It's Okay To Say, "I'm Not Okay."
Menjadi petinju bukan hanya fisik yang dikuatkan, melainkan juga mental. Petinju tidak hanya menjaga kemenangannya, melainkan harga dirinya.
Latihan keras bertahun-tahun bisa saja berakhir buruk jika tidak dipertahankan. Tapi, jika kau sudah menahannya dan ternyata hasilnya tidak seperti yang kita mau .... "Salahkan dirimu yang telah memulai semuanya! Tidak berguna menyalahkan orang lain meskipun dia pelakunya!" Kamu terpaksa jatuh dari ketenaran dan tidak bisa menggapainya lagi untuk selamanya.
Meski begitu, kehidupan selalu memberi kesempatan.
***
Sudah genap 10 tahun dirimu menjadi penyamar. Untunglah profesi jahatmu bisa disembunyikan karena dirimu berbakat pada olahraga tinju. Dulunya kamu seorang perampok, pengumpul para pelacur miskin di Korea Selatan. Pelacur-pelacur itu meminta uang padamu, uang hasil rampokan kamu berikan. Tidak ada syarat dan ketentuan yang berlaku pada peminjaman uangmu itu, selain: "Kembalikan dengan bunga sekian pada tanggal sekian. Tidak bisa? Bunganya aku tambah."
Kamu bisa mendengar tangisan mereka yang katanya tidak sanggup memuaskan kliennya. Tidak sanggup memuaskan berarti tidak sanggup membayar uang yang dipinjam. Kamu berempati, sebelum menendang dan memukul jalang-jalang murahan itu agar jera meminta uang kepadamu dan tidak bisa melunasinya.
Setelah aksimu itu diketahui pihak berwajib dan kamu diburon aparat negara, kamu terjebak di sebuah bangunan mirip stadion sepak bola di mana bau minuman alkohol menguar ke segala penjuru. Di tengah-tengah bangunan itu, panggung arena terletak, sisi-sisinya dipagari tali karet. Dua orang bergelut di atas arena itu, dengan seorang berbaju garis-garis yang celingak-celinguk memperhatikan pertarungan mereka. Kamu menontonnya sampai habis dan terobsesi dengan pertarungan itu.
Mencuri segala majalah mengenai tinju di toko buku, membobol komputer warnet hanya untuk mengetahui bagaimana menjadi petinju yan baik, mencari-cari foto pemeran pria dalam film porno Amerika dan menggambar balik kotak-kotak di perutnya ke perutmu sebagai bentuk apresiasi jika berhasil menjadi petinju. Menyelinap masuk ke gym dan memukul-mukul samsak hingga pemiliknya menyeretmu keluar. Terus begitu sampai kau ditemukan seorang tinggi yang tak berlemak. Katanya, "Aku melihat peluang-jadi-petinju dalam dirimu. Maukah kau bergabung dengan kami?" Kamu sempat mengira dia berbohong, sebelum dia memohon-mohon dan kamu akhirnya menyanggupi.
Rupanya, dia tidak berbohong. Kamu diikutkan ke latihan tinju untuk usia beranjak dewasa, ikut turnamen antarprovinsi, kemudian naik tingkat ke tingkat nasional, sebelum menjadi petinju negara yang membawa nama Korea Selatan ke mana-mana.
Jika seseorang mengucapkan Kimberly Park-an, orang-orang akan berkata, "Petinju hebat itu? Gila! Dia sudah jadi kebanggaan negara di usia 19 tahun di bidang yang sangat keras!" Dirimu pun dibincangkan, dipuji-puji, dipuja-puja. Sedangkan dirimu saat itu terduduk di kamar mandi dalam keadaan tak berpakaian, telah memuaskan diri dengan sebungkus sabu, merenungkan segala hal yang terjadi di usiamu yang masih muda. Kamu menyesal lahir dari rahim seorang pelacur. Lihat! Dirimu juga tak lebih dan kurang dari seorang pelacur.
Meski begitu, hidup selalu memberi kesempatan. Dan kesempatan ini baru kamu ambil setelah teman baikmu dipecat dari pekerjaannya.
***
"Kim, aku membawa kimbap!"
Samsak berayun dan bugh, berayun balik ke arahmu, membuatmu jatuh terduduk di atas matras. Aduhan dan tawa terdengar, membuat perhatian beberapa orang teralihkan.
"Sakit ya?" Sandara Park-an berucap. Dia menghampirimu yang mengelus punggung, padahal yang sakit pantat.
"Sialan!" sahutmu. Sandara kembali tertawa dan duduk di sampingmu. "Nih, kimbap, kubelikan saat di jalan menuju ke sini. Makanlah!" Kamu melirik sekotak kimbap sebelum melirik gadis bermata bulat itu. "Tumben." Satu kata itu sudah bisa membuat ekspresi lucu Sandara keluar.
"Dasar! Aku sudah berbaik hati mengeluarkan sebagian uangku untuk membelikanmu ini," runggutnya. Kamu tersenyum, lalu meraih kotak bekal berisi kimbap di tangannya itu. "Maaf. Ini, akan kumakan." Kamu membuka kotak itu sebelum meraih sumpit yang menempel di belakang tutup bekal dan menggunakan untuk memakan isinya itu.
Kimbap adalah makanan favoritmu, dan kamu memakannya begitu lahap nan cepat. Tidak peduli Sandara akan berkomentar apa, kamu terus memakannya, hingga menyadari sesuatu menempel di rahang bagian atas, menancap hanya saja tak sakit. Meraba dengan lidah, bentuknya tipis. Kamu melirik Sandara sambil mengunyah.
Ini sudah kesekian kali dia menempelkan pelacak yang rakyat umum saja tidak tahu itu adalah pelacak, kepadamu. Sudah berapa kali pelacak itu dicabut, menyebabkan mulutmu berdarah atau bajumu bolong karena dipotong—benda itu bisa menancap lebih kuat dari yang orang-orang kita.
"Sebenarnya kau ini siapa? Tingkahmu tidak seperti polisi," tanyamu dalam hati. Kamu telah berusaha mencari jawaban atas pertanyaanmu itu, hasilnya nihil. Itu membuatmu menepis jauh-jauh berbagai pikiran buruk terlebih mengingat dirimu selalu dapat sial entah ditempeli pelacak atau tidak. Jadi, kamu mengendikkan bahu—terserah.
Pulang ke rumah setelah menghabiskan hari dengan Sandara, kamu tidak lagi mengambil tang guna mencabut benda keparat di dalam mulutmu itu. Kamu ingin tahu siapa Sandara, kenapa pelacak itu ditempelkan olehnya. Dan sambil menunggu dia memunculkan profesinya selain sebagai seorang jurnalis, kamu harus bersiap untuk menghabiskan uang-uangmu.
Semua atlet negara di dunia ini tidak mungkin memiliki hati sesuci malaikat.
***
Sudah banyak pria yang kautiduri ketika benar-benar mabuk. Saat satu kakimu berada di dunia dan sebelahnya berada di surga, dirimu dibopong dan dilempar ke kasur empuk. Semua pakaianmu dilepas, semua pria bisa mendapatkan tubuh dengan kotak-kotak samar di perut jika kau tengah mabuk. Mereka akan melucuti pakaiannya, memuaskan birahi. Jika kau sudah terlebih dahulu sadar dari mabuk, maka kamu akan memukulnya dan membuatnya nyaris lumpuh. Akan tetapi, jika kau tak kunjung sadar sampai mereka dipuaskan, bersiaplah memiliki bayi—kecuali dia telah memakai pengaman.
Dan semua pria yang berhasil merebut harga dirimu sudah memakai pengaman, kecuali dua minggu yang lalu.
Ketidaksengajaan itu membuat perutmu lebih besar dari sebelumnya. Kamu panik diam-diam, menangis dalam diam, di apartemen kecilmu, hingga muncul keinginan untuk membunuh anak dalam perutmu itu.
Nasib ibu bisa turun ke anak, seperti dirimu dulu, hanya saja kau diselamatkan Keberuntungan. Jadi, hidupmu tidak buruk selamanya, tapi mungkin hidup bagian burukmu akan diturunkan kepada anakmu. Buktinya tadi saat kamu memutuskan untuk aborsi. Dia sudah mendapat nasib buruknya; mati sebelum melihat dunia.
Nah, sebelum Sandara tahu kamu mengandung seorang anak, lebih baik anakmu itu kaubunuh. Lagipula kamu tidak tahu siapa yang telah menghamilimu. Jadi, mari cari seorang dokter atau sebuah obat keras untuk menggugurkan kehamilan. Bayi dalam perutmu itu tidak boleh hidup lebih lama lagi.
***
"Pelacur. Petinju dan pelacur menjadi satu."
Kamu terbelalak dengan segala uang di atas meja yang telah ditumpahkan dari sebuah koper. Bukan kaget akan banyak uangnya, melainkan perkataan rivalmu yang entah dari mana tahu kalau kamu mengandung. "Orang-orang akan bunuh diri mendengarmu hamil di luar nikah." Baek tertawa. Gigimu bergemeletuk. Kamu tidak pernah membocorkan rahasia personalmu itu kepada siapapun, bahkan Sandara. Darimana Baek tahu kalau kamu sedang berbadan dua?
"Menyerahlah." Dia menyeringai. "Jika kau menyerah, maka uang ini akan jadi milikmu tanpa syarat. Kau bisa mengumpulkan kembali pelacur-pelacur itu untuk diberikan uang dan mereka akan membayarnya dengan bunga. Kau tidak perlu repot-repot merampok bank."
Kamu semakin terbelalak. "Omong kosong." Kamu tersenyum, kembali pada kepribadian Kimberly yang menganggap semua masalah adalah masalah kecil. "Bilang saja kau mau memenangkan turnamen minggu depan, tidak perlu susah payah berbasa-basi." Kamu terkekeh.
Baek tertawa. "Gadis malang. Jika saja Dewi Fortuna tidak berpihak kepadamu, kau tidak akan seberuntung sekarang."
Kamu mulai menggeliat tak nyaman. Kamu kembali memikirkan masa lalu.
"Kenapa, Kim? Kau menyadarinya? Benarkah kau Kimberly si Perampok-Pengumpul-Pelacur itu? Wah, senang bertemu denganmu." Baek menyodorkan tangannya untuk dijabat. "Mungkin aku bisa minta tanda tangan." Ia tertawa, merendahkan.
"Hentikan!" pintamu, berdiri. "Aku bukan dia dan aku tidak akan menyerah di turnamen meski semua uang ini masuk ke rekeningku. Tidak akan."
Kamu dan Baek terdiam cukup lama. Berkontak mata hingga teman Baek berdeham. Kalian kembali pada suasana semula. "Baik, kau tidak menginginkan uang ini. Tidak masalah," katanya. "Tapi bersiaplah! Lusa nanti aku sudah pasti akan memenangkan pertandingan. Jadi, bersiaplah identitas sebenarmu aku reveal, Kimberly Ha-Na." Uang-uang di atas meja dibereskan, Baek bangkit dan berbalik pergi. Temannya yang membawa koper menyusul, kamu duduk kembali ke atas kursi. Wajahmu memerah sebelum satu tinju berkekuatan besar melayang ke meja, membuat meja kayu itu terbagi dua.
"Aku tak boleh kalah. Jangan sampai aku dijatuhkan si berengsek itu." Kamu mengepalkan tangan. "Justru akulah yang harus mengalahkan Baek. Orang-orang akan bersedia menjadi suamiku jika aku berhasil memenangkan turnamen. Jadi wajar jika aku hamil olehnya."
Pikiranmu sempit, kamu tahu itu, tapi mau bagaimana lagi. Begitulah jalan pikir para manusia di dunia ini. Hamil di luar nikah tidak bisa menghalangi ketenaran jika kita bisa mendapatkan suami yang siap menanggung segala pertanyaan wartawan perihal kehamilanmu.
Tapi, ada masalah lain yang baru muncul di kepalamu. "Jika dia memintaku bercerai, ketenaranku akan berkurang. Aku akan dimaki pada akhirnya." Dan itu kaupikirkan hingga malam tiba, hingga kau tiba di rumah, mabuk-mabukkan, kembali larut dalam pengaruh narkotika.
Hingga datang hari di mana kamu harus berjuang mati-matian mengamankan bayi di dalam perut. Rupanya melakukannya aborsi bukan tindakan yang baik, yang bisa menyelesaikan masalah. Malahan mungkin bisa menyelesaikan hidup. Ngomong-ngomong, kamu juga ingin mati, 'kan?
Sekarang bukan waktunya untuk mati. Kamu belum tahu siapa Sandara.
Maka hari ini kamu fokus memenangkan pertandingan. Jangan sampai identitasmu dibongkar—sebenarnya kamu bisa membungkam Baek karena dirimu diam-diam membawa pistol, tergantung keakuratan senjata itu dan suasana. Jika kamu menembaknya, hasilnya akan sama.
"Air jeruk," katamu. Sandara yang ada di sampingmu memberikan sebotol besar berisi air jeruk. Kamu meneguknya sampai setengah sisa, menunggu namamu dipanggil untuk naik ke atas panggung arena. Saat namamu dipanggil, kamu berjalan dengan Sandara mengiringi. Semua orang di kanan-kirimu melambai-lambaikan tangannya, berusaha menggapaimu. Kamu tidak peduli, menatap berani Baek yang melayangkan tatap sinis. Masuk ke arena ring, kamu mempersiapkan diri.
Entah dari mana rasa yang kamu rasakan setelah masuk ke arena tinju. Kamu mendadak lemah, goyah, berkunang-kunang. Kamu memejamkan mata, melompat-lompat di tempat, mengira itu hanya gejala grogi. Nyatanya rasa-rasa itu terus dirasakan hingga bel dibunyikan tanda pertandingan sudah dimulai.
Baek telah mengangkat tinjunya selaras mata, kamu juga. Ia dan kamu melangkah melingkar, mencari tempat mana yang bisa memulai pertandingan. Seluruh orang mendadak bisu, menanti dirimu atau Baek dipukul.
Saat itulah kefokusanmu mendadak terenggut.
Kamu goyah. Bahumu turun, membuat Baek segera maju dan memukulmu. Kamu terdorong mundur, berusaha melawan, namun pukulan yang dilayangkan bukan pukulan yang bertenaga. Hasilnya tidak memuaskan, kamu kembali dipukul hingga jatuh ke lantai arena.
"Satu poin untuk Baek Yeong-Hun!"
Pendukung Baek bersorak-sorai, pendukungmu mulai menatap ragu. Kamu bangkit, kepalamu pusing. Bel telah dibunyikan saat itu, kamu kembali dipukul hingga jatuh lagi ke lantai arena, sebelum wajah cantikmu menerima bogem mentah dari tinju Baek. Kamu mengerang kesakitan.
Sorak-sorai kembali terdengar, bercampur dengan caci-maki. Beberapa penonton telah pergi dari kursinya. Makanan yang mereka bawa dibanting ke bawah kursi karena tidak terima jawaranya kalah di tangan lawan.
"Satu poin lagi untuk Baek Yeong-Hun!"
"Menyerahlah, Kimberly," bisik Baek, di atasmu. Kamu menggeram. Baek tertawa. "Baik, nikmati segala sakitnya."
Kamu pun didirikan. Dipukul lagi hingga membabi-buta. Jika saja wasit tidak menghentikan, kamu akan lebih banyak memuntahkan darah.
Namun, ada yang janggal. Wasit dan Baek terbelalak melihat sesuatu di bawahmu. Kamu yang berdiri goyah ditopang karet ring melirik ke bawah, di mana darah segar mengalir turun di kaki.
Semua penonton berteriak histeris. Kamu memegang perutmu, menyadari kalau Baek baru saja memukulnya dua kali secara keras. Kamu menatap Baek, lalu Sandara yang terbelalak. Dalam keadaan lemah kamu melompati karet ring dan berlari untuk bersembunyi. Kamu tidak ingin dibawa ke rumah sakit agar darah-darah itu diperiksa.
Kamu berlari, menembus jalan-jalan sempit dengan tapak kaki berdarah hasil darah yang keluar dari rahimmu. Kamu menemukan tempat sembunyi, lekas bersembunyi di sana. Nyeri tajam langsung terasa di dinding rahim yang membuatmu memekik kesakitan.
Nyeri itu semakin menyakitkan seiring banyaknya darah yang keluar. Kamu berusaha untuk tidak berteriak, tidak memancing seseorang yang mungkin tengah mencarimu. Kamu meronta kesakitan sekitar lima menit lamanya, hingga bau besi tercium oleh penghidu dan celana pendekmu basah oleh darah sendiri. Perlahan, nyerinya hilang, membuatmu menyeka air mata yang keluar. Kamu menangis, menangis kesakitan dan menangis ... tidak bisa dijelaskan. Kamu bahagia tidak ada apa-apa lagi di dalam rahimmu, namun kamu marah karena aborsi—mungkin—yang ingin kamu lakukan sendirian itu ternyata dilakukan oleh Baek di tempat umum.
Kamu perlahan bangkit untuk pergi ke tempat aman, mencari celana baru atau rumah baru agar tidak ditemukan. Malam tiba, kamu mencuri jemuran orang dan memakainya dalam keadaan basah. Bertemu toilet umum, kamu segera mengganti pakaianmu di sana sementara suasananya sepi, sekaligus membersihkan diri. Setelahnya, dengan aroma anyir di toilet, kamu mendadak merenungi hidup.
Semuanya berubah secepat mata berkedip. Semuanya berubah setelah kau menyadari ada yang tidak beres pada Sandara. Kamu teringat masa lalu, teringat masa sekarang di mana ini adalah aborsi pertamamu. Kamu mengingat bagaimana sakitnya kandunganmu gugur karena dipukul. Kamu memegang perut, bingung ingin tertawa atau menangis.
Kamu menyungging senyum, tertawa terbahak-bahak, "Berengsek. BERENGSEK!" kemudian isak tangis terdengar, "Sialan! Kenapa aku menjalani kehidupan seperti ini? Tuhan, aku mau mati saja!" lalu tertawa lagi, "HAHAHA! AKU SUKA HIDUPKU!" Begitu seterusnya hingga kamu merosot turun dari toilet, memeluk lutut dan menangis sejadi-jadinya tanpa ada tawa yang terdengar.
Kamu lahir dari rahim seorang pelacur. Dia sendiri mencampakkanmu ke panti asuhan. Di sana, kmu malah mendadak perlakuan tak pantas dari pengurusnya, yang menyebabkanmu kabur dan bertahan hidup hingga bertemu sekelompok perampok.
Karung-karung uang itu menarikmu untuk ikut merampok. Mulanya diremehkan sebelum kamu membuktikan kemampuanmu mengancam pengurus sebuah bank untuk membeberkan sandi brankas uangnya. Kamu pun terus merampok hingga remaja.
Remaja. Jika pada usia itu banyak yang jadi pelacur, kamu malah membuat orang jadi pelacur. Memberi mereka uang, menyakiti jika dia tak bisa mengganti. Diburon polisi adalah akhirnya, membuat bertemu olahraga tinju, terobsesi, dan berlatih keras hingga menjadi atlet kebanggaan negara.
Kamu sudah begitu tenar saat semua ini terjadi. Roda kehidupan terus berputar dan kini kamu memercayai keberadaannya. Kamu pernah di atas, berusaha pergi ke bawah dengan mabuk-mabukkan di klub malam atau memanjakan diri dengan segala narkotika yang ada di rumah, akhirnya itu terkabul. Kamu memukul-mukul dinding toilet, menangis keras. Setelahnya kamu sadar semua ini tidak akan membaik. Maka jalan terbaiknya hanya bisa memperburuk. Lalu, nasib bagian mana yang harus kamu perburuk?
Kamu keluar dari toilet, berjalan lesu entah ke mana. Hingga seorang tambun mengajakmu ke sebuah klub malam. Tubuh berlemaknya membuatmu muak. Kamu mendorongnya dan menendangnya hingga mungkin pingsan. Setelah itu, kamu pergi ke klub yang dia katakan dan memanjakan diri di sana.
Kamu digendong, kembali dilepas semua baju, kembali ditiduri, dikecup, dibelai, dipuaskan. Hingga kamu mendadak menangis karena tidak suka dengan segala hal yang lawan jenismu lakukan, padahal tadi kamu mendesah-desah meminta lebih. Kamu tidak suka, tapi secara bersamaan menyukainya.
Orang-orang bahagia jika mereka menikmati hidup, maka kamu menikmati apa pun yang terjadi pada dirimu saat itu. Kamu menikmati sampai tembakan terdengar. Lawan jenis di atasmu jatuh, seseorang berdiri di baliknya. Sandara dengan tangan bergetar mengenggam pistol. "Kimberly."
"Apa pun yang kaupikirkan," katamu, "aku ingin masuk rumah sakit jiwa. Jangan dimasukkan ke dalam penjara, kumohon," pintamu. Akhirnya Sandara menunjukkan identitas aslinya, sebagai Seseorang yang Mengenggam Pistol Saat Menjumpai Lawannya.
Sandara tak menyahut. Kamu memejamkan mata, menunggu semuanya terjadi begitu saja. Yang kamu rasakan hanya dirimu dibangkitkan, dipakaikan pakaian, dibaringkan ke sebuah papan, diangkat, dimasukkan ke sebuah mobil boks. Melaju entah ke mana, kamu diturunkan dari mobil itu. Dalam kondisi yang sangat sadar, kamu telah berada di rumah sakit jiwa seperti permintaanmu.
Di sekelilingmu, orang-orang tertawa dan menangis tanpa sebab. Ada yang memasang wajah datar dengan segenggam bunga di tangannya. Matanya mengeluarkan air mata padahal wajahnya tak berekspresi sedih.
Berhari-hari di sana membuatmu malah ingin bunuh diri. Segala hal buruk yang terjadi terbayang-bayang di kepala, menghantui mimpi, menggentayangi pikiran, menyuruhmu mengakhiri semuanya dengan cara bunuh diri.
Kamu sudah siap dengan pisau yang dicuri dari dapur rumah sakit, telah mengarah ke nadi leher. Saat itu semuanya tidur, penjaga yang menjaga telah berhasil diikat. Kamu sudah memejamkan mata untuk mengakhir hidup sebelum sebuah tangan mendorong tanganmu hingga pisaunya terlepas.
"Apa yang—"
"Jangan." Suara Sandara. Kamu terbelalak. Tepat di depanmu, berdiri gadis imut ceria yang bisa menggunakan pistol. "Aku tahu ini sulit, tapi jangan," pintanya.
"Apa lagi yang kuharapkan dari hidup, hah?" tanyamu. "Tidak ada. Jadi lebih baik aku mengakhiri nyawaku—"
"Tidak!" Sandara menampar lenganku, mencegahku mengambil pisau di lantai. "Apa yang kau pikirkan? Kau masih bisa mendapatkan harapan dari hidupmu ini, Kimberly."
"Bisa? Masih bisa?" Kamu menatap Sandara dengan mata berlinang. "Bisa ya? Kalau begitu, sebutkan harapan apa itu? Sebutkan!" bentakmu. Air mata mengucur, membuat Sandara terisak. "Aku lelah dengan semuanya! Ibuku pelacur, aku pelacur, orang-orang sekitarku pelacur, anakku juga pelacur. Apa gunanya aku di dunia ini? Lebih baik aku mati!"
"Tuhan tidak menciptakan kita tanpa tujuan, Kimberly!" teriak Sandara, menahanku turun dari kasur untuk mengambil kembali pisau di lantai.
"Aku sudah menemukan tujuanku, yaitu mati." Kamu memberontak dalam dekapannya.
"Kimberly, jangan! Aku masih menyayangimu." Setelah Sandara berkata begitu, kamu menangis keras. "Katakan semuanya jika itu bisa membuatmu membaik. Bukan sesuatu yang salah berkata kalau kita tidak baik-baik saja, Kimberly."
"Siapa yang akan mendengarkanku, huh? Siapa?" tanyamu, sesengukan. Sandara mengelus pucuk kepalamu. "Aku, sahabatmu."
Maka sejak itu, kamu menceritakan semuanya pada Sandara. Kamu bercerita bagaimana semua itu bisa terjadi, kenapa bisa terjadi, bagaimana ia mengatasi, Sandara menimpali dengan beberapa saran yang tak membuat hati terkikis. Sandara juga jujur soal benda merekat pada rahang atasmu yang tanpa disadari masih ada. "Aku seorang ... intelijen. Tapi, sekarang aku telah dipecat. Nyaris dibunuh, untungnya tidak. Maaf ya." Kamu akan mengamuk saat mendengar perkataannya, sebelum memaafkan.
Hingga kalian pun berteman, hingga mentalmu membaik dan semua hal yang lalu dijadikan pelajaran hidup, bukan sebuah pengalaman buruk yang menghantui. Kamu mengambil pelajaran dari semuanya, mulai menata hidup dengan semua itu. Keluar dari rumah sakit jiwa, kamu tidak keberatan dimasukkan ke dalam penjara karena memang itu harus.
Kamu hanya butuh teman, dan sayangnya tindakan kriminalmu di masa lalu membuatmu sukar mendapatkan teman. Kamu hanya perlu buka suara, menceritakan apa yang telah dialami, pada temanmu yang sudah sangat dipercayai. Merutuki hidup bukanlah cara yang bagus untuk mengakhiri penderitaan hidup, apalagi bunuh diri. Yang bisa dilakukan saat itu hanya berbicara, katakan apa yang telah terjadi. Bukankah tidak salah mengatakan kalau aku tidak baik-baik saja? Semua orang akan jadi pendengar yang bijak, walau beberapa akan melemparkan ucapan pedas sebagai respons.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top