana, masuk!" usirmya.
Aku mengangguk dan melambai padanya. "Makasih ya, Dar. See you tomorrow!"
"Yo!" balas Darius sambil menstarter motornya.
Ah, bener...
Aku berbalik 180 derajat. "Darius!" panggilku.
"Ape lagi?"
Aku tersenyum. "Lo bukan bodyguard kok! Lo adalah abang yang gak gue milki, dan lo abang terbaik yang pernah ada!"
Aku melihat Darius tersenyum di atas motornya. Tanpa menjawab, dia memasang helmnya dan melaju pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top