Jadi Koto itu Tidak Mudah

TAHUKAH kamu, kalau ayahku menganggapku gila?

Alasan pertama, aku memutuskan untuk pindah dari tempat kos lamaku ke asrama baru ketika Ayah masih harus berada di luar kota selama beberapa hari karena urusan pekerjaan. Jadi beliau tidak bisa mengantarku sendiri dan membantuku membereskan barang-barang.

Alasan kedua, dan yang menjadi akar dari alasan pertama, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari universitas lamaku-jurusan Ekonomi Akuntansi-dan pindah ke universitas yang sekarang, mengambil jurusan Seni Musik.

Alasan ketiga, aku memutuskan untuk mengambil spesialisasi instrumen koto.

Koto, alat musik dawai tradisional Jepang dengan panjang nyaris dua meter dan berat nyaris delapan kilogram itu, merupakan pilihan yang 'terlalu antik', meminjam istilah ayahku. Menurut beliau, pilihan itu akan membuat ranah pekerjaan di masa depanku menjadi sangat spesifik. Menurut beliau pula, kecil kemungkinan untukku dapat mencari pekerjaan di dalam negeri. Dan bla bla bla lainnya.

Dan sepertinya, aku juga hampir sependapat dengan Ayah soal kegilaanku.

Bukan karena ketiga alasan di atas, tapi karena saat ini aku rela berjibaku menggotong koto milikku yang besar dan lumayan berbobot itu menaiki tangga menuju lantai tiga gedung universitas baruku. Perjalanan dari trotoar tempatku turun ojek hingga lobi saja sudah kurang lebih tiga ratus meter. Belum lagi, ada kertas pengumuman tertempel di pintu lift yang bertuliskan 'sedang dalam perbaikan'. Kalau Ayah melihat kondisiku sekarang yang banjir peluh di sekujur tubuh, dia pasti bakal bilang, "Tuh, kan." dengan nada menyebalkan.

Walaupun begitu, ketika akhirnya aku menemukan ruang di mana wawancara masukku akan diadakan, aku langsung melupakan masalah lift, keringat, dan tuduhan gila dari Ayah.

Aku tiba tepat waktu, maka aku langsung mengetuk pintu ruangan. Terdengar seruan mempersilakan dari dalam, maka aku membuka pintu.

"Anggita Diningrum?"

Aku berjengit mendengar nama belakangku, teringat julukan dining room dari tutor bahasa Inggrisku dahulu kala.

"Betul, Pak." jawabku sambil menutup pintu. Dosen pria yang barusan menyebutkan namaku dan seorang dosen wanita di sebelahnya tersenyum dari balik meja panjang di depan ruang kelas itu.

"Silakan." si dosen wanita menunjuk ke arah kursi lipat yang berada persis di seberang meja panjang. Aku duduk di sana dan meletakkan tas koto-ku. Kedua dosen itu kemudian membuka percakapan dan berbasa-basi, menanyakan nama panggilanku, apa aku sudah makan atau belum, di mana rumahku, bagaimana perjalanan ke sini, dan sejenisnya. Kemudian, mereka akhirnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan utama, seperti hobi, alat-alat musik apa saja yang kuketahui, pengetahuan umumku di bidang musik, serta jurusan peminatanku.

Ketika akhirnya mereka mengatakan bahwa aku sudah mencapai penghujung wawancara, Pak Dosen tersenyum dan berkata, "Satu hal terakhir yang saya agak penasaran, Gita. Dari Ekonomi ke Musik. Kenapa jauh banget?"

Aku mengulum senyum.

"Karena Hiro, Pak."

Kedua dosen di hadapanku mengangkat alis, "Siapa?"

Aku menunjuk koto-ku.

"Nama koto saya."

Pak Dosen menyipit tertarik, "Boleh dijelaskan?"

"Sejak umur lima tahun, saya sudah dikenalkan dengan instrumen koto dan mempelajari cara bermainnya. Dan ternyata, kesukaan saya bermain koto bukan sekadar hobi yang pudar dimakan waktu. Setelah mengenal instrumen ini semakin dalam, saya semakin ingin mengembangkan kemampuan dan menekuni bidang yang saya minati dan cintai dengan serius, dengan harapan hingga ke jenjang karir nanti, jari-jari saya nggak akan lepas dari dawai-dawai koto. Karena itu, di salah satu kelas jurusan Ekonomi saya dulu yang ngebosenin dan bikin nguap terus, saya membulatkan keputusan untuk ubah haluan, nggak peduli ayah saya anggap saya gila sekarang."

Kedua dosen itu tertawa.

"Ah. Kecintaan terhadap musik. Alasan yang dianggap klise oleh orang-orang yang nggak paham." simpul Pak Dosen.

Aku mengangguk setuju. Sepertinya aku bakal cocok sama Pak Dosen ke depannya.

"Nah, Nak Gita. Sekarang boleh demonstrasikan permainan kamu sedikit?" Bu Dosen tersenyum ramah.

Aku mengangguk dan bangkit dari kursi untuk mengeluarkan Hiro dari dalam tas. Aku meletakkan alat musik itu di atas lantai, lalu duduk bersimpuh di hadapannya. Setelah persiapanku selesai, aku meletakkan jemariku di atas dawai, dan memejamkan mata sejenak sebelum memulai permainanku.

Mohon kerjasamanya, Hiro.

***

Enam bulan sebelum wawancara masuk jurusan musik, di kamar kos lama Gita

Pukul dua belas malam kurang satu menit.

Ini adalah hari ketiga aku tinggal di tempat kos yang lokasinya dekat dengan kampusku, sekaligus hari ketiga aku menjadi murid jurusan Akuntansi.

Kalau boleh jujur, ketika Ayah tahu aku ingin tinggal di kos-kosan sepanjang masa kuliah, beliau justru lega melepasku. Kami jadi sama-sama punya ruang untuk 'melakukan apa yang perlu kami lakukan'.

'Melakukan apa yang perlu kami lakukan' dalam kamus ayahku berarti berusaha move on dari kepergian Ibu satu tahun lalu akibat sakit yang dideritanya. Kamusku, menghindari rumah yang begitu beraroma Ibu, sekaligus meneruskan kecintaanku bermain koto tanpa kuatir membuat Ayah baper, karena menurutnya alunan nada yang tercipta dari permainanku mengingatkannya akan Ibu.

Aku mematikan lampu kamar kos, duduk di lantai, lalu meletakkan di hadapanku sepotong tiramisu yang kubeli tadi siang. Aku menancapkan satu batang lilin di atas kue itu dan menyalakan pemantik. Aku mengawasi pergerakan api kecil itu selama beberapa saat.

"Delapan belas tahun, here I come."

Stopwatch di ponselku berbunyi, aku merunduk sedikit dan meniup lilin di atas kueku.

"Selamat ulang tahun, Gita." bisikku pada diriku sendiri.

Aku bersandar pada tembok di belakangku, menghela napas panjang seraya memperhatikan seisi kamarku dalam kegelapan. Ada cucian baju yang belum sempat kurapikan di salah satu sudut. Ada buku-buku ekonomi yang berserakan di sudut lainnya, agak menutupi kertas selebaran klub musik kampus.

Lalu perhatianku teralih ke secercah sinar bulan yang menembus masuk melalui ventilasi di atas jendela, menimpa permukaan kayu paulownia penyusun instrumen musik kesayanganku yang saat ini tergeletak dalam posisi vertikal canggung di sudut kamar, di antara dinding dan lemari pakaian.

Aku bangkit, menarik Hiro dari tempatnya dan meletakkannya dalam posisi horizontal di lantai, menggantikan si tiramisu. Aku kembali duduk bersila, mengamat-amati instrumen tua yang indah itu. Hiro merupakan warisan almarhumah ibuku, entah sejak kapan ibuku sudah memanggilnya dengan nama itu. Aku sudah menyaksikan beliau memainkan Hiro di latihan-latihan dan pentasnya sejak umurku masih lima tahun. Sejak saat itu pula aku mulai belajar memainkannya. Dan sejak saat itu pula aku seolah menemukan cinta pertamaku; koto.

Namun, sudah hampir satu tahun lamanya jemariku tidak menyentuh dawai-dawainya. Sudah selama itu aku menahan dan menyimpan hasratku demi menjaga perasaan Ayah.

Malam ini, untuk pertama kalinya aku merasa bebas. Tidak ada Ayah. Tidak ada penghuni kamar sebelah yang sementara pulang kampung. Akhirnya, aku bisa melampiaskan semua emosiku.

Aku mengenakan tsume-sejenis pick mirip kuku palsu-pada jari tengah, telunjuk, dan jempol kananku. Lalu aku meletakkan ketiga jariku itu di atas dawai, dan mulai memetik.

Beberapa nada pertama yang kuhasilkan terdengar agak kasar dan terlalu keras. Dan terasa... mendebarkan.

Aku tersenyum, menikmati energi yang menderu di dalam dadaku dan desiran di telingaku, sensasi yang begitu kudambakan untuk kurasakan lagi setelah satu tahun yang kering kerontang. Kemudian aku meneruskan permainan bersama teman terbaikku, melantunkan komposisi nada yang sudah amat familiar dan kuhapal, susunan yang biasa kumainkan bersama ibuku.

Jemariku melayang di atas dawai-dawai dengan luwes dan natural, seolah jeda satu tahun itu tidak pernah ada, seolah aku tidak pernah melewati satu haripun tanpa memainkannya. Hiro mendukungku dengan sama bersemangatnya, mengisi kamar kecil dan gelap itu dengan alunan nada yang membuai dan menyihir.

Rasa kantuk menyerangku secara perlahan. Aku menyaksikan jemariku terus bermain, namun pandanganku semakin buram.

Aneh banget. Nggak biasanya aku sengantuk ini.

Ketika akhirnya rasa kantuk itu sudah semakin tak tertahankan, benar-benar sangat tak tertahankan, hal terakhir yang kuingat adalah tubuhku mengayun ke depan dan kepalaku ambruk di atas koto. Seharusnya, pipiku sakit karena menekan dawai-dawainya yang kaku dan tebal.

Tapi, kenapa rasanya justru seperti kepalaku terjatuh di atas sesuatu yang empuk?

🎶

Ada suara dehaman pelan yang terdengar entah dari mana.

Kemudian dehaman itu menghilang, digantikan angin sejuk yang menyapu telingaku.

Puncaknya, sesuatu di bawah pipiku bergerak.

Kelopak mataku membuka dan aku terduduk tegak, yang merupakan tindakan salah besar, karena kepalaku langsung berdenyut-denyut akibat bangun mendadak.

Hari sudah terang. Biasanya sebagian besar area kamarku bermandikan cahaya matahari dari jendela dan ventilasi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang memblokir cahaya itu.

Ralat, sesuatu itu ternyata adalah seseorang.

Ada seseorang yang duduk di depanku. Laki-laki. Mengenakan pakaian tak lazim yang terdiri dari atasan kimono berwarna putih dan bawahan hakama biru-tua-nyaris-hitam. Rambut hitamnya diikat ekor kuda. Agak sulit melihat wajahnya karena cahaya matahari berada persis di belakang kepalanya. Kami duduk berhadap-hadapan dengan posisi yang sama, punggung tegak dan kaki bersila.

Aku menatap sosok itu dengan horor.

"K-kamu si-"

"Di mana ini? Negara apa dan tahun berapa ini?" suara dalam dan maskulin mengalir keluar melalui bibir si pemuda untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Dia... ngomong pake bahasa Jepang?

Tapi kenapa aku ngerti?

"Jakarta. Indonesia. D-dua ribu delapan belas." sahutku refleks, dalam bahasa Indonesiaku yang normal.

Sosok itu memejamkan mata, seolah berpikir keras.

"Jadi sudah delapan belas tahun di Indonesia." katanya, lagi-lagi dalam bahasa Jepang yang anehnya aku pahami.

Aku kembali memperhatikan penampilannya. Cahaya matahari perlahan naik menjauhi belakang kepala sosok di hadapanku ini, membuatku dapat melihat lebih jelas garis-garis wajahnya yang... sangat tidak Indonesia. Dia kelihatan seperti cosplayer Himura Kenshin asli Jepang dengan warna rambut dan warna kostum yang salah.

Dan sepasang matanya yang sipit dan tajam itu menelitiku.

"Di mana Inggar-sama?" tanya pemuda aneh itu.

"Inggar? Inggartyas? Dia ibu saya." gagapku.

Sorot matanya berubah diliputi pemahaman.

"Jadi Nona adalah anak Inggar-sama?" tanyanya.

'Nona'?! batinku.

"Inggartyas, Mas. Bukan Inggarsama." ralatku, kemudian meneruskan dengan lebih pelan. "Ibu saya meninggal satu tahun lalu karena sakit."

Sepasang mata laki-laki itu membulat terkejut.

"Nona Inggar... meninggal?"

Aku dapat melihat wajah pemuda itu menggelap. Aku memutuskan untuk mengabaikan dialog aneh kami ini dan langsung ke inti.

"Anu, Mas..." kataku, "Ini prank ya?"

Laki-laki itu tampak tersadar dari trans sesaat-nya dan mengernyitkan alis bingung, "Hm?"

"Jangan-jangan ada yang mau ngerjain saya karena ini hari ulang tahun saya." ungkapku curiga. Lalu aku dengan was-was meneliti sekitar kamarku untuk mencari kamera tersembunyi yang siapa tahu sudah terpasang saat aku tertidur. Ketika celingukan, aku jadi menyadari rasa kaku di leherku akibat tidur dalam posisi membungkuk menimpa koto-

Aku membeku.

Koto-ku hilang.

"H-Hiro ke mana?!" tanyaku panik.

Cosplayer itu menatapku.

"Saya Hiro." katanya, "Dan... hm, selamat ulang tahun."

Akhirnya, karet nalar dan akal sehat di kepalaku putus.

Aku berteriak.

🎶

Kejadian pagi itu-dan teriakanku-untunglah tidak menimbulkan terlalu banyak kehebohan.

Iya, ibu kos menggedor kamarku. Dan iya, beberapa tetangga kos ikut berkerumun untuk menyaksikan apa atau siapa yang telah menyebabkan teriakan itu. Tapi begitu aku membuka pintu kamar dan menunjuk ke arah Hiro-yang ngomong-ngomong, masih duduk melipat kaki di lantai dengan ekspresi datar-mereka kebingungan.

Karena kayaknya, hanya aku yang bisa melihat Hiro.

Jadi keesokannya, aku memutuskan untuk menghadapi situasi aneh bin ajaib ini dengan kepala dingin di tengah keramaian ruang klub musik kampus. Hiro mengikutiku ke manapun aku pergi-kecuali kamar mandi, karena di samping aku mengancamnya sepenuh hati, Hiro kayaknya memang tipe pemuda non-ekspresif yang jarang menunjukkan ketertarikan terhadap apapun-dan aku menggunakan waktu rehatku untuk menginterogasinya.

"Jadi Ibu juga bisa komunikasi sama kamu?" tanyaku sambil duduk di lantai sudut ruangan, dengan earphone yang terhubung ke ponsel terpasang di telingaku, supaya orang-orang tidak mengira aku mendadak sinting karena bicara sendirian.

Hiro-yang juga tengah duduk bersila di sebelahku-mengangguk, "Tentu saja. Dia pemilik lama saya."

Kenapa Ibu nggak pernah cerita kalau Hiro itu betulan ada dan dia... versi manusia dari si koto?

"Jadi setiap pemilik lama punya... ng... 'kemampuan' ini?"

Hiro menggeleng, masih mengenakan ekspresi datar yang khas itu di wajahnya, "Kurang lebih. Seorang pemilik sekaligus pemain yang mampu melihat saya."

"Termasuk ngerti kamu ngomong apa padahal aku tau kamu lagi ngomong pake bahasa Jepang lama?"

Hiro mengangguk, "Dan berlaku sebaliknya. Saya paham bahasa Indonesia yang diucapkan Nona."

"Tapi..." aku masih kesulitan mencerna, dan masih kesulitan membiasakan diri dengan sapaan 'nona' darinya, "...kenapa sekarang?"

Hiro menoleh menatapku seolah jawabannya sudah sangat jelas, "Usia kedewasaan."

Aku mengernyit, "Bukannya tujuh belas?"

Hiro hanya mengangkat bahu, "Bagi saya delapan belas."

Aku memperhatikan Hiro dengan takjub. Dia masih duduk bersila dengan punggung tegak, mengamati seisi ruang klub dengan sorot yang tak terbaca.

Setelahnya, aku berhasil tahu bahwa Hiro berasal dari era Sengoku di Jepang pada zaman pemerintahan klan Toyotomi. Dia bahkan menyebut sang pemimpin klan, Hideyoshi Toyotomi, dengan sebutan 'Toyotomi-sama' yang membuatku makin yakin jangan-jangan aku masih ketiduran di atas koto dan ini semua cuma mimpi belaka. Menurut pengakuan Hiro, dirinya dulu bekerja sebagai seniman istana, berkunjung untuk menghibur para bangsawan dan samurai dengan permainan koto-nya yang fenomenal pada masanya.

Yang menuntunnya pada segala keanehan ini.

"Kabar mengenai kemampuan bermusik saya sampai di telinga seorang ahli sihir, yang kemudian mendatangi saya dan memberi saya sebuah kutukan." Hiro mengungkapkan, separuh termenung.

"Penyihir?! Kutukan?!" aku ternganga.

"Di masa saya, keberadaan penyihir bukan hal yang tidak lazim. Mereka adalah orang biasa, yang mempelajari dengan susah payah bagaimana cara memperoleh kekuatan untuk menentang alam. Karena itu, ketika orang-orang seperti saya ada, orang-orang yang memiliki bakat, mereka tidak bisa tinggal diam." kata Hiro.

Aku lagi-lagi mengernyit, "Tapi kamu kan cuma seniman. Kenapa seorang penyihir harus repot-repot ngurusin seniman?"

"Musik adalah sihir yang paling natural dan alamiah di dunia ini. Atau begitulah kata-kata yang diucapkannya kepada saya saat itu." Hiro menjelaskan, "Bakat saya ada sejak saya kecil, dan berkembang dengan pesat dan mudah. Baginya, saya berpotensi menjadi pesaing. Ancaman. Hal berikutnya yang saya ingat, dia telah mengubah saya menjadi satu dengan koto milik saya."

Aku menggeleng-geleng takjub.

Penyihir...

Kutukan...

"Kalau ada kutukan, berarti ada cara mematahkannya?" tanyaku.

Hiro tidak langsung menjawab.

"Apa Nona tahu judul dari komposisi yang Nona mainkan kemarin malam?"

Aku mengangguk, "Tiga Belas Dawai. Sejak kecil Ibu ngajarin aku komposisi itu."

Hiro tersenyum tipis. Kemudian, dia mulai melafalkan sebuah sajak.

"Jemari cantik, jemari lihai,

Lihat dan dengarkanlah sesekali.

Lantunan nada mempesona nan gemulai,

Ciptaan bakat, kuasa, dan emosi.

Jemari cantik, jemari lihai.

Lihat dan mainkanlah sesekali.

Rintihan nada memohon yang membuai,

Ciptaan jiwa kaku terselubung rasa iri.

Jemari cantik, jemari lihai.

Datang dan temukanlah kami.

Tiga belas dawai yang menyimpan rahasia hati.

Terpecah belah di dunia oleh rasa dengki."

Aku mengawasi Hiro dalam diam, kehilangan kata-kata.

"Itu... suram banget." komentarku blak-blakan.

Hiro tak membantah. Dia berkata, "Itu sajak yang menginspirasi komposisi Tiga Belas Dawai. Dan menurut saya, tidak ada lagi yang dapat lebih menggambarkan segala hal yang terjadi dengan begitu tepat selain sajak itu."

Gagal memahami teka-teki misterius pemuda itu, aku berujar, "Tau nggak, segala hal yang terjadi dan yang kamu ceritakan ini betul-betul kayak dongeng daripada kenyataan."

Hiro menoleh menatapku. Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat perubahan cukup signifikan pada ekspresinya. Sorot matanya diwarnai ketertarikan dan sudut bibir tipisnya terangkat membentuk senyuman kecil.

"Nona pikir apa yang membuat saya bisa berubah kembali menjadi seperti ini?"

"Ng... 'usia kedewasaan'?" tebakku.

"Itu hanya syarat, bukan kunci." Hiro menggeleng, lalu dia mengulang kata-kata berikutnya dengan nada penuh arti, "Musik... adalah sihir paling alami dan natural di dunia ini."

Pemahaman membanjiriku seperti tanggul jebol.

"Maksud kamu, saya ini penyihir koto?!"

🎶

Tanggal sembilan Maret, kurang lebih satu bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Hiro-versi-manusia.

Saat ini, aku tengah berada di ruang tunggu belakang panggung sebuah aula konser, tempat beberapa anggota klub musik kampusku akan pentas. Hari ini adalah Hari Musik Nasional, dan kami akan tampil di hadapan para petinggi kedutaan-kedutaan besar di Indonesia sebagai perwakilan pelajar Indonesia yang membawakan pertunjukkan musik dengan menggunakan instrumen khas Jepang. Kampus-kampus lain juga menggunakan instrumen khas dari negara-negara asing lainnya.

Aku telah membujuk Hiro agar berubah kembali menjadi koto untuk hari ini. Menurut Hiro, dia bisa berubah bolak-balik menjadi koto dan menjadi manusia kapanpun, selama aku masih menjadi pemilik dan masih terus berperan menjadi pemain koto. Sihir yang kuhasilkan melalui permainanku memberinya energi, membuatnya mampu beralih bentuk.

Walaupun tentu saja hanya aku yang bisa melihatnya.

Aku sedang duduk bersama pembina klub dan teman-teman satu grupku untuk menunggu giliran, ketika salah satu staf perlengkapan berlari-lari mendatangi kami dengan raut panik.

"Universitas Bakti, ya? Di sini siapa yang pemain koto nomor lima?" tanya staf itu mendesak.

"Saya, Pak." aku mengangkat tangan, kebingungan.

"Di mana instrumen kamu? Kami udah nyiapin di balik panggung tapi mendadak nggak ada."

Aku langsung berdiri tegak, panik. "Hah?!"

"Maksudnya, koto-nya hilang?" tuntut pembina klubku.

"Lo taro di mana, Git? Bentar lagi giliran kita." tanya ketua klub dengan cemas.

Nggak mungkin, masa Hiro kabur?!

"Saya cari dulu." kataku sambil berlari keluar ruangan.

"Pake koto punya gue aja! Gue bawa cadangan, Git!" ketua klubku berseru berusaha menghentikanku, namun tak kudengarkan.

Aku berlari-lari menyusuri lorong-lorong gedung, mencari-cari keberadaan Hiro. Ketika mencapai belakang panggung, aku juga gagal menemukannya. Namun ketika aku mengintip dari sisi samping panggung utama, aku bisa melihat sosok dengan kimono putih dan hakama biru tua berdiri di kejauhan, di barisan paling belakang bangku penonton, tengah menyaksikan konser yang berlangsung.

"Hiro!" ucapku lega setelah berhasil menemukannya. Aku bergegas menuju ke tempatnya.

Untunglah tidak ada siapapun di belakang situ. Lampunya digelapkan dan para penonton di depan kami tengah fokus menyaksikan pertunjukkan gamelan dan angklung di atas panggung. Aku buru-buru menghampiri pemuda itu, "Kenapa tiba-tiba berubah? Kamu kan udah janji mau jadi koto satu hari ini!"

Pemuda itu tampaknya tidak mendengarkanku. Pandangannya terpaku pada panggung, sorotnya menerawang, seakan terhipnotis oleh musik yang diperdengarkan para pelajar.

"Nona Inggar pernah membawa saya ke salah satu konsernya dulu." Hiro membuka suara, yang agak teredam suara musik dari arah panggung, "Mirip seperti saat ini. Dan saya tidak bisa melupakannya."

Hiro tersenyum samar. Aku mengikuti arah pandangnya, melihat wajah-wajah bersemangat dari para pemain musik, tiap gerakan dan ekspresi mereka menyiratkan betapa mereka begitu mencintai apa yang mereka lakukan sekarang.

Mendadak, hatiku seolah tersengat. Tentu saja. Hiro dulunya merupakan seorang pemusik. Dia menikmati dapat mempersembahkan musik di hadapan penontonnya. Ratusan tahun terjebak dalam wujud seperti ini telah membelenggu kesempatan itu. Membuatnya hanya mampu menyaksikan, tanpa mampu mempertunjukkan.

"Hiro..." kataku perlahan, "Gimana kalo kamu mainin Tiga Belas Dawai denganku di atas panggung?"

Akhirnya Hiro menoleh menatapku.

"Apa?" bisiknya tak percaya.

Aku mengangkat bahu seraya tersenyum ragu, "Aku tau kamu nggak bisa nyentuh alat musik atau benda apapun. Tapi kamu bisa nyentuh aku kan? Kalo kamu bisa bantu aku gerakin ini..." aku menggoyang-goyangkan kesepuluh jemariku di hadapannya, "...mungkin kita bisa melakukan konser bersama?"

Sulit menerka apa yang ada di benak pemuda itu. Ekspresinya masih saja sulit ditebak.

"Aku bakal tampil sendiri di pertunjukkan pertama, bareng grup musikku. Pertunjukkan kedua adalah pertunjukkan soloku. Kamu bisa tampil di situ. Gimana?" aku mengangkat alis.

Akhirnya Hiro bereaksi, "Nona yakin? Ini sama saja seperti mencuri momen penting bagi Nona."

"Aku masih bisa cari 'momen' lain, kok." aku nyengir, "Jadi, mau nggak?"

Aku mengulurkan tanganku, menunggu. Hiro berdiri di hadapanku. Sikapnya formal. Sepasang matanya menatapku dengan pancaran keyakinan dan keseriusan yang baru pertama kali kulihat semenjak kemunculannya.

Lalu akhirnya, dia menyambut uluran tanganku dan menjawab tawaranku dengan kesungguhan dalam nada suaranya.

"Dengan senang hati."

Kami mendengar nama kampus kami diumumkan oleh pembawa acara tak lama kemudian. Aku dan teman-teman grup musikku menaiki panggung. Ketua klub memberikan kata-kata pembuka untuk mengenalkan kami. Lalu kami bersiap dengan instrumen kami masing-masing.

Aku menatap koto di hadapanku yang dipinjamkan oleh ketua klub. Aku melirik ke arahnya-dia juga memainkan koto, sepertiku-dan mengangguk berterima kasih. Tepukan penyambutan dari penonton perlahan mereda, hingga akhirnya sunyi sepenuhnya.

Aku menarik napas, berusaha menenangkan debaran gugup bercampur semangat di dalam dadaku. Kemudian aku dan ketua klub meletakkan jemari kami di atas dawai dalam gerakan tersinkronisasi yang nyaris sempurna, hasil dari latihan-latihan kami hingga malam hari. Kemudian kami memetik satu nada pertama, dan pertunjukkan pun dimulai.

Lagu pertama yang dibawakan adalah komposisi original klub musik kami berjudul Lantunan Musim Gugur. Perpaduan nada yang tercipta dari tiap instrumen menciptakan harmoni indah, lembut, dan mendayu-dayu, persis seperti bayangan kami terhadap suasana musim gugur.

Lagu kedua yang kami bawakan adalah lagu modern bertempo lebih cepat dan membuat penonton bertepuk antusias ketika mengenali nada-nadanya. Kali ini, permainan berjalan lebih santai. Aku dapat merasakan teman-temanku tampil dengan rileks setelah membawakan lagu pertama kami. Aku bertukar senyum dengan ketua klub, dua pemain shamisen (sejenis gitar tradisional Jepang berdawai tiga) dan seorang pemain shinobue (suling tradisional Jepang), merasakan kelincahan permainan mereka serupa dengan milikku.

Lagu ketiga merupakan waktunya lagu nasional Indonesia. Kami membawakan Tanah Airku, dan menutupnya dengan Indonesia Raya. Kombinasi unik instrumen tradisional Jepang dan lagu Indonesia membuat euforia penonton meningkat. Kami dihadiahi standing ovation, tepuk tangan meriah memenuhi aula konser itu , aku dan teman-temanku membungkuk di hadapan penonton, sumringah dan puas karena berhasil menampilkan pertunjukkan dengan maksimal.

Tibalah saat untuk penampilan soloku. Teman-temanku meninggalkan panggung bersama instrumen-instrumen mereka, menyisakanku sendiri di atas panggung yang rasanya jadi terlalu luas. Cahaya lampu sorot menyinariku dari atas. Aku duduk bersimpuh di hadapan koto-ku dan menunggu.

Kemudian Hiro memasuki panggung. Aku tahu hanya diriku yang bisa melihatnya, namun dia tetap berjalan dengan keanggunan yang mengagumkan. Aku merasakan dirinya duduk persis di belakangku, lalu tubuhnya melingkupiku. Dia membawa lengan-lengannya ke depan hingga jemarinya berada persis di atas jemariku. Kemudian, aku dapat mendengar suara maskulinnya berbisik lembut di salah satu telingaku.

"Mohon kerjasamanya, Nona."

Aku tersenyum dan mengangguk.

Lalu, jemari kami bergerak.

Betapa luar biasa, bahkan nyaris mengerikan, bagaimana gerakan jari-jari kami begitu mirip satu sama lain. Aku merasakan kembali desiran familiar itu, gairah dan deru yang sulit kudeskripsikan tiap kali aku memainkan koto. Aku telah memainkan Tiga Belas Dawai nyaris seumur hidupku, namun tidak pernah komposisi itu terasa senyata ini. Hiro merasakannya, aku tahu itu, suasana hati kami bergerak seirama, seperti permainan kami.

Sekelilingku memudar, penonton menghilang, cahaya padam, hingga yang ada hanyalah aku, Hiro, dan koto. Aku seolah berada dalam trans, sulit mengetahui jari-jari siapa yang memetik dawai saat ini, seperti garis batas yang ada telah mengabur. Aku dapat merasakan bulu kudukku berdiri tiap kali Hiro membawa jemariku ke nada-nada tinggi yang mengagumkan. Dapat kudengar di telingaku sajak itu terlantun berulang. Sajak yang muram dan gelap, namun indah itu.

Aku hampir-hampir tidak sadar ketika permainan kami mencapai akhir. Hiro mengangkat tangannya dari atas tanganku. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha mengumpulkan kesadaran karena rasanya aku telah bermain dari tempat yang berbeda.

Ketika mendongak, aku menyaksikan penonton terdiam, seperti tersihir.

Kemudian satu per satu berdiri dan memberikan tepukan keras. Semakin lama semakin banyak, berujung pada tepukan membahana dari seluruh penonton untuk kami.

Untuk Hiro.

Aku dapat melihat pembina klubku bertepuk antusias dari samping panggung, wajahnya dipenuhi keharuan dan kebanggaan karena melihat anak didiknya membawakan komposisi melankolis yang begitu indah dan sangat diapresiasi.

Menyadari bahwa tepukan dan seruan pujian dari berbagai arah itu sebetulnya ditujukan untuk permainan Hiro yang indah dan memukau, aku diam-diam menggamit salah satu tangan Hiro yang masih duduk di belakangku. Aku menariknya hingga kami sama-sama berdiri bersisi-sisian. Aku meliriknya dan nyengir lebar, menyaksikan Hiro tengah menatap ke arah penonton dengan binar pada wajahnya yang belum pernah kulihat sebelumnya, membuatnya begitu hidup.

Lalu Hiro menoleh ke arahku, memandangiku dengan senyuman cerah dan lebar, senyuman paling tulus yang pernah kulihat di wajah seorang pemuda. Dan seketika, aku merasa beruntung karena senyuman itu ditujukan untukku.

Kami berdua bersama-sama membungkuk dalam-dalam di hadapan para penonton yang masih bertepuk riuh. Ketika menegakkan tubuh, aku dapat merasakan genggaman tangan Hiro di satu tanganku mengerat.

"Sungguh kehormatan besar dapat mempertunjukkan Tiga Belas Dawai bersama Anda, Nona Gita." ujar pemuda itu, untuk pertama kalinya menyebutkan namaku.

🎶

Pesta perayaan berlangsung hingga hampir pukul sepuluh malam. Universitas Bakti mendapatkan penghargaan karena dianggap sebagai 'penampil dengan persembahan yang begitu menyentuh', mengutip kata-kata Mendikbud yang turut hadir. Pembinaku berkaca-kaca, teman-temanku membusungkan dada dengan bangga, aku dan Hiro saling bertukar senyum. Setelahnya, Hiro kembali berubah menjadi koto, membuat semua orang kebingungan karena mendadak menemukannya kembali di titik yang sama dengan ketika instrumen itu menghilang siang tadi.

Guru pembina mengantar kami pulang dengan mobilnya hingga ke titik terdekat dengan rumah kami. Aku turun sambil membawa Hiro di dalam tas, di halte bus terdekat dengan kosku. Setelah melambai kepada teman-temanku dan memastikan mobil guruku sudah menghilang dari pandangan, aku berlari ke sudut jalan yang sepi untuk membuka tas panjang dan besar itu dan mengeluarkan Hiro. Setelah berubah kembali ke wujud manusianya, kami berjalan bersama-sama menuju tempat kos.

"Malam yang penuh dengan kesan." Hiro membuka suara. Dia berjalan di sebelahku dengan lengan berada di belakang punggungnya.

Aku tersenyum, "Seandainya Ibu masih hidup, dia pasti bangga liat kita."

Hiro mengangguk, "Pasti begitu."

Aku menangkap pandangan pemuda itu berubah sendu tiap kali aku menyinggung soal ibuku. Aku tidak perlu tahu bagaimana masa lalu mereka, dengan ibuku sebagai... yah, pemiliknya. Mungkin saja Hiro akan menceritakannya padaku suatu hari nanti. Aku tidak tahu berapa lama dia akan terus bersamaku dengan wujud seperti ini, karena itu aku perlu memastikan bagaimana pemikirannya terhadapku.

"Hiro, gimana kamu melihat kehidupanmu setelah aku jadi pemilik baru?" aku bertanya.

Hiro kembali memasang tampang datarnya, "Hari ini Nona telah membuktikan bahwa dirinya cukup dapat ditoleransi."

Aku memutar bola mata dan terkekeh, sebelum kami kembali ditelan keheningan. Kemudian aku menyeletuk lagi.

"Hiro."

"Hm?"

"Kayaknya aku udah tau arti dari sajak itu."

Langkah Hiro terhenti. Dia menatapku, antara terkejut dan skeptis. Aku memutuskan untuk nekat mengemukakan isi kepalaku.

"Bait pertama cukup jelas, tentang bagaimana seseorang bisa 'membangkitkan' wujud manusiamu, dan memungkinkan seseorang itu untuk melihat dan berkomunikasi dengan kamu. Lantunan nada mempesona nan gemulai, ciptaan bakat, kuasa, dan emosi. Bakat bermusik, kuasa atau kepemilikan atas koto, dan emosi yang tercapai pada usia kedewasaan.

"Bait kedua adalah tentang kamu. Rintihan nada memohon yang membuai, ciptaan jiwa kaku terselubung rasa iri. Kamu yang terkungkung karena kutukan, berjuang membebaskan diri dari kutukanmu akibat perbuatan penyihir yang iri hati.

"Bait ketiga dan terakhir adalah yang membuatku sadar. Tiga belas dawai yang menyimpan rahasia hati. Terpecah belah di dunia oleh rasa dengki. Teoriku, setelah kutukan itu, si penyihir mencabut ketiga belas dawai pada koto milikmu dan... menyebarkannya ke seluruh dunia. Jadi, mungkin ada tiga belas koto di dunia ini dengan satu dawai yang tertanam di dalamnya. Dawai yang harus kamu kumpulkan agar jiwamu yang terpecah belah dapat menjadi utuh kembali dan akhirnya kamu akan... terbebas?"

Aku mengakhiri hipotesaku, menanti reaksi Hiro.

Dan Hiro tampaknya cukup terkesan dengan teoriku.

"Selama ini, saya menjalani 'kehidupan' yang acak dan aneh, Nona." dia berkata, "Suatu saat, saya bisa mendapati diri saya berada di Amerika, mengobrol dengan nenek pecinta barang antik. Suatu saat, saya bisa berada di negara asal saya, menjadi rahasia seorang musisi koto pemabuk yang hanya ingin memanfaatkan kemampuan saya demi uang.

"Saat berikutnya, saya bisa saja berada di museum. Yang dapat saya lihat hanyalah pemandangan membosankan ruangan temaram dengan barang-barang tua dari balik kaca. Semua ingatan itu tumpang tindih, samar, dan membingungkan. Alasan saya dapat mengingat dengan baik masa saya di sini bersama Nona adalah karena energi Nona yang begitu besar."

Hiro tersenyum padaku. Hanya saja, itu senyuman yang berbanding terbalik dengan senyum tulusnya di akhir pertunjukkan kami tadi. Itu adalah senyuman yang sedih.

"Teori Nona benar. Sudah cukup banyak pemilik yang berhasil memahami sajak itu dan mencoba membantu saya. Namun menemukan tiga belas koto berisi dawai jiwa saya di dunia yang luas ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena itu, saya sudah merangkul takdir pahit ini dan saya hanya akan menjalaninya sebaik yang saya sanggup lakukan."

Hiro meneruskan jalannya. Tapi aku menyusul dan menahan lengannya.

"Ini tahun dua ribu delapan belas. Teknologi udah canggih. Media sosial begitu berguna. Dan kalau kita bisa memanfaatkan memori-memori samar kamu untuk jadi petunjuk, nggak ada salahnya untuk terus berusaha kan?"

Aku menegakkan diri dan berkata dengan keyakinan penuh, "Aku akan mengejar mimpiku untuk menjadi pemain koto profesional, dan membuat diriku terkenal. Lalu memperluas pergaulan. Mungkin ini hanya langkah bayi untuk membantu kamu mencari dawai-dawai itu. Tapi dengan cara apapun itu, aku nggak akan menyerah. Jadi kamu seharusnya juga nggak menyerah."

Hiro hanya memandangiku, lama. Aku tersenyum dan menambahkan.

"Lihat sisi positifnya! Paling nggak udah ada satu dawai bersamaku. Aku nggak berani bongkar koto punyaku dulu, takutnya nanti kamu kehilangan kekuatan atau gimana gitu kalau dawainya diambil dan dipisahkan dari dalam koto. Mungkin bakal kubongkar terakhir, setelah dua belas dawai lainnya ketemu."

Di luar dugaan, Hiro memandangiku dengan ekspresi terhibur.

"Mungkin kalau aku nggak ada harapan untuk jadi pemain koto profesional, aku bisa kejar karir lain." usulku sembari meneruskan berjalan, "Mungkin jadi kurator seni supaya lebih efektif. Atau aku bisa sewa penulis bayaran untuk nulis buku yang diberi judul Jadi Koto Itu Tidak Mudah. Lalu promosi besar-besaran ke dunia supaya pemilik-pemilik dawai kamu di luar sana tahu, sadar, dan nggak melupakan kisahmu. Jadi kalau aku udah jadi nenek-nenek nanti, aku bisa punya penerus-"

Terdengar tawa keras dari sampingku. Aku menoleh dan ternganga menyaksikan Hiro menertawai optimismeku habis-habisan hingga pemuda itu terbungkuk sambil memegangi perutnya. Reaksi yang langka, mengejutkan, tapi... menyebalkan.

"Sopan dikit dong kalo kamu bakal terus numpang tidur di kamarku!" aku berupaya sok galak, namun gagal. Aku ikut tertawa bersamanya. Masa bodoh lah kalau ada yang melihatku tertawa-tawa sendirian di jalanan malam-malam.

Ketika akhirnya tawa kami mereda, Hiro menegakkan diri. Dia berdiri menghadapku, sisa-sisa tawa masih terpeta di wajahnya, namun kali ini sorot matanya menyiratkan kelembutan. Aku dapat merasakan bahwa kepercayaan telah tumbuh di antara kami, walaupun mungkin keberadaannya masih rapuh.

"Saya merasa beruntung bisa mengenal Nona Gita." pemuda itu berkata dengan tulus, "Terima kasih."

Aku tersenyum puas, "Sama-sama. Jadi, siap untuk memulai Petualangan Mencari Dawai Jiwa?"

Senyuman Hiro merekah lebar, "Mohon kerjasamanya, Nona."

✨THE END✨

Word count: 4905 (phew)

Cerita ini ditulis untuk diikutsertakan dalam kontes #AlunanMagi untuk merayakan Hari Musik Nasional 9 Maret 2021.

Terima kasih telah membaca dan selamat Hari Musik Nasional 🎶

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top